PoV YuliaEvano ingin menjadi penyumbang pembuahan untuk rahimku."Ayolah, Yulia. Selain kita sama-sama menikmatinya, kamu juga bisa memanfaatkan apa yang kutanam di dalam rahimmu. Siapa tau, kamu bisa hamil olehku. Dan pastinya, suamimu akan sangat bahagia."Kedua kalinya kami melakukan itu, dengan kesadaran penuh dan tentu saja dengan penyesalan yang tak kunjung usai."Aku hamil." Hari itu, aku menunjukkan sebuah alat tes kehamilan pada Evano. Pria itu berjingkrak kegirangan."Aku akan berjuang untuk bisa hidup dengan kalian," katanya. Padahal mulanya, ia tidak berniat seperti itu."Tapi, apa kamu yakin jika bayi ini anakmu?""Tentu saja. Suamimu belum pernah membuahi rahimmu, bukan?""Lalu, apa rencanamu?" Aku sudah tak tahu harus berbuat apa. Aku takut Mas Raffa curiga, jika aku tiba-tiba hamil setelah sembilan tahun tak pernah hamil.Sejak kehamilan itu, Evano semakin menggila. Ia selalu memintanya, lagi dan lagi. Dan bodohnya, aku tidak mampu menolak. Bahkan melakukan pemeriksaa
PoV AuthorSenja menghilir angin sejuk yang terasa menenangkan. Raffa menyusuri jalanan menuju rumahnya, seraya memasukkan tangan ke dalam saku celana. Tas yang biasanya ia taruh di jok mobil, kini ia sangsangkan pada bahunya.Menatap ke kiri dan kanan jalan, ia merasakan sedikit damai. Terutama ketika melewati sebuah taman, yang ramai dengan anak-anak dan para ibu yang sedang menyuapi anaknya.Raffa sengaja pulang dengan berjalan kaki, karena sebetulnya ia enggan untuk kembali ke rumah. Bayangan wajah pengkhianat seolah membuatnya tak ingin lagi melihat.Namun Raffa memiliki sebuah rencana. Ia hanya tinggal menunggu hasil pemeriksaan kesuburannya di sebuah rumah sakit. Dan setelah hasilnya keluar nanti, ia akan bertindak sesuai dengan hasil pemeriksaan itu.Ada dua pilihan yang akan diambilnya.'Andai kesuburanku baik-baik saja, maka aku akan mengijinkanmu tetap tinggal di rumah kita, sampai bayi itu lahir. Kita akan buktikan nanti, siapa ayah dari bayi itu. Jika pun bayi itu anakku,
"Hati-hati, ya, Mas. Nanti siang, kuantar makan siang ke kantor." Yulia mengatakan itu di samping kaca mobilnya. Wanita itu memohon dengan sangat, agar sang suami mau memakai mobilnya, sampai mobil suaminya itu selesai diperbaiki. Pikir Yulia, sebagai permintaa maaf.Ia bertekad tak akan lagi keluar rumah selain dengan suaminya. Sudah dibiarkan tetap tinggal saja, ia sudah bersyukur, meski dinginnya sikap Raffa nyaris membuatnya beku tak bisa berkutik.Tentu saja hal itu menguntungkan bagi Raffa. Ada banyak rencana mencuat di kepalanya. Mobilnya sudah selesai diperbaiki sejak kemarin. Hanya saja, ia belum sempat mengambil. Bila perlu, tak usah diambil saja, pikirnya."Terserah," jawab Raffa, seolah tak peduli. Ia melesatkan mobil sedan keluaran terbaru itu dengan kecepatan sedang.Pria itu memposisikan kembali dirinya sebagai atasan di kantor tersebut. Sejenak mengesampingkan semua masalah yang tengah menerpa hidup dan rumah tangganya. Ia harus selalu menjadi panutan di kantor itu, ag
"Maafkan Mama, Nak. Karena kebodohan Mama, nasabmu masih tak jelas," ucap Yulia, seraya menitikkan air mata dan jatuh ke atas hijab warna maroonnya.Raffa memilih pergi ke kafe terdekat untuk menenangkan diri, serta menyantap beberapa suap asupan gizi yang dibutuhkannya.Ia teringat kembali pada berkas itu. Bukan hal sulit untuk mendapatkan kembali berkas yang kemarin dibawa oleh Embun. Ia hanya perlu meminta salinannya lewat email, lalu mengeprintnya. Namun kemarahannya bukan hanya karena alasan berkas itu saja. Melainkan atas pengkhianatan Yulia.Raffa pun mengirim pesan pada Embun, meminta salinan berkas permohonan kerjasama itu lagi. Ia mendapatkan nomor telepon Embun dari kartu nama yang diberikan.[Siang, Embun. Maaf, aku bisa minta salinan berkas kemarin?] [Siang, Mas. Boleh. Sebentar, ya, aku kirim.]Tak berapa lama, berkas itu masuk melalui emailnya.[Terima kasih.][Sama-sama. Oh, iya, berkas yang kemarin, kenapa?] tanya Embun.[Basah, kena tumpahan air.] Raffa berbohong. T
