"HAHH, HAHH!?" Ariella terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat membasahi pelipis, punggungnya lengket meski AC kamar menyala. Ia mendongak, butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia masih di tempat tidur. Bahwa lampu tidur di sisi ranjang masih menyala lembut. Bahwa Rigen masih tertidur di sebelah, lengannya terentang mencari posisi memeluk, tapi tak menemukan tubuh istrinya. Satu tangan Ariella memegangi perutnya. Perasaan kosong membuncah tiba-tiba. Mimpi itu datang lagi. Bukan mimpi biasa. Tapi mimpi yang membuat tubuhnya dingin dan jiwanya beku. Dalam mimpi itu, ia berdiri sendirian di koridor rumah sakit yang panjang dan gelap. Ia mendengar suara detak jantung—cepat, lalu melambat. Melambat. Melambat. Hingga senyap. Ia berlari menyusuri lorong, membuka pintu-pintu satu per satu. Tapi tak ada siapa-siapa. Tidak ada dokter. Tidak ada Rigen. Tidak ada suara. Sampai ia melihat… sebuah inkubator. Kosong. Lalu suara ibunya berkata pelan dari belakang, “Kamu tidak
Tiga hari sudah berlalu sejak kedatangan itu. Tiga hari sejak amplop putih yang berisi uang dan permintaan kejam itu diletakkan di meja tamu—dan Ariella, seperti perempuan yang baru kehilangan suara, memilih diam. Ia membuang amplop itu malam hari, diam-diam. Membakarnya di halaman belakang setelah memastikan Rigen sudah tertidur. Ia menatap api kecil yang melahap lembar demi lembar uang seperti orang yang sedang mengantar pengkhianatan ke liang kubur. Dan sejak itu, ia tersenyum... terlalu sering. Rigen tidak curiga. Ia tetap menjadi suami yang lembut, penuh perhatian. Ia masih mencium keningnya setiap pagi, masih menyiapkan sarapan sederhana dan memijat punggungnya setiap malam. Dan Ariella membalas semua itu dengan sebaik mungkin. Ia tertawa pada candaan kecil, menyambut pelukan, dan mengangguk setiap kali ditanya, “Kamu baik-baik aja?” Tapi tubuhnya tahu. Jiwanya tahu. Ariella mulai sulit tidur. Tiap malam, detak jantung bayinya yang dulu terasa menggetarkan hati, kini membu
Sore itu seharusnya menjadi waktu tenang. Langit sedang mendung tipis, angin membawa aroma tanah yang hangat, dan Ariella baru saja selesai meminum jus alpukat yang Rigen siapkan sendiri sebelum rapat daring. Ia duduk di ruang tamu, satu tangan memegang buku kehamilan, tangan lainnya sesekali mengusap perutnya yang belum menunjukkan tonjolan apa-apa, tapi baginya, sudah menjadi dunia kecil yang berharga. Bel pintu berbunyