Kemuning tidak tahu pasti pukul berapa dirinya sadar. Yang jelas, begitu membuka mata, ia langsung tahu kalau dirinya sudah berada di kamarnya sendiri.
Rasa dingin yang tadi menggigit tubuhnya kini menghilang, tergantikan oleh rasa hangat yang berasal dari selimutnya. Ternyata pakaiannya sudah diganti. Kemuning tidak panik, karena orang pertama yang dilihatnya adalah seorang wanita paruh baya. Seseorang yang dikenalnya. Bi Yuyun. Pasti wanita itu yang mengganti pakaiannya. "Ning, kamu udah sadar. Apa yang dirasain?" tanya Bi Yuyun dengan raut khawatir. Kemuning tersenyum getir. Ternyata masih ada yang peduli padanya. "Syukurlah kamu udah sadar, Ning. Tadi kamu pingsan," kata Bi Yuyun lagi. Kemuning mengangguk. Ia kembali mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Tadi, ia seperti melihat sosok pria yang mobilnya hampir menabraknya di jalan raya. Tapi, sepertinya dia hanya berhalusinasi. Mana mungkin pria itu ada di rumah ini? Melihat Kemuning yang malah melamun, membuat Bi Yuyun tak lagi banyak bertanya kepada gadis tersebut. Sepertinya gadis itu sedang ada masalah, dan Bi Yuyun ingin memberinya ruang untuk menenangkan diri. "Ya udah, kamu istirahat dulu saja, Ning. Oh, ya, sudah makan malam belum?" Kemuning menggeleng pelan. Tadi, ibunya memintanya membeli tiga bungkus makanan untuk dinikmati bersama Anggi. Sebelum mereka sempat makan bersama, kejadian pahit itu keburu terjadi. Ia sampai tak sempat makan malam. Bi Yuyun menatap Kemuning kasihan. Sebenarnya ia penasaran apa gerangan yang membuat keadaan Kemuning sampai seperti ini. Namun, ia juga tak tega mendesak Kemuning untuk bercerita sekarang. Kondisi gadis itu masih terlihat lemah. "Kalau gitu mending kamu makan dulu. Bibi ambilkan, ya." Kemuning cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, Bi. Besok aja." "Kamu sakit, Ning. Makan dulu, habis itu minum obat." "Tapi aku lagi nggak nafsu makan, Bi." Bi Yuyun menghela napas panjang. "Emangnya kamu habis dari mana sih, Ning? Kok hujan-hujanan gitu?" tanyanya dengan suara pelan. Mau tak mau akhirnya bertanya karena benar-benar penasaran. Kemuning tak menjawab. Sikap diamnya membuat Bi Yuyun jadi semakin khawatir. Apakah Kemuning sedang punya masalah besar? Itulah yang ada dalam benaknya. "Ning?" "Aku...." Kemuning malah teringat lagi dengan perselingkuhan calon suami dan adiknya. Wajahnya jadi semakin murung. Bi Yuyun akhirnya urung memaksa gadis itu menjawab pertanyaannya. "Ya udah, kalau kamu nggak mau makan nasi, seenggaknya makan roti, ya. Biar bisa minum obat, Ning. Inget, Ning. Kita itu kerja di rumah orang. Nggak boleh sakit lama-lama. Nanti Oma siapa yang ngurus kalau kamu sakit." Bi Yuyun sengaja menegur Kemuning agar gadis itu mau mengisi perutnya. Untungnya, Kemuning mengangguk paham. "Iya, Bi." Bi Yuyun menghela nafas lega. "Ya udah. Itu rotinya ada di atas bufet. Dimakan, ya. Bibi istirahat dulu. Besok harus bangun subuh-subuh." "Iya, makasih, Bi." Bi Yuyun mengangguk lalu beranjak ke kasurnya. Tinggallah Kemuning yang memaksakan diri memasukkan sedikit roti ke dalam mulutnya. Hanya agar ia bisa minum obat dan besok bisa bekerja dengan baik. Bagaimanapun, Kemuning memiliki tanggungjawab pekerjaan. Roti itu hanya habis setengah. Ia kembali merebahkan diri di kasurnya. Memikirkan masa depannya yang entah akan seperti apa. Keesokan paginya saat adzan shubuh berkumandang, Kemuning terbangun dalam keadaan tubuh yang sudah lebih baik. Ia sholat dan berdoa. Sedikit menangis karena hampir saja melakukan sebuah dosa besar semalam dengan berniat mengakhiri hidupnya di jalan raya. Setelah sholat, Kemuning bersiap-siap untuk memulai pekerjaannya. Ia kemudian pergi ke kamar Oma untuk mengecek keadaan wanita tua tersebut. "Permisi, Oma," seru Kemuning sambil mengetuk pintu kamar. "Ya. Masuk." Kemuning kaget dan bingung. Mengapa yang menyahut malah suara laki-laki? Namun, karena sudah mendapatkan izin, Kemuning tetap masuk ke kamar tersebut. Begitu