"Dari mana saja kamu?" Martin marah. "Pergi tanpa pamit, telepon tidak diangkat. Kamu tahu tidak betapa aku pusing mencarimu kemana-mana tadi. Ternyata di rumah pun tidak ada. Kenapa kamu bersikap begitu, Mona?" Martin berkacak pinggang, sudah seperti bapak yang memarahi anak gadisnya ketika pulang larut malam. Namun sekarang baru jam enam sore.
Tiap kali melihat wajah Martin selalu membuat Mona muak. Alhasil dia menyelonong dan mengabaikan amarah Martin.
"Mona!" teriak Martin. Mona tetap berjalan acuh menuju kamar.
Gadis itu segera mengunci pintu kamarnya. Lalu merosot ke lantai dengan tangisnya yang pecah. Mona menangis sambil berusaha menahan suaranya. Karena dia tak mau ada yang mendengarnya sesegukan.
"Mona! Buka pintunya!" Suara Martin terdengar tepat di depan pintu kamar Mona.
Sambil berderai air mata, Mona menutup telinganya dan menunduk dalam. Suara Martin adalah suara yang tidak mau dia dengar. Pertahanan tegar Mona sedang runtuh di sini.
"Martin, kenapa kamu marah-marah?" Terdengar suara mama.
"Ini Mona pergi tidak pamit dulu. Aku jadi dimarahi papah," kata Martin mengadu.
"Ya kamu jangan lampiaskan kemarahan kamu ke Mona dong. Kamu udah dewasa tapi tidak bisa kontrol emosi. Bagaimana mau menikah nanti?" Mama membela anak kandungnya, Mona. Kendati demikian perkataannya benar. Martin saja yang gampang emosian.
Tak ingin memperpanjang masalah, Martin pergi dengan kesal. Sementara mamanya mengetuk pintu kamar Mona. "Mona, mama bawa susu kesukaan kamu. Diminum dulu mumpung masih hangat," kata mama.
Entah bagaimana reaksi mama jika saja melihat anak gadisnya sedang menangis di dalam kamar. Beliau tidak boleh sampai tahu keadaannya. Mona langsung menghapus air mata lalu menyiapkan diri agar suaranya tidak terdengar gemetar.
"Taruh saja di depan kamar dulu, Ma! Aku lagi ganti baju!" seru Mona dari dalam kamar. Sudah begitu banyak kebohongan yang dibuat Mona, tapi dia tidak peduli selama rahasia itu tetap menjadi rahasia dirinya seorang.
"Baiklah, mama taruh gelasnya di meja," sahut mama. Lalu wanita baya itu pergi.
Lain hal di sisi Martin, pria itu bukan tanpa alasan marah pada Mona. Karena Martin bersikeras mencari Mona kemana-mana, membuat Hana jadi bete akhirnya mereka bertengkar untuk hal sepele. Yang seharusnya mereka berdua ke toko gaun pengantin, Martin justru mengutamakan pencarian Mona. Alhasil rencana memilih gaun pengantin pun batal.
Martin adalah orang yang amanah. Sekali diberi perintah dari ayahnya, dia akan melakukannya sampai selesai. Sifatnya yang seperti ini memamg bagus tetapi tidak tepat bagi Hana. Karena menurut Hana hilangnya Mona bukan sesuatu yang harus dicari seperti anak kecil.
Sekarang Martin berusaha membujuk Hana agar tidak marah lagi. Dia uring-uringan galau memikirkan Hana yang mengabaikan telepon dan semua darinya. Seolah-olah dia tak bisa hidup tanpa Hana.
***
Sudah seharian ini Mona mengurung diri di kamar sejak semalam. Bahkan segelas susu dari mamanya masih utuh tanpa tersentuh.
Mama jadi khawatir. Dia mencoba membujuknya dengan lembut. Namun tetap saja pintu kamarnya tidak bisa dibuka. Tidak ada cara lain selain didobrak. Tapi tidak, cara itu terlalu memaksa.
