Di kediaman Xie, Raffael tengah membujuk Revalina untuk makan malam.
"Sayang, ayok, makan dulu," bujuk Raffael kepada istrinya.
"Duluan saja, aku lagi gak selera," kata Revalina.
"Kau sakit?" tanya Raffael sambil menempelkan punggung tangannya pada kening.
"Entah, napsu makanku hilang."
"Harus dipaksakan, dong. Biar gak sakit."
Revalina menggeleng kemudian menutup dirinya dengan selimut. "Sana, makan dulu saja. Tapi, jangan lama-lama, ya? Temani aku di sini."
Raffael mengatakan jika dirinya akan makan malam di kamar saja, tetapi Revalina tidak mengizinkan karena kasihan Hanna, ia pasti kesepian.
Pria itu pun membenarkan apa kata istrinya. Akhirnya ia beranjak untuk makan malam.
"Malam, Ma," sapa Raffael saat tiba di ruang makan.
"Malam. Mana, Rere?"
"Dia bilang sedang tidak napsu makan, Ma."
"Rere sakit?"
"El cek suhunya memang hangat."
Hanna mengatak
Satu bulan sudah berlalu.Revalina tak sabar menunggu hari bahagianya tiba. Wanita itu melingkari setiap tanggal yang ada dalam kalender di meja kerja suaminya."Haaah! Satu bulan lagi menuju hari bahagia itu. Berarti tepat diusia pernikahan ini lima bulan," gumamnya kemudian tersenyum.Semua persiapan sudah mencapai 90%, tinggal menunggu gaun pengantin saja. Hanna benar-benar membuat gaun mewah untuk menantunya itu. Berkain sutra dengan manik-manik terbuat dari emas.Tangannya dengan lincah membereskan meja kerja, menyimpan barang pada tempatnya."Sayang, kau di mana?!" panggil Raffael sedikit berteriak.Revalina menyudahi aktivitasnya. Ia bergegas mendekat ke arah pintu. "Aku di sini. Ada apa?"Raffael menghampiri lalu menuntun istrinya untuk duduk."Ada apa, sih? Serius amat," kata Revalina.Raffael menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan. "Begini, Sayang. Hari ini sepertinya aku lembu
Di kantor, penampilan Raffael tampak kacau. Baru kali ini dirinya dihadapkan dengan dua masalah sekaligus. Bukan tidak percaya akan kinerja orang lain, tetapi ia akan lebih puas jika dirinya sendiri yang ikut langsung dalam menemukan titik masalah. Lembur yang harusnya ia lakukan untuk membenahi beberapa dokumen untuk hotel barunya nanti, justru mengecek dokumen dan mencari data para investor."Sayang, aku bawakan kopi untukmu.""Hmm, simpan saja!""Istirahat dulu, jangan terlalu diporsir."Raffael tidak menggubris apa yang ia dengar. Ia terus fokus dengan dokumen-dokumen di hadapannya."Ya, sudah, kau lanjutkan saja kerjanya. Aku di sini akan setia menemanimu dan memberikan layanan ekstra untukmu, Sayang."Pijatan di pundak Raffael dapatkan."Say--" Seorang wanita cantik tidak meneruskan ucapannya. Matanya membulat sempurna dengan kedua tinju yang mengepal. Ya, dialah Revalina. Ia mendapati Amanda sedang memijat pun
Mobil sudah terparkir di halaman kediaman Xie. Revalina bergegas masuk. Hati dan tubuhnya merasa lelah."Sudah pulang?" tanya Hanna yang ternyata sedari tadi duduk di kursi menunggu kepulangan sang menantu."Ya, ampun, Ma. Bikin Rere kaget aja," seloroh Revalina seraya mengelus dada. "Mama kenapa belum tidur?" lanjutnya."Mama jadi ikut cemas memikirkan El. Apa dia baik-baik saja?"Degh!Revalina berusaha bersikap tenang. Ia tidak mau Hanna menaruh curiga dengan gelagatnya."Suamiku baik-baik saja, Ma. Sangat baik. Mama tenang saja, ya? Sudah malam, lebih baik Mama istirahat. Maaf, Rere bikin repot Mama lagi."Hanna beranjak dan mengelus lengan menantunya. "Kamu anak Mama. Mana mungkin Mama merasa direpotkan. Ya, sudah, Mama tid-" Hanna tidak meneruskan ucapannya karena melihat ruam-ruam merah pada kulit Revalina."Kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Hanna cemas.
Sudah lima hari, tetapi Revalina belum mendapatkan kabar dari Raffael kapan ia pulang. Meskipun masih kesal, tetapi wanita itu merasa cemas. Ia sangat khawatir dengan keadaan suaminya itu. Tiga hari yang lalu Raffael menghubunginya jika proyek pembangunan hotel benar-benar bermasalah. Di tambah lagi, Revalina sudah bertanya perihal penurunan saham di Xie Company kepada Carlos. Bukan hanya ia yang cemas, Hanna pun ikut merasakan."Re, lebih baik kita susul El ke sana. Mama tidak tenang. Baru kali ini dia menghadapi masalah besar seperti ini," ujar Hanna."Iya, Ma. Sebelum kita menyusul ke sana, pastikan dulu keadaan di Xie Company, atau Rere akan meminta papa untuk menghandle semuanya. Itu juga jika Mama mengizinkan karena untuk meminta izin Raffael tidak mungkin juga. Suamiku susah dihubungi."Hanna setuju dengan pendapat menantunya. Itu adalah solusi terbaik.Setelah mendapatkan izin dari Hanna, Revalina segera menghubungi Carlos.
