Dara terus menggerutu sambil memakai baju karena pagi ini dia terlambat bangun. Padahal dia ada kelas tepat jam delapan nanti.
"Kalau aku sampai terlambat, semua ini gara-gara kamu," omelnya pada seorang lelaki yang sedang berbaring nyaman di atas tempat tidurnya.
"Kenapa kamu menyalahkanku?" tanya lelaki itu tidak terima.
"Karena kamu terus mengajakku bercinta. Aku kan, juga lelah dan perlu beristirahat." Dara mendengkus kesal karena dia semalam hanya tidur selama tiga jam karena Tama mengajaknya bercinta nyaris sampai pagi.
Tama malah terkekeh karena Dara terlihat sangat menggemaskan jika sedang marah.
"Aduh, sisir aku di mana?" Dara mengobrak-abrik meja rias dan tempat tidurnya mencari sisir.
"Itu, di kepalamu."
"Oh." Dara sontak melirik ke atas, ternyata benda yang dia cari sejak tadi ada di kepalanya. "Kalau kaos kaki?"
"Di lemari paling bawah."
Dara segera menuju lemari pakaiannya yang berada di sudut kamar lantas mengambil sepasang kaos kaki bermotif kelinci dari sana. Kaos kaki produksi salah satu brand ternama di dunia yang dia dapatkan dari Tama sebagai hadiah. Lelaki dewasa pemilik sejuta pesona itu selalu memberinya barang-barang mahal sebagai bukti ketulusan cintanya.
Tama geleng-geleng kepala melihat tingkah Dara, bagaimana pun juga kekasihnya itu seorang gadis remaja yang masih membutuhkan bimbingan dari orang tua seperti dirinya.
Dara merapikan poninya yang menutupi dahi, setelah itu berputar beberapa kali di depan cermin untuk memastikan jika tidak ada yang kurang dari penampilannya. Gadis itu terlihat cantik memakai blous putih yang dipadu dengan rok sepan berwarna cokelat muda.
"Aku berangkat ke kampus dulu ya, Sayang," pamitnya sambil mengecup bibir Tama sekilas.
"Aku akan mengantarmu." Tama menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dada bidang dan perut Tama yang kotak-kotak terlihat jelas di kedua mata Dara karena lelaki itu hanya memakai bokser untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.
Tubuh Dara terasa adem panas. Tanpa sadar gadis itu menelan ludah karena Tama terlihat err ... sangat seksi. Rasanya dia ingin sekali memeluk tubuh Tama dengan erat. Namun, dia harus menahan keras keinginannya jika tidak ingin terlambat lagi datang ke kampus.
"Tidak perlu, aku pasti terlambat lagi kalau menunggu kamu mandi."
"Aku tidak perlu mandi untuk mengantarmu pergi ke kampus, Sayang. Lagi pula aku suka wangi tubuhku bercampur dengan wangi tubuhmu." Tama mengedipkan sebelah matanya menggoda Dara lantas beranjak mengambil salah satu kaosnya yang berada di lemari.
Wajah Dara sontak bersemu merah, jantung pun berdebar hebat mendengar ucapan Tama barusan. Tama selalu berhasil membuatnya terpesona dan jatuh cinta meskipun umur lelaki itu jauh lebih tua darinya
"Terima kasih, aku mencintaimu," ucap Dara malu-malu.
"I love you more, Baby." Tama mengecup bibir Dara sekilas sebelum mengambil mobilnya yang berada di basement. Dia rela menjadi sopir dadakan demi Dara untuk membuktikan keseriusannya.
Padahal sekarang masih pagi, tapi jalanan sudah macet dipenuhi oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Mereka tidak ada yang mau mengalah karena ingin cepat sampai ke tempat tujuan.
Dara berulang kali melihat benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Gadis itu terlihat cemas karena sepuluh menit lagi kelasnya akan dimulai.
"Apa kamu bisa lebih cepat lagi, Sayang?"
"Nggak bisa, Sayang. Kamu nggak lihat di depan ada mobil?"
"Kalau aku terlambat lagi gimana?" tanya Dara sambil menggigit kuku jarinya cemas.
Tama malah tersenyum lantas mengusap rambut Dara dengan lembut. "Kamu tenang saja. Aku jamin kamu tidak akan dihukum karena aku menjadi donatur terbesar di kampusmu, Sayang."
