“Lang ...,“ panggil Adeera saat mereka sedang menikmati eskrim di bangku taman Kota. “Apa, Deer?““Gue masih penasaran sama yang perkataan Lu tadi di kelas,“ kata Adeera sambil tersenyum tipis.“Perkataan yang mana?“ tanya Elang, pura-pura tak paham.“Itu yang kata Lu aib Dewi CS,“ jawab Adeera. Elang membulatkan bibir.“Bukan apa-apa, cuma gertakan aja biar mereka kagak ngomong seenaknya. Eh tapi ternyata mujarab juga,“ sahutnya berdusta diiring tawaan geli.“Oh ... Kirain beneran,“ kata Adeera, ia ikut tertawa geli.“Ya kali gue sekepo itu, Deer. Gue bukan emak-emak cctv yang doyan ngepoin urusan orang, gue juga bukan lambe turah apalagi wartawan infotaiment,“ ujar Elang. Adeera tersenyum, membenarkan.Elang menghela napas lega, karena Adeera percaya begitu saja. Bibirnya pun melengkung sinis, mengingat kejadian seminggu lalu. Ucapannya tadi di kelas bukanlah gertakan tapi memang sebuah fakta yang pada jaman ini dianggap sebagai hal yang lumrah.“Hei, ngelamunin apa, Lu?“ Suara Ad
Terik matahari terasa membakar kulit. Selepas memberikan tugas sekelas ke ruang guru, Elang menepi sejenak karena ponselnya tak berhenti bergetar. Dahinya lantas mengernyit melihat panggilan dari sebuah nomor baru.“Hallo—““Hallo, Nak Elang. Ini Bu Asih, Nak. Kamu bisa pulang nggak? Mbakmu perdarahan.“ Rentetan ucapan dari seberang sana membuat napasnya terasa tercekat. Untuk beberapa menit, ia terpaku. Mencerna ucapan perempuan paruh baya yang merupakan tetangganya.“Nak ... Nak Elang ...““I-iya, Bu. Ba-baik, Elang izin pulang sekarang juga,“ sahutnya gugup.“Iya, Nak. Kamu langsung ke RS Hermina saja, ya. Ibu sama yang lain bawa Mbakmu ke sana.““Ba-baik. Terimakasih ya, Bu,“ ucapnya.Elang meraup wajahnya. Tergesa-gesa ia melangkah kembali ke ruang guru, meminta izin pulang. Setelah itu barulah ke kelas, lalu berdecak saat tak mendapati sahabatnya di sana. Tanpa menunggu Adeera, ia langsung meluncur keluar kelas. Menuju rumah sakit yang disebutkan tetangganya tadi.Sementara di s
“Om ...“ ucap Elang tapi menggantung begitu masuk ke ruang inap Adeera. Dimana ia melihat tak hanya orangtua Adeera yang ada di sana, tapi juga Reynan.“Elang.“ Kedua orangtua Adeera menoleh dengan pandangan sayu. Sementara Elang masih bergeming sambil menyalami keduanya. Ia juga mencoba menerka kenapa ada Reynan di antara mereka.“Rey ...“ Elang masih menatap Reynan.“Ah iya, Lang. Reynan yang nolongin Adeera,“ jelas Anjas, seakan tahu arti tatapan sahabat anaknya itu. Elang pun mengangguk lalu menghampiri pemuda tampan itu.“Rey—““Adeera dibully Dewi CS,“ potong Reynan membuat rahang Elang mengeras cepat.“Kurang ajar,“ desisnya dengan tangan mengepal.“Tapi Lo tenang aja, mereka sudah diamankan,“ ujar Rey. Elang mendengkus pelan. Lalu mendekat pada Anjas dan Vina.“Maafkan Elang ya, Om, Tante. Elang nggak bisa jagain Adeera. Andai Mbak Anggun tidak pendarahan—““Anggun pendarahan?“ sela sepasang suami istri itu dengan mata membundar. Elang mengangguk, lalu menceritakan kenapa ia
Usai menyantap makan siang, Elang dan Reynan kembali ke ruangan Adeera.Anggun sendiri masih terlelap dan Elang menitipkannya pada perawat.“Om ...“Anjas yang tertunduk mendongak seketika mendengar suara Elang.“Lang ... Gimana? Sudah makannya?“ tanyanya. Elang mengangguk.“Tante Vina mana, Om?““Tante lagi ke kantin.““Kalau Om mau nyusul, nyusul aja. Biar Elang sama Reynan yang jagain Deera,“ kata Elang. Anjas terdiam sejenak, matanya melirik pada Adeera yang masih betah di dunia mimpi. Ada perasaan khawatir jika harus meninggalkan putrinya meski untuk sekadar mengisi perut.“Om percaya kan sama Elang?“Pertanyaan Elang membuat Anjas mendengkus pelan, lalu beranjak. Ia tentu percaya pada pemuda itu. Tak ada sedikit pun keraguan di hatinya, hanya saja khawatir Adeera histeris dan ia tak mau merepotkan pemuda itu.“Om tenang saja, nanti kalau Deera kenapa-kenapa, Elang bakal langsung nelepon Om,“ cetus Elang. Anjas mengangguk lalu menepuk punggung pemuda itu.“Titip Deera ya, Lang. O
