Senin pagi itu, Diana kembali merasakan tubuhnya kurang sehat. Walaupun tidak mengalami morning sickness seperti kehamilan sebelumnya, sensasi berat di kepala membuatnya enggan meninggalkan tempat tidur barang sekejap.
Usia kandungannya kini menginjak lima minggu, terhitung sejak pemeriksaan USG kemarin sore. Dokter menyarankannya untuk menghindari aktivitas berat dan menjauhi pikiran negatif. "Masih pusing?" tanya seorang pria sambil membelai rambut Diana yang sedikit berantakan. "Iya, Mas," jawab Diana, bermanja sambil memeluk suaminya erat saat jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia mendekap Damar, seolah tak ingin membiarkannya pergi. "Tidak mual atau muntah seperti dulu?" Damar menatapnya dengan cemas. Ia merasa tidak tenang harus pergi ke kampus, meninggalkan istrinya yang tampak tak berdaya. Diana menggeleng lemah. "Pusing, rasanya seperti berputar. Tapi tidak mual sama sekali. Hanya berat saja. Seperti"Lah iya. Kamu maunya apa? Biar kubelikan di luar. Makanan, minuman, atau jus buah naga putih seperti tempo hari?" ujar Damar. Kenangan tentang kejadian kemarin, usai mengantar Diana dari dokter kandungan, kembali menyeruak. Setelah mengantarkan istrinya pulang, barulah Damar bergegas mencari jus buah naga yang diidamkan. **** Kilasan balik ke hari sebelumnya. "Ini jus buah naganya, Sayang," sapa Damar. Senja telah lama berlabuh, menyulitkan pencarian jus buah naga sesuai keinginan istrinya. Atau lebih tepatnya, rasa lelah dan enggan menyeret langkah Damar untuk mencari terlalu jauh. Rasa girang membuncah saat berhasil menggenggam minuman yang diidamkan sang istri. Sebuah tugas baru yang mulai kini menjadi favoritnya. Namun, begitu tiba di rumah, Diana justru menyambutnya dengan wajah masam. "Mas, aku tidak mau jus buah naga merah. Maunya yang putih
Senin pagi itu, Diana kembali merasakan tubuhnya kurang sehat. Walaupun tidak mengalami morning sickness seperti kehamilan sebelumnya, sensasi berat di kepala membuatnya enggan meninggalkan tempat tidur barang sekejap. Usia kandungannya kini menginjak lima minggu, terhitung sejak pemeriksaan USG kemarin sore. Dokter menyarankannya untuk menghindari aktivitas berat dan menjauhi pikiran negatif. "Masih pusing?" tanya seorang pria sambil membelai rambut Diana yang sedikit berantakan. "Iya, Mas," jawab Diana, bermanja sambil memeluk suaminya erat saat jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia mendekap Damar, seolah tak ingin membiarkannya pergi. "Tidak mual atau muntah seperti dulu?" Damar menatapnya dengan cemas. Ia merasa tidak tenang harus pergi ke kampus, meninggalkan istrinya yang tampak tak berdaya. Diana menggeleng lemah. "Pusing, rasanya seperti berputar. Tapi tidak mual sama sekali. Hanya berat saja. Seperti
“Maaas,” Diana memanggil dengan suara lirih. Damar langsung menyingkirkan bahu Dokter Lidia, ia menerobos masuk ke dalam brankar perawatan yang ditutupi tirai hijau setinggi tiga meter. “Diana, apa yang sakit? Di mana? Kamu mau apa?” Damar memberondong istrinya dengan berbagai pertanyaan, matanya menelisik setiap inci wajah Diana, mencari tanda-tanda kesakitan. Dadanya hampir saja berhenti berdetak kala Diana tak sadarkan diri tadi. “Aku masih benci kamu, Mas!” jawab Diana ketus, lalu memalingkan wajahnya, teringat kembali kejadian di parkiran. Damar mengalah, mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah. “Oke, benci boleh. Silakan. Tapi aku—” “Maaf, Tuan Damar. Ada yang ingin bertemu dengan Anda,” potong seorang perawat sambil membuka tirai. Perawat itu membawa seorang wanita cantik dan seorang anak laki-laki. Bukan Yola, wanita yang tadi. Tapi wanita yang berbeda, sedikit lebih tua, dan bersama seorang pria yang berp
“Diana!” Damar kembali berseru, suaranya memecah keheningan. Diana tak peduli. Semakin sakit perasaannya, semakin kuat ia berusaha mengabaikan Damar. Ia menyeka butiran peluh yang membasahi pelipisnya, lalu mengusap perutnya yang masih tampak datar dengan gerakan lembut. “Apakah kisah Shanum dulu akan terulang lagi? Ya Allah, ini sangat sakit,” bisiknya lirih, air mata semakin deras mengalir di pipinya. Betapa menyakitkan pemandangan itu. Seorang istri sah memergoki suaminya dipanggil 'ayah' oleh anak kecil yang tak dikenal. Bayangan Damar bersama Carol, atau wanita mana pun, saja sudah cukup untuk melemahkan seluruh sendinya. Apalagi kenyataan yang ada di depan matanya saat ini. “Haruskah aku berbagi? Aku tak sanggup!” monolognya sambil terus mengayunkan langkah, berusaha menjauh dari Damar. Damar masih berusaha mengejar Diana. “Diana,
Deg! Deg! Diana terdiam sesaat, jantungnya berdebar tak karuan. Perlahan, ia menunduk, matanya menatap tajam ke arah bocah kecil yang kini memeluk erat kaki Damar. Sebuah pertanyaan tajam meluncur dari bibirnya, "Papa? Siapa dia, Mas?" Nadanya dingin, penuh selidik, seolah setiap kata adalah tuduhan yang siap meledak. "Hei, aku bukan ayahmu!" bentak Damar panik, suaranya meninggi tak terkendali. Ia mencoba melepaskan pegangan bocah ini. Damar melirik sekilas ke arah istrinya, dan jantungnya mencelos hingga ke dasar perut. Wajah Diana berubah keruh, pucat pasi, dengan sorot mata yang gelap. Mendung hitam bergelayut di wajah cantik itu, pertanda badai akan segera datang, jauh lebih dahsyat dari badai emosi sebelumnya. Damar mulai berkeringat dingin, merasakan firasat buruk yang menusuk. "Papa, jangan tinggalkan aku lagi, ya?" kata bocah laki-laki itu, suaranya merengek, memelas,
Damar berusaha menjawab sepelan mungkin agar tidak memicu keributan. Meskipun ia adalah pemilik rumah sakit ini dan tidak mungkin ditegur satpam—tapi membuat onar di tempat umum tentu akan mengganggu kenyamanan orang lain.Dulu, saat ia jujur menceritakan semua wanita yang pernah ia ajak ke ranjang, Diana seolah tidak masalah.Damar tidak tahu saja kalau mood wanita hamil memang sering berubah-ubah. Ia tidak pernah mendampingi Diana saat ngidam, mual, dan perubahan emosional lainnya, sehingga ia benar-benar tidak paham.Diana menatap suaminya dengan pandangan tajam menusuk, kedua tangannya sudah berkacak pinggang."Wanita mana yang tidak cemburu saat suaminya selalu dikelilingi wanita cantik? Bukan aku saja yang cemburu, tetapi wanita di luaran sana pasti akan melakukan hal yang sama denganku. Itu namanya wajar, karena aku takut kehilangan! Kenapa begitu saja kamu tidak mengerti, Mas?""Jangan mentang-mentang kamu sangat tampan, lalu kamu