Dara berdecak kesal karena Tama lagi-lagi memanfaatkan kekuasaannya. Dia tidak suka. "Tidak bisa begitu dong, Sayang. Aku sudah sering sekali terlambat. Kalau mereka curiga sama hubungan kita gimana?"
Dara tanpa sadar meremas kesepuluh jemari tangannya yang dingin karena takut seluruh dosen dan mahasiswa Sand Box University mengetahui hubungan terlarang yang sudah dia jalani bersama Tama selama dua tahun.
"Kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja," ucap Tama sambil menggenggam jemari Dara dengan lembut.
"Apa kamu bisa dipercaya, Tama?" Dara menatap kedua mata Tama dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana.
"Tentu saja," jawab Tama sambil tersenyum, begitu menenangkan.
Seperti tersihir, perasaan Dara pun seketika berubah menjadi lebih tenang. "Terima kasih," ucapnya.
Tama mengangguk lalu menginjak gas mobilnya karena lampu sudah menyala hijau. Lima menit kemudian mereka tiba di Sand Box University. Dara sengaja meminta Tama menghentikan mobilnya sedikit jauh dari fakultasnya agar tidak ada mahasiswa yang melihatnya turun dari mobil mewah.
Dara pun cepat-cepat melepas sabuk pengaman yang melilit di tubuhnya karena ingin turun. Namun, Tama malah menahan pergerakan tangannya.
"Apa lagi?" desah Dara karena takut terlambat.
"Kamu melupakan ini, Sayang." Tama menunjuk bibirnya sendiri.
Dara memutar bola mata malas lantas mengecup bibir Tama sekilas. "Sudah?"
Tama tersenyum senang. "Tapi aku belum puas."
Kedua mata Dara sontak membulat karena Tama tiba-tiba meraih tengkuknya lantas menyatukan bibir mereka. Lelaki itu melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Begitu lembut dan dalam.
Holy shit!
Dara hanya bisa pasrah. Perlahan dia memejamkan kedua matanya dan membalas ciuman Tama. Saling melumat dan bertukar saliva. Rasanya sungguh gila dan mendebarkan.
"Erngh ...." Tama melepas pagutan bibirnya karena mendengar erangan halus yang keluar dari bibir Dara.
Dara pun segera menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Tama tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas.
"Dasar nakal!" maki Dara dengan napas terengah.
Tama malah tersenyum lalu mengusap sudut bibir Dara yang sedikit basah. "Tapi suka, kan?"
Pipi Dara sontak bersemu merah mendengar ucapan Tama barusan. Dia pun segera turun dari mobil Tama lalu berlari masuk ke gedung fakultasnya.
"Awas jatuh!" teriak Tama agar Dara hati-hati.
"Iya," sahut Dara tanpa berbalik menatap Tama.
Tama terus memperhatikan Dara sampai menghilang di balik pintu masuk gedung fakultasnya. Dia pun segera memutar balik mobilnya menuju apartemen Dara setelah memastikan kalau gadis itu benar-benar sudah masuk ke dalam kelas. Tepat saat itu sebuah skuter berwarna biru melintas tepat di sampingnya. Tama tahu betul siapa pemuda yang menaiki skuter tersebut. Pemuda berambut hitam itu adalah putra semata wayangnya bersama Hana.
Dia membeli skuter tersebut khusus untuk sang anak sebagai hadiah saat berulang tahun yang ke tujuh belas. Dia merasa sangat senang karena putranya memakai skuter pemberiannya untuk pergi ke kampus dan merawatnya dengan sangat baik.
Sebagai seorang ayah, Tama sepenuhnya menyadari kalau dia bukanlah sosok ayah yang baik. Namun, dia akan berusaha menjadi orang tua yang baik dan rela melakukan apa pun demi kebahagiaan putra kesayangannya itu, kecuali kembali bersama Hana.
***
"Aku memang sengaja memasang alaram sebelum tidur, makanya nggak terlambat," jawab Dara sambil terkekeh.
Sasha menghela napas. "Kenapa nggak dari dulu kamu memasang alaram, Ra?"
Dara menggaruk rambut yang tidak gatal mendengar pertanyaan Sasha barusan. Padahal setiap hari dia selalu memasang alaram sebelum tidur, tapi dia selalu saja datang terlambat setiap kali Tama mengajaknya bercinta.