"Sayang, Mona..." panggil mamanya. Tidak ada sahutan. Bagaimana tidak khawatir, saat jam sarapan hingga makan malam, gadis itu tidak terlihat batang hidungnya di rumah.
Sementara di dalam kamar yang gelap itu, Mona terlihat masih berbaring tengkurap di kasur. Matanya bengkak. Dia menangis semalaman. Ditambah lagi dia tidak punya napsu makan. Mona malas untuk keluar kamar lalu bertemu dengan Martin. Mona sangat benci pria itu. Saking benci hatinya sampai rasanya dia ingin mencabik-cabik Martin sampai puas.
Kalau bisa, Mona berencana untuk mati kelaparan di kamarnya.
"Mona!" Martin berteriak. Seketika Mona syok.
Brak!
Pintu kamar didobrak. Martin tak tanggung-tanggung untuk memaksa membuka pintu kamar Mona meski dengan cara kasar. Mereka melihat kamar gadis itu gelap. Lalu mama menyalakan lampunya, tapi tak berfungsi.
"Lampunya mati, sepertinya harus ganti bohlam," ujar mama mengecek lampu.
"Mona, jangan buat orang susah karena sikapmu," ketus Martin bernada kasar.
Mona semakin mencengkram seprei lebih kuat sambil bersembunyi di dalam selimut. Dia tidak mau melihat Martin sekarang. Mendengar suaranya saja membuat Mona nyaris mual.
"Martin, ambilkan makanan," suruh mama. Martin menurut pergi dari kamar. Sedangkan mama duduk ditepi kasur. "Mona, ada apa denganmu? Belakangan kamu bersikap aneh. Hari ini kamu tidak keluar untuk makan. Ada apa? Cerita sama mama." Beliau berkata lembut.
"Mama... Aku tidak napsu makan," sahut Mona akhirnya menjawab, meski dengan suara lirih di dalam selimut.
"Bagaimana mungkin kamu tidak makan sedikit pun, Mona? Nanti perutmu sakit. Ayo bangun, mama suapi," bujuk mamanya ketika piring makanan sudah diantarkan Martin.
Martin terus menatap gundukan selimut itu dengan tatapan penuh arti. Ketika Mona luluh keluar dari selimut, mata mereka bertemu pandang sebelum Mona putuskan dengan cepat. Tiba-tiba saja ponsel mama berdering. Hal itu membuat mama melemparkan permintaan pada Martin untuk menyuapi Mona, sementara dirinya harus menjawab telepon penting.
Oh tidak... Mona ingin sekali menahan mamanya di sini. Kalau bisa biar Martin saja yang pergi. Tetapi apa daya, mamanya telah beranjak lebih dulu keluar dari kamar. Sehingga sekarang hanya ada dirinya dan Martin berdua. Terdengar helaan napas dari Martin seolah-olah itu beban baginya.
"Mona, kamu kenapa sebenarnya?"
Seketika Mona mendelik tajam. Seluruh amarahnya tersirat dalam tatapan mata Mona pada Martin. Harusnya Martin tidak bertanya begitu setelah perbuatannya malam itu.
"Makan dulu ya. Kamu harus habiskan makanan yang aku ambilkan untukmu ini," kata Martin. Dia menyendokkan nasi lalu diarahkan pada Mona.
Mona bergeming diam. Dia menolehkan wajah menolak suapan itu. Kesabaran Martin yang setipis tisu pun diuji. Martin menarik napas dalam.
"Mona---"
"Jangan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita," pungkas Mona tegas. Ucapannya jelas menyinggung kejadian tempo hari.
"Mona, sudah kubilang. Lupakan semua itu. Itu hanya kecelakaan saat aku mabuk. Kalau kamu seperti ini terus, apa kamu tidak mau bahagia bersama orang yang kamu cintai?" Martin membela diri sebenarnya, dia juga merayu Mona agar mengabaikan malam terlarang itu seperti angin lalu. Singkatnya, Martin menyepelekan Mona. Dia tak tahu betapa berharganya bagi Mona keperawanan yang dimilikinya.