“Gue bersyukur lihat Adeera baik-baik saja walau keadaannya cukup buruk. Dia kuat,“ ucap Reynan pada Elang. Saat mereka berjalan di koridor rumah sakit. Elang bertujuan ke ruangan Anggun, sementara Reynan akan pulang.Elang tersenyum miring.“Lu salah menilai dia,“ ujarnya seraya memandang luruh ke koridor yang tampak sepi.“Salah menilai?“ ulang Reynan. Elang mengangguk.“Deera kuat menghadapi bullian dari Dewi CS karena dia sudah pernah mengalami hal yang lebih berat dari itu,“ sahut Elang dengan rahang mengeras dan sorot mata tajam.“Kalau boleh gue mau tau—“Elang menggeleng, “gue nggak punya wewenang ngasih tahu Lu. Mungkin suatu saat nanti Deera bakalan ngasih tau, walau entah kapan pastinya. Saat ini gue cuma mau cari cara bikin perhitungan sama si Mahadewi dan CS-nya.“Reynan mengangguk.“Ya. Tapi kita harus bikin rencana yang matang dan tentunya bukti yang memadai. Dia nggak bisa ditumbangkan dengan mudah,“ ujarnya.“Sebenernya gue punya bukti yang bisa bikin mereka mingkem s
Satu minggu berlalu dengan cepat dan untuk pertama kalinya setelah dirundung, Adeera menginjakkan kakinya di sekolah. Kali ini setelah diantar sang ayah, ia juga dikawal Elang dan Reynan. Dengan langkah tegap, ia melangkah, mengacuhkan berbagai tatapan para murid.Mereka bertiga melangkah terus melangkah mengabaikan para murid di sekitar yang berbisik-bisik karena dua siswa tampan telah mengawal gadis seratus kilogram. Beberapa mencibir, tapi ada juga yang semakin kagum pada kedua pemuda itu.“Lu harus pede, anggap kagak ada masalah. Biar yang lain makin cengo,“ bisik Elang. Adeera mengangguk pelan, sebisa mungkin menetralkan dada yang berdebar-debar.Sementara Reynan hanya balas tersenyum saat beberapa siswi melempar senyum sambil melambaikan tangan padanya.“Tebar pesona Lu mah!“ cibir Elang dan Reynan hanya cengengesan.“Ya orang senyum masa gue cuek-cuek aja,“ sahutnya.“Eh beneran Lu kagak takut kalau pamor Lu tiba-tiba meredup terus ngelelep?“ tanya Elang.“Kagaklah. Lagian gue
Dewi CS kembali melancarkan aksinya. Kali ini mereka melakukannya di luar lingkungan sekolah. Mengendap-endap mereka mengikuti Adeera yang melangkah tanpa didamping Elang ataupun Reynan.“Hei, Kuda Nil!“ seru Dewi saat Adeera sedang di halte, menunggu Elang dan Reynan yang masih di sekolah. Para guru memang tengah menghadiri agenda rapat sebelum ujian akhir semester, jadi para murid dipulangkan lebih awal. Mendengar suara itu, Adeera langsung membalikkan badan. Menatap Dewi CS dengan alis terangkat sebelah.“Kalian? Ada apa?“ tanyanya datar, sedatar mimik wajahnya. Dewi CS saling melempar, merasa heran karena tak melihat ketakutan di wajah Adeera.“Lo masih inget kan sama kejadian seminggu lalu?“ tanya Dewi.“Ya jelaslah, mana mungkin gue lupa sama kezaliman kalian semua,“ jawab Adeera sambil bersidekap.“Apa jangan-jangan kalian yang lupa sudah menzalimi gue?“ lanjutnya dengan mata memicing.“Menzalimi, menzalimi! Bahasa Lo udah kek ustadzah aja. Sok alim, Lo!“ umpat Dewi.“Terserah
Hari berganti. Semalaman Adeera dibuat tak bisa tidur membayangkan hidupnya setelah Elang pergi nanti. Berat sekali memang tapi ia sadar, keluarga lebih utama dari seorang sahabat.[Gue sama Elang udah di depan.]Adeera menghela napas berat saat membaca pesan yang dikirim Reynan. Lalu gegas menyeret langkah ke luar kamar.“Loh, nggak sarapan dulu?“ tanya Anjas yang sudah siap di meja makan. Adeera menggeleng.“Rey sama Elang sudah jemput,“ jawabnya.“Ya suruh mereka masuk dong. Kita sarapan bareng,“ sela Vina yang sedang menata sarapan.“Bawa bekal aja deh,“ jawab Adeera. Vina mengangguk.“Dah siap?“ tanya Reynan sambil melirik ke arah Adeera.“Sudah. Jalan, Mang! Tuan sama nyonya ada meeting dadakan,“ jawab Elang sambil tersenyum jahil.“Dih, Lu kira gua supir Lu ngapa,“ balas Reynan, nyo