PoV AuthorTiga hari menjelang pengajian empat bulanan kehamilan Yulia, semua sudah ia persiapkan dengan sukacita. Raffa sangat mendukung rencana itu, dengan cara memodalinya."Coba dicek, ada lagi yang kurang, enggak?" tanya Raffa dengan nada datar. Hingga hari ini, ia masih belum berkata manis sedikitpun pada Yulia."Sudah cukup, Mas. Tinggal nunggu harinya saja. Aku jadi gak sabar, ingin segera mengirim do'a untuk bayi kita." Yulia tersenyum bahagia, membayangkan wajah gembira suaminya ketika nanti sang bayi lahir."Kirim do'a tidak perlu menunggu empat bulan," tukas Raffa dengan malas."Iya, Mas. Setiap habis shalat, aku selalu melantunkan do'a untukmu, untuk kita dan bayi kita."Yulia bersyukur, di balik semua kebohongannya, Raffa tak sedikitpun membuangnya. Meski sikap Raffa sedingin es, namun perhatiannya tetap bisa ia rasakan lewat materi yang tak terhingga. Sampai hari ini, Raffa dan Yulia tidur terpisah di kamar yang berbeda.Yulia pikir, 'Tak masalah. Seiring berjalannya wa
"Hanya hadiah kecil. Tandatangan saja, nanti juga kamu akan tahu sendiri.""Aku baca dulu, ya, Mas." Yulia ingin meraih berkas di tangan Raffa, namun segera Raffa merebutnya."Kamu tidak percaya padaku? Baiklah. Tidak usah!" Raffa menarik dan memeluk berkas itu."Mas ... sini, biar aku tandatangai," bujuk Yulia, lagi-lagi ia tidak ingin membuat Raffa kecewa.Yulia juga ingat pada permintaannya beberapa tahun lalu."Mas, kita belum punya rumah, lho.""Ini rumah kita, Sayang.""Beda, Mas. Rumah ini hadiah dari Ibumu.""Sama saja.""Tapi aku ingin punya rumah lagi, dari hasil keringatmu. Setidaknya, kalau kita sedang ada masalah, bisa kabur ke rumah itu. He he he ... tidak perlu kabur ke rumah orang tua masing-masing.""Tidak akan, jika tujuannya itu. Cukup satu rumah, agar tidak ada di antara kita yang lari dari masalah. Gak usah kabur-kabur."'Mungkin saja Mas Raffa ingin membelikan rumah untuk kami. Bisa saja, 'kan rumah itunia hadiahkan untukku atas kehamilanku. Tapi, aku takut ia ak
"Hai, Yulia!"Yulia terperanjat melihat motor yang amat ia kenali, lantas mematikan keran air dan berjalan mendekat ke arah pagar rumahnya."Mau apa kamu ke sini?" tanyanya panik. Ia sampai beberapa kali menoleh ke sekitar, khawatir ada yang melihat."Mau memastikan, apakah dirimu masih aman di sini?""Tentu saja aman. Kehadiranmu yang membuatku tidak aman!" tegasnya, penuh penekanan di akhir kalimat."Oh, ya? Bukankah aku ini bagaikan dewa yang hadir mengusir kesepianmu?" sindir pria yang masih duduk di atas jok motornya."Cih!" Yulia berdecih. "Pergilah, sebelum ada yang melihat. Jangan buat posisiku semakin sulit," pintanya."Aku akan pergi, setelah kamu menyepakati sebuah perjanjian," pungkas pria berhelm fullface warna hitam itu."Gak akan. Sedikitpun, aku tidak akan lagi percaya padamu. Aku akan berbakti pada suamiku.""Ha ha ha ...! Yakin?" tanya pria yang tak lain adalah Evano. Ia menyalakan layar ponselnya, lalu menekan tombol segitiga, memutar sebuah rekaman video panas anta
Ayah Yulia datang bersama kedua adiknya. Besok adalah acara pengajian empat bulanan kehamilan Yulia. Sementara ibunya Raffa akan datang besok pagi."Nurul ...!" Yulia memekik gembira, menyambut adik bungsunya yang baru saja turun dari taksi online."Mbak!" Gadis berusia tujuh belas tahun itu pun membalas pelukan sang kakak dengan erat."Ayo, Pak, Dek." Yulia pun menyambut adik pertama dan ayahnya, mengajak serta untuk masuk ke dalam rumah."Sehat, Nak?" tanya Pak Sujita--ayah Yulia, saat sang anak sulung menyalaminya."Alhamdulillah sehat, Pak. Bapak dan adik-adik juga sehat, 'kan? Maaf, ya, Yulia merepotkan." Tangannya terus menggenggam tangan keriput laki-laki yang merupakan cinta pertamanya, hingga ke depan pintu."Nurul seneng, deh, kalo nginap di sini. Rumahnya luas, adem, kasurnya juga nyamaaan ... gak kayak di rumah kita," ungkap Nurul, ketika menginjakkan kaki di rumah kakaknya."Harus disyukuri, Rul. Sudah bagus Mas Raffa yang bantu kita buat biaya sekolah dan makan sehari-ha