"Kamu nggak lupa kan, sama tugas kelompok kita?"
"Nggak, lah. Mana mungkin aku lupa."
"Baguslah kalau gitu." Sasha terus saja mengajak Dara bicara, membuat seorang cowok yang berdiri tepat di belakang Dara mendengkus kesal karena gadis itu menghalangi jalannya.
"Ehem!"
Dara sontak berbalik membuat wajahnya membentur dada bidang Keynan. "Aduh, sorry!" ucapnya sambil mengusap hidungnya yang terlihat sedikit memerah.
"Bisa minggir dikit nggak?"
"Hah?" Dara menatap Keynan dengan mulut menganga lebar dan mata yang mengerjab-ngerjab lucu.
"Kamu menghalangi jalanku, Andara!" desis Keynan terdengar tajam.
Dara pun cepat-cepat duduk di bangkunya agar Keynan bisa lewat. "Maaf ya, aku nggak tahu kalau kamu sejak tadi berdiri di belakangku."
"Hmm ...," sahut Keynan tanpa menatap Dara. Cowok itu benar-benar dingin dan irit bicara.
"Kok, ada sih ya, cowok modelan kayak dia," gumam Shasa tanpa sadar.
"Dia siapa?" tanya Dara ingin tahu.
"Itu si Keynan. Dia dingin banget."
Dara malah terkekeh. "Maklum lah, Sha. Dia kan, anak baru."
"Seenggaknya dia bisa sedikit ramah kan, sama teman satu kelompoknya."
Dara mengangkat kedua bahunya tidak peduli. Lagi pula dia tidak ingin mengenal Keynan lebih jauh.
***
Dara tertegun, sepasang mata caramell miliknya terpaku pada lelaki berkacama mata yang berjalan menghampirinya. Selama tiga puluh detik yang dia lakukan hanya diam sambil memandangi lelaki tersebut. Dara tidak pernah menyangka Dirga datang ke pernikahannya dan Keynan karena dia tidak mengundang lelaki itu demi menjaga perasaan suaminya. Dirga menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi sesak yang menghimpit dadanya. Tangannya tanpa sadar menggenggam jemari wanita berkerudung merah muda yang menemaninya menghadiri resepsi pernikahan Dara dan Keynan dengan erat karena bagaimana pun juga Dara pernah mengisi ruang kosong di dalam hatinya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Sabrina terdengar penuh perhatian. Dirga kembali menarik napas panjang lantas mengangguk samar. "Ya, aku baik-baik saja," jawabnya. Sabrina menatap Dirga dengan lekat. Sepertinya lelaki itu belum benar-benar bisa melupakan Dara dan berpura-pura terlihat tegar di depan banyak orang. "M-Mas Dirga ...?" Keynan memeluk pingga
"Kamu kan, sudah dapat kue sendiri, Ayes. Kue ini punya kakak.""Tapi Ayes masih mau kue lagi.""Kakak tidak akan memberikan kue ini padamu.""Dasar pelit!""Biarin."Kening Keynan berkerut dalam karena mendengar suara Ayes dan Keysha. Hari Minggu yang seharusnya dia gunakan untuk beristirahat sepertinya hanya akan menjadi angan-angan belaka karena Ayes dan Keysha sangat berisik. Mereka benar-benar mengganggu waktu istirahatnya.Keynan beranjak meninggalkan tempat tidurnya lantas menghampiri Ayes dan Keysha yang sedang memperebutkan sepotong kue brownies."Kenapa kalian berisik sekali?" tanya Keynan dengan wajah mengantuk karena dia baru bisa tidur jam satu semalam. Beberapa hari ini dia memang sengaja lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya karena lusa dia akan menikah dengan Dara."Ayes, ini, Pa. Udah punya kue sendiri tapi masih minta punya Keysha.""Ayes cuma minta sedikit, Dad. Tapi Keysha nggak mau ngasih. Dasar pelit!"Kedua mata Keysha sontak membulat mendengar ucapan Ayes bar