Sampai detik ini bahkan mungkin selamanya, Mona akan tetap membenci Martin. Ditambah lagi kata-kata yang keluar dari pria itu, benar-benar membuat emosi Mona memuncak. Seketika Mona mengambil ponsel dan langsung melemparkannya ke Martin. Martin yang tak siap akan serangan itu pun mendapat luka di pelipisnya.
"Mona..." erang Martin kesakitan. Martin tak menyangka Mona akan bertindak sekasar ini. Pelipisnya tampak berdarah di sana.
"Pergi dari hadapanku!" usir Mona. Lalu mengambil lampu tidur dan melemparkannya ke arah Martin. Untung Martin sudah menjauh. Sehingga lampu itu menabrak tembok dan pecah di lantai.
"Tandatangani kerjasama denganku kalau kau ingin adikmu baik-baik saja.""Siapa yang sudi bekerja sama dengan pecandu sepertimu! Yang ada bisnisku merugi!""Oh? Tidak mau? Kalau begitu biar adikmu saja yang bekerja sama denganku." Pria baya itu langsung mendorong jatuh Mona ke tanah.Kemudian dia mendudukinya dengan membelakangi Martin. "Kau begitu cantik. Aku ingin memeriksamu apakah tubuhmu mulus atau rusak.""Tidak! Jangan!" Mona memberontak. Namun kedua tangannya diikat di belakang membuat dia tidak berdaya. Akhirnya kancing seragamnya berhasil dibuka oleh pria baya itu."Tidak ada kecacatan di tubuhmu yang mulus," komentar Sellon setelah melihat tubuh bagian atas Mona yang hanya mengenakan bra.Mona merasa sangat malu. Lebih malu daripada di hadapan Martin. Oh sial. Perasaan macam apa ini!"Hentikan! Jauhkan tangan kotormu dari Mona!" teriak Martin. Giginya menggeram. Sementara diam-diam dia memotong tali di pergelangan tangannya menggunakan pisau lipat yang dia siapkan sejak tad
"Mona, kakakmu menjemputmu." Tom melihat dari jendela lantai dua di perpustakaan."Aku tidak mau pulang dulu. Tom, bisakah kamu membantuku? Please.""Membantu bagaimana? Kamu ingin kabur dari kakakmu? Tapi ini sudah malam loh. Apa tidak dicariin orang tua di rumah? Pikirkan lagi." Tom bingung.Mona menunduk murung. "Pulanglah duluan, Tom. Jika dia bertanya keberadaanku, katakan saja aku sudah pulang naik bus.""Aku tidak tahu ada permasalahan apa di antara kalian. Baiklah, aku pulang duluan." Tom tanpa rasa curiga pada Mona, pamit pergi dari sekolah. Saat itu waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Kelas tambahan sudah bubar setengah jam lalu. Masih banyak anak murid di dalam sekolah walau tidak seramai saat siang hari. Rata-rata mereka menghabiskan waktu untuk belajar di kelas tambahan demi mendapat nilai memuaskan.Mona mengintip dari jendela. Memperhatikan Tom yang berjalan mendekat ke arah Martin menunggu di pos.Sesuai dengan dugaan, Martin menghentikan Tom. Mereka tampak berbic