sampai di kamar, Kemuning terkejut bukan main. Pria yang duduk di sisi kasur Oma itu, bukankah dia adalah pria yang sama dengan orang yang semalam berdebat dengannya di jalan raya? "K-kamu...." ucap Kemuning tercekat. Ia menunjuk pria itu dengan jari bergetar. Kalau begitu, artinya yang semalam itu bukan mimpi? Pria itu benar-benar ada di rumah ini. Pikir Kemuning. Oma Reni, sang majikan tersenyum. "Kalian saling kenal?" tanyanya. Kemuning langsung menggelengkan kepalanya, begitu juga pria tersebut. Oma geleng-geleng kepala melihat kekompakan kedua orang itu. Ia lantas memanggil Kemuning untuk mendekat. "Sini, Kemuning. Biar Oma kenalkan dengan laki-laki ganteng ini." Kemuning melangkah ragu mendekati Oma, sementara si pria hanya memasang wajah datar, tak terpengaruh dengan godaan sang Oma yang menyebutnya tampan. "Kenalin, Ning. Ini cucu Oma. Namanya Samudra. Dia udah lama tugas di Lebanon, nggak pulang-pulang. Betah dia di sana. Sampai lupa punya Oma," kata Oma Reni memperkenalkan pria yang ternyata adalah cucunya tersebut. Kemuning bergeming. Ia ingat pernah mendengar Oma bercerita tentang cucunya. Sudah hampir empat tahun lamanya ia bekerja di rumah ini, memang tak pernah sekalipun Kemuning melihat cucu Oma pulang. Yang tidak ia sangka, orang itu ternyata adalah pria yang sempat berdebat dengannya semalam. "Ternyata masih ingat juga dia jalan pulang," kata Oma Reni menambahkan. "Iya, Oma. Alhamdulillah kalau sudah pulang." Kemuning akhirnya merespon ucapan majikannya itu. "Nah, kebetulan kalian ada di sini, Oma mau bicara penting sama kalian." Baik Kemuning maupun pria itu sama-sama mengernyitkan kening mereka. "Mau bicara apa, Oma?" tanya Kemuning. Oma Reni tersenyum, lalu meraih tangan Kemuning. Menggenggamnya erat. "Sebenarnya..., ini adalah keinginan Oma yang sangaaat Oma impikan. Oma mau kalian menikah.” "Hah?" Kemuning dan pria itu sama-sama terkejut bukan main.Kemuning merasa aneh ditatap dengan sangat intens oleh Samudera. Pria itu sama sekali tidak berkedip maupun bergerak, membuat Kemuning memeriksa penampilannya sekali lagi. Tidak ada yang salah. Pakaiannya sederhana, tapi tetap terlihat elegan. Hijabnya juga tertata elok. Kemuning mengerutkan kening dan berjalan lebih dekat pada Samudera. "Kok ngeliatin aku gitu, Mas? Penampilanku kurang rapi ya? Ada yang aneh?" tanya Kemuning harap-harap cemas. Samudera tersentak kaget. Jarak mereka sangat dekat. Wajah Kemuning benar-benar ada di hadapannya dan ia berdeham pelan untuk menetralkan suaranya. Samudera menggeleng kecil, "Enggak. Penampilan kamu baik-baik saja."Samudera membukakan pintu mobil untuk Kemuning, memberi kode lewat tatapan matanya. "Ayo. Nanti terlambat.""Iya, Mas. Makasih udah bukain pintu.""Sama-sama," jawab Samudera lirih. Ia memperhatikan Kemuning memasuki mobil sambil sesekali membantunya saat gamis terinjak. Dalam hati Samudera merasa linglung. "Bisa-bisanya aku te
Anggi memastikan Samudera sudah benar-benar menghilang dari pandangan sehingga ia bisa mendekati Kemuning. Kemuning tampak sedang memilih pakaian di rak bagian gamis dengan ditemani oleh seorang pekerja butik. Anggi merasa kesempatannya sudah tepat. Ia pun segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan menghampiri Kemuning dari belakang.“Kalau ini mode terbaru dari desainer ternama, Kak. Bisa dilihat kainnya lembut dan nggak bikin gerah, eh? Kayaknya ada yang mau bicara sama Kakaknya.”Kemuning mengernyit saat tiba-tiba pekerja butik berhenti menjelaskan. Dari arah tatapan pekerja itu, sepertinya ada seseorang di belakangnya. Kemuning berbalik, ekspresinya langsung berubah muram begitu melihat sosok Anggi.“Anggi? Ngapain kamu di sini?” tanyanya defensif.Anggi memasang tampang memelas. Ia meremas-remas keliman kemejanya dengan gelisah. “Bisa bicara sebentar, Mbak? Kebetulan aku lagi di sini dan lihat Mbak Kemuning—““Aku sibuk, Nggi,” potong Kemuning dingin.Anggi berdecak