Keynan tampak begitu serius membaca berkas yang ada di tangannya padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Semenjak satu minggu yang lalu lelaki itu memang sengaja menyibukkan diri dengan bekerja karena ingin mengalihkan pikirannya dari Dara dan Ayes.Namun, pekerjaan ternyata tidak berhasil membuatnya berhenti memikirkan Dara dan Ayes. Sehari begitu tiba di Indonesia, dia langsung menghubungi Dara untuk menanyakan kabar Ayes.Dara mengatakan kalau Ayes baik-baik saja. Namun, entah kenapa perasannya mengatakan kalau Dara sedang membohonginya. Sebagai seorang ayah yang memiliki ikatan darah dan batin dengan Ayes, dia seolah-olah bisa merasakan kalau Ayes sedang bersedih karena kepergiannya. Apa lagi dia tidak berpamitan pada Ayes."Kau belum pulang?"Keynan mengalihkan pandang dari berkas yang ada di tangannya sekilas agar bisa menatap Brian yang sedang berjalan menghampirinya."Kau sendiri kenapa masih di sini? Bukankah aku sudah memintamu untuk pulang dari tadi?""Aku tadi s
Tidak ada yang membuka suara sejak lima belas menit yang lalu. Dara hanya diam sambil meremas kesepuluh jemari tangannya tanpa berani menatap Dirga yang duduk tepat di hadapannya. Dara sepenuhnya menyadari Dirga pasti marah dan kecewa karena dia tidak memberi tahu jika dia bertemu lagi dengan Keynan. Dirga kembali meneguk segelas air putih yang ada di tangannya. Amarah dan kekecewaan tergambar jelas di wajah tampannya. Dirga merasa sangat marah sekaligus kecewa karena Dara tidak memberi tahu jika Keynan datang. Sepupunya itu bahkan tinggal di apartemen calon istrinya. Entah apa yang sudah Dara dan Keynan lalukan selama mereka tinggal bersama. Membayangkannya saja sudah membuat dadanya terasa sesak. Apakah ada hal yang lebih menyakitkan lagi dari pada ini? "Sudah berapa lama?" "Maksud, Mas?" Dara malah balik bertanya karena tidak mengerti dengan maksud Dirga. Dirga melirik Keynan dan Ayes yang sedang asyik bermain ular tangga di ruang tengah. Melihat mereka yang begitu dekat, memb
"Bagaimana undangan ini, Nona?"Dara menatap undangan yang terdapat bibit tanaman pada kertasnya. Kertas undangan tersebut akan tumbuh dan berbunga sangat indah jika diberi air lalu ditanam. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga calon memperlai pengantin berjalan harmonis.Namun, menurut Dara undangan tersebut terlalu rumit dan harganya lumayan menguras kantong."Apa ada contoh undangan lain?""Sebentar, Nona." Wanita berambut pirang yang duduk di depan Dara mencari beberapa contoh desain undangannya untuk direkomendasikan pada Dara."Bagaimana dengan yang ini, Nona?" Wanita itu menunjukkan contoh udangan pilihannya pada Dara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti pita atau bros yang bisa digunakan tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Dirga."Undangan ini cukup populer dikalangan calon pengantin akhir-akhir ini. Apa Anda tertarik dengan undangan ini?""Em ...." Kedua alis Dara tampak menyatu jika dia se
Dara hanya diam. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibirnya meskipun di kepalanya tersimpan berbagai pertanyaan untuk Keynan. Selama tiga puluh menit yang dia lakukan hanya diam sambil mengusap keringat dingin yang membasahi tubuh Keynan. Enam tahun lebih dia mengenal Keynan, dan baru pertama kali ini dia melihat lelaki itu mengerang kesakitan hingga nyaris pingsan. Obat yang dia temukan beberapa hari lalu ternyata milik Keynan. Setelah mencari tahu lewat internet, akhirnya dia tahu kalau obat tersebut adalah aspirin. Obat bagi penderita penyakit jantung. Kenapa Keynan minum aspirin? Apakah lelaki itu menderita penyakit jantung? Keynan melirik Dara lewat ekor matanya. Dia yakin sekali Dara pasti ingin menanyakan banyak hal pada dirinya. Namun, Dara malah menahannya sampai kondisinya kembali membaik. Wanita itu sangat pengertian. Sepertinya dia harus menyiapkan jawaban yang tepat agar Dara tidak khawatir. "Key ...." "Ya?" "Apa aku boleh tanya sesuatu?" "Tentu saja, Dara.