Share

2. Ceraikan Aku!

“Jangan pernah menyentuhku dengan tangan kotormu itu!”

Zaya menepis tangan Evan yang menyambutnya ketika ia baru saja memasuki rumah. Ia pikir, pria itu masih asyik bergumul dengan selingkuhannya di kantor hingga tidak akan pulang, seperti sebulan belakangan.

Namun ternyata, pria itu telah menunggunya dengan tatapan wajah kemerahan dan raut frustrasi. Pria itu bahkan sempat memujinya cantik, padahal selama sebulan mulut pria itu selalu bungkam.

“Kenapa aku tak boleh menyentuhmu? Aku suami kamu.”

Zaya tertawa miring. “Suami? Suami yang tega mencumbu wanita lain di belakang istrinya?”

“Itu kekhilafan saja, Zaya. Berapa kali harus kukatakan, dialah yang terus menggodaku. Aku—”

“Cukup!” Zaya mengarahkan tangannya ke depan, memberi kode agar suaminya berhenti bicara. “Aku tidak perlu penjelasan apa pun darimu. Pengkhianatan yang kamu lakukan tadi sudah menunjukkan pilihanmu.” Wanita itu menatap garang. Lalu, dengan suara dinginnya, ia berujar, “Ceraikan aku, Mas!”

Sesaat, raut wajah Evan terlihat menegang. Wajahnya yang semula memerah kini memucat.

Zaya menahan dengusannya, ia begitu yakin jika Evan tidak membayangkan kalau wanita yang begitu mencintainya itu sanggup mengucap kata pisah.

“Z-zaya??" Suara Evan bahkan tergagap. "Apa kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?”

“Apa kamu juga sadar dengan apa yang kamu lakukan di belakangku, Mas? K-kamu—” Kata-kata Zaya tercekat di tenggorokan.

Sekuat tenaga Zaya menahan diri agar tidak menangis di depan laki-laki brengsek yang tega mengkhianatinya. Ia harus tegar dan juga tetap tegas meminta cerai dari peselingkuh yang tega menodai tali suci pernikahan yang sudah terjalin selama dua tahun.

“Aku tak sengaja, Zaya. Itu karena kamu—”

“Karena aku bau bawang? Karena aku lusuh dan kumal?” Ia mengulang pernilaian sang suami padanya tadi siang. “Kalau hanya itu masalahmu, kenapa tidak jujur sedari awal sehingga aku bisa memperbaikinya?!” Zaya menjerit, tak kuasa membendung kesedihannya.

Zaya pikir, apa lagi yang harus dipertahankan? Evan bahkan sudah menganggapnya rendah dengan membandingkannya dengan wanita murahan seperti Mira, contohnya.

“Aku—”

“Aku sungguh tidak sanggup lagi menjalani hidup bersamamu.” Nada suara Zaya melemah, kendati pancaran emosi itu masih terlihat kental di matanya. “Lepaskan aku dan nikahi dia agar kalian tidak terus-terusan berzina!”

“Itu tidak adil untukku, Zaya.” Pria itu kembali enggan mengabulkan permintaan istrinya. “Hukuman ini tidak setimpal."

Bibir Zaya naik, ia juga menatap sinis. "Kamu bahkan masih berhitung setimpal atau tidak?"

Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran sang suami.

"Zaya, dengarkan aku dulu." Evan berusaha tenang agar sang istri mau mendengarkannya secara utuh. "Aku tidak mau bercerai. Aku tidak ingin kehilangan semuanya."

Emosi Zaya yang tengah di puncak itu lagi-lagi merasa perkataan Evan sungguh menyayat hati.

"Maksudmu posisimu sebagai pewaris?" tuduh Zaya. Zaya menatap kecewa, juga marah. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Apa selama ini kamu hanya menganggapku alat untuk mendapatkan kekuasaan, Mas?!”

“Sial! Bukan begitu, Zaya. Maksudku ….” Evan mengacak rambutnya, semakin merasa pusing karena cecaran sang istri. "Apa yang harus aku jelaskan pada Mama? Aku—"

"Soal Mama, jangan khawatir. Kupastikan kamu hanya kehilangan istrimu yang tidak menarik ini, bukan jabatan yang kamu bangga-banggakan itu!” Zaya menghela napas panjang. "Kalau Mas tidak mau menceraikanku, maka aku yang akan melayangkan gugatan."

"T-tapi, Zaya—"

Zaya mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Evan lagi. Wanita itu menghela napas panjang dan menatap dingin pria yang sebentar lagi akan jadi mantan suaminya ini.

Baginya, inilah keputusan final yang meski pahit harus ia terima. "Ikuti saja semua proses cerainya agar kita berdua bisa cepat bebas dari pernikahan sialan ini!"

Sedetik kalimat pamungkas itu meluncur dari bibir Zaya, sedetik itu pula wanita cantik itu masuk ke dalam kamar meninggalkan pria itu.

Evan menendang kursi di sampingnya, mulai melempar apa saja yang ia lihat untuk melampiaskan kekesalannya. “Arrrggghhh, sial!” Tak lama, pria itu segera menyusul sang istri yang telah memasuki kamar. “Zaya, please, jangan begini! Semuanya tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak pernah berkhianat.”

Evan berusaha menjelaskan semua yang terjadi. Namun, Zaya menulikan telinganya. Dengan semua yang Evan lakukan, ia benar-benar sudah gila kalau masih mau mempertahankan pernikahan sialan ini.

Cinta Zaya yang membumbung tinggi itu serasa tak terbalas, karena ia hanya dianggap alat untuk mencapai kekuasaan.

Ia memang tahu jika sang suami bekerja di kantor milik mama mertua yang begitu menyayanginya. Namun, ia tak menyangka kalau Evan benar-benar memanfaatkannya hingga rasanya ia buta tak bisa membandingkan mana ketulusan, mana tipuan.

Zaya tahu, mungkin cara terbaik membalas sakit hatinya adalah membuat Evan kehilangan seluruhnya. Namun, jika sampai menyakiti mama mertua yang sudah begitu baik padanya itu, ia tak mungkin tega.

“Berhentilah berbicara sebelum aku jadi semakin jijik dan benci padamu!” Zaya menutup dua koper dan lalu menyeretnya, meninggalkan Evan yang mengekorinya, ingin mencegah kepergiannya. “Jangan ikuti aku, Evan!” toleh Zaya menatap tajam laki-laki yang sebentar lagi tak memiliki ikatan apa pun dengannya.

Evan terhenyak di tempatnya. Bahkan istrinya tak sudi memanggilnya Mas seperti biasa. “Tidak, aku tidak ingin bercerai.”

“Tolong permudah semuanya kalau kamu tidak mau kehilangan semua yang sudah kamu punya!” tandas Zaya dingin lalu berpaling, menahan langkahnya, masih ingin mengucapkan beberapa kata terakhir sebelum benar-benar keluar dari kehidupan Evan.

“Selamat tinggal, Evan Alexander. Maaf, kalau aku tidak bisa memuaskanmu. Semoga kamu berbahagia dengan wanita barumu!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jasmine Alamanda sofea
asik cerai , masalahnya lelaki sekali berkhianat bakalan ulang trus g bakal berubah , cuma g semua sih begtu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status