Mona keluar dari sekolah saat langit sudah gelap. Malam pukul sembilan setelah selesai mengikuti kelas tambahan.Dijemput Martin yang sudah menunggu di depan sekolah. Mau tak mau Mona masuk ke dalam mobil dan membisu.Lambat laun gadis itu ketiduran saat dalam perjalanan pulang. Tidak mendengar suara yang diucapkan Martin yang sedang fokus mengemudi."Mona, apa kau sudah makan? Papah dan mama sedang ke luar kota hari ini. Di rumah tidak ada makanan, bagaimana kalau kita mampir." Lalu Martin menyadari kalau gadis itu sudah terlelap.Setibanya di rumah, Mona terbangun tanpa sempat dibangunkan. Dia membuka sabuk pengaman, dan tanpa mengatakan apapun pada Martin lantas masuk ke dalam rumah."Mona, jangan lupa mandi dan makan malam dulu!" Suara Martin di belakang, diabaikan Mona yang menaiki tangga.Dengan inisiatif tinggi, Martin menyiapkan makan malam sederhana di dapur. Kemudian dia membawanya ke kamar Mona.Ketukan pintu tidak dijawab oleh Mona di dalam sana, membuat Martin membuka pin
"Kak Martin! Mau kemana!" Mona panik ketika ditinggalkan pria itu."Tetap di sini, aku mau menyapa tamu lain." Martin pergi begitu saja. Ini menyebalkan bagi Mona. Seakan dirinya dicampakkan."Hai cantik. Kenapa ada anak sekolah di sini?" Seseorang menyapanya dengan senyum genit."Siapa kamu?" Mona mendelik tajam. Menjaga jarak."Aku salah satu tamu di sini. Di mana orang tuamu?"Mona kesal dengan orang yang sok akrab. Terlebih wajah pria baya itu melihatnya dengan tatapan mencurigakan.Lantas Mona pergi lewat pintu masuk tadi. Tiba-tiba tangannya dicekal pria baya itu dari belakang."Jangan dingin begitu dong, cantik. Katakan, di mana orang tuamu? Atau kamu datang sendirian?" Pria baya itu memaksa saat Mona berusaha melepaskan diri."Apa yang kau lakukan padanya?" Suara Martin akhirnya datang. Menyelamatkan Mona sesaat dari pria baya yang mesum itu."Aku hanya mengobrol dengannya. Apakah kalian pasangan?" tanya pria baya itu melihat Martin dan Mona bersama."Kami bersaudara," tegas
"Mona, karena nilaimu bagus, maukah kau mengikuti kompetisi olimpiade eksak?" Wali kelasnya bicara empat mata dengan Mona di ruang guru.Mona terkejut mendapat tawaran tersebut. "Bagaimana dengan pelajaran sehari-hariku kalau aku fokus belajar untuk olimpiade?" balas Mona membutuhkan kejelasan."Setiap peserta akan dapat kompensasi pelajaran. Nilaimu tidak akan dikurangi meski tidak hadir dalam kelas karena harus mengikuti kelas intensif nanti," jelas wali kelas itu."Aku bersedia," pungkas Mona tanpa keraguan.Sejak saat itu, jika murid lain sudah pulang sejak sore hari, Mona bersama peserta olimpiade lain masih berkutat di dalam sekolah. Mona jadi lebih sering pulang larut malam, sekitar jam sepuluh baru keluar dari sekolah.Untungnya hal tersebut diperbolehkan orang tuanya karena alasan yang dimaklumi. Padahal alasan Mona yang sebenarnya mengikuti kelas intensif ini hanya ingin menghindari Martin. Juga, dia tidak suka berada di rumah. Meskipun rumah yang ditempatinya mewah, namun k
MonamasihterkurungolehtubuhbesarMartin yang shirtless. Mona dan Martinsalingberhadapandengantatapanpenuhemosiyangtakterungkap.Suasanadisekitarmerekabegituhening,hanyaterdengarhembusanburungberkicauyangberasaldaritamanrumahyangdamai. Diamerasakandenyutanjantungnyaberdetaktidakkaruan,sepertimembenamkandirinyadalamsamudraemosiyangtakterduga."Apa yangkamurencanakan?"desisMonadengannadageram.Matanyamemancarkanapiyangmenggelora,menunjukkantekadnyauntuktidakterperangkapdalampermainanyangtak