“I-itu bukan saya, Bu,” elak Anggi sambil meremas keliman kemejanya dengan gemetar. “Mungkin ada oknum yang pakai wajah saya di media sosial. Bisa aja ‘kan foto-foto itu diedit buat keuntungan mereka. Saya... saya bahkan nggak pernah kepikiran untuk melakukan hal seperti itu.”Bu Sinta menghela napas. Sudah tertangkap basah saja Anggi masih denial. Bu Sinta menggulir ponselnya sekali lagi. Kali ini menunjukkan chat suaminya dan Anggi yang sudah bertukar nomor telepon.“Saya nggak langsung menuduh kamu ya, Nggi. Saya punya nomor telpon kamu. Apa kamu masih mau membela diri kalau ini ulah oknum nggak bertanggung jawab?” kata Bu Sinta sambil menatap Anggi dengan tajam. “Saya juga punya bukti lain kalau ini benar-benar kamu. Tadinya saya nggak mau mengancam begini. Bagaimanapun, kamu itu mahasiswa saya. Tapi, karena kamu masih nggak mau ngaku, saya berencana menyebarkan hal ini ke dosen lain agar mereka tahu kelakuan kamu di luar kampus.”“Ja-jangan, Bu! Jangan sampai dosen lain tahu!” se
Mila dan Ikhsan merasakan kedatangan orang lain selain mereka di ruang tamu. Saat mereka menoleh, Samudera sudah berdiri di depan pintu dengan ekspresi muram. Keduanya sontak terkejut. Bagaimana tidak? Pria itu muncul seperti hantu. Langkahnya bahkan sama sekali tidak terdengar. Ikhsan menatap pria berseragam itu dengan heran. "Kalau nggak salah ingat, dia cucu majikannya Kemuning, kan?" ujarnya dalam hati. Sementara itu, di sampingnya Mila merasa sangat sungkan. Mereka bertamu kepada Kemuning yang notabennya pekerja di rumah ini tanpa seizin Samudera. "Oh, selamat siang, Mas Samudera. Maaf saya dan kakak saya bertamu tanpa pemberitahuan.""Mencari Kemuning?" tanya Samudera ketus, tidak memedulikan sapaan santun Mila. Mila mengangguk gugup. "Iya, soalnya lama enggak ketemu," jawabnya sambil mengangkat tas kain berisi makanan di tangannya. "Sekalian sama ngasih oleh-oleh dari temen-temen kursus. Mereka nanyain kabar Kemuning. Jadi, saya datang mewakili."Suasana hati Samudera semaki
Samudera berjalan selangkah maju mendekati Eko. Di matanya, pemandangan Eko gemetaran sambil mengepalkan tangan terlihat sangat lucu. Pria itu seolah mengetahui alasan Samudera menghentikannya di jalan. Dia tampak berusaha keras menyembunyikan kegugupannya yang justru bisa Samudera rasakan. Samudera tertawa sinis dalam hati. Ia akan sedikit mempermainkan Eko. "Ya, kebetulan kita bertemu di sini, Sertu Eko," kata Samudera sambil menyunggingkan senyum miring. "Saya hanya penasaran dengan sesuatu.""Penasaran?" Eko meneguk ludahnya sekali lagi. "Apa ini berhubungan dengan saya, Kapt?""Kurang lebih begitu. Pasalnya, saya mendengar sesuatu yang kurang mengenakkan tentang Sertu Eko. Jadi, saya mencari Sertu Eko untuk memastikannya," Samudera mengedikkan bahunya dengan acuh tak acuh. "Dan kamu malah muncul dengan sendirinya di depan saya."Jantung Eko sudah berdebar tak karuan. Bibirnya bergetar, menahan kata-kata apa pun yang keluar dari mulutnya. Eko seolah bisa mengetahui apa hal yang
Kemuning tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Namun, ketika dia membuka mata, tiba-tiba saja sosok Samudera sudah di depannya. Sesaat Kemuning terpaku pada wajah rupawan pria itu. Ia mengira sedang bermimpi indah. Jarang-jarang Samudera akan muncul di alam bawah sadarnya. Kemuning memperhatikan wajah Samudera lamat-lamat. Terkagum dengan ketampanan pria itu. Hidungnya mancung, alisnya tebal, rahangnya tegas, dan bibirnya yang tipis membuatnya sempurna bagai patung pahatan tangan profesional. Kemuning mengangkat tangannya tanpa sadar, hendak menyentuh pipi Samudera ketika ia melihat ke tubuhnya, dan mengetahui ini bukanlah mimpi. "Bentar, bentar. Kok aku bisa seranjang sama Mas Sam? Ini... bukan mimpi 'kan?" batin Kemuning sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Ini adalah kamarnya dan mereka... tidur bersama tanpa memakai sehelai kain pun! "Ya ampun! Gimana ini bisa terjadi? Kok tiba-tiba aja aku sama Mas Sam dalam posisi ini!?" Kemuning berkata panik. Ia bergerak-gerak