Tiba di bandara, Revalina memerintahkan kepada sang pilot untuk pergi ke negara kelahiran Cindy. Air matanya tak henti menetes bahkan ia tersedu-sedu.Angelina --seorang pramugari cantik yang tak lain istri dari sang pilot pun menghampiri. Ia duduk di samping anak dari Tuan Besarnya itu."Ada apa, Dek?"Revalina menghambur ke dalam pelukan sang pramugari yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Bukannya bercerita, Revalina menumpahkan segala gundahnya dengan menangis. Lambat laun tangis Revalina kian melemah."Astaga! Dek, bangun, Dek!" Revalina pingsan dalam pelukannya.Angelina memanggil dokter pribadi keluarga Carlos yang memang selalu diikut sertakan dalam penerbangan.Revalina dibawa ke dalam sebuah kamar. Perlahan ia dibaringkan dan dokter itu mulai memeriksa keadaan Revalina.Dokter itu menatap lekat wajah sang pramugari."Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Angelina.
Pukul tujuh pagi, Hanna sudah berkunjung ke kediaman Carlos. Sejujurnya ia sangat malu atas kelakuan putranya. Namun, apa boleh buat, ia harus mengatakan sejujurnya kepada besannya."Ayok, duduklah, Han. Ceritakan apa yang sudah terjadi," pinta Cindy saat Hanna baru saja masuk."Sebelumnya aku meminta maaf pada kalian. Sebenarnya aku pun tidak menerima ini," tutur Hanna yang langsung menangis. "Tapi, percayalah, aku yakin putraku dijebak.""Ya, apa? Tolong katakan langsung Hanna," cecar Cindy.Hanna pun menceritakan semua yang menimpa Raffael. Tentang masalah d perusahaan, pembangunan hotel dan kejadian semalam."Tidak ... tidak mungkin!" seru Cindy tidak terima.Cindy menitikkan air mata. Ia ikut merasakan apa yang Revalina rasa. "Putramu benar melakukannya dengan wanita itu, Han?""Iya, maafkan aku. Melihat dari gelagat Raffael, sepertinya dia terpengaruh obat.""Kurang ajar! Aku menyesal tidak memberinya pe
Revalina tiba di Bandar Udara Internasional San Francisco. Pilot dan tim ia tegaskan untuk kembali. Namun, Angelina menolak. Ia ingin menemani Revalina sampai ke tempat tujuan."Kakak kembali saja. Aku sudah hafal kota ini," ujar Revalina.Angelina tersenyum. "Kakak tahu, Cantik. Tapi bukan itu masalahnya. Kakak ingin memastikan kamu sampai dengan selamat."Revalina terkekeh-kekeh. "Baiklah, anggap saja Kakak, Pak Pilot sama Om Dokter istirahat. Aku ajak kalian semua ke rumah nenek. Gimana?""Siapa takut," jawab mereka serempak."Nona Revalina?" tanya seorang pria bertubuh jangkung nan tampan.Revalina mengernyit."Ah, maaf, nama saya Rian. Saya diperintahkan Nenek Claudia untuk menjemput," ujar pria itu."Jadi ... nenek tau jika aku datang? Hmm ... baiklah," ujarnya. "Ayok, kita naik mobil ini saja," lanjutnya mengajak Angelina dan lainnya.Mobil mewah berwarna hitam melesat men
Sudah empat hari Revalina dirawat di rumah sakit. Setelah kepulangan Angelina, hari-harinya ia lalui dengan kesepian. Hanya dinding berwarna putih dan aroma obat yang setia menemani.Ketukan pintu membuyarkan lamunan Revalina. Wanita itu menoleh ke arah suara."Pagi, Nona," sapa Rian saat masuk.Revalina tersenyum. "Pagi. Kau sendirian?" tanya Revalina sambil celingukan mencari sosok Claudia.Rian menyimpan keranjang buah kemudian menjawab, "Nenek belum bisa ke sini, Nona. Makanya aku yang menggantikan nenek.""Kalau boleh tau, kau ini siapanya nenek?" tanya Revalina. "Karena yang aku tau, nenekku itu tidak akan menyuruh sembarang orang," lanjutnya.Rian tersenyum kemudian duduk di kursi dekat Revalina. Pria itu mengatakan jika lima tahun yang lalu dirinya dipertemukan dengan Claudia karena sebuah kecelakaan. Saat itu mobil yang dikemudikan Edward mengalami pecah kemudian tergelincir hingga akhirnya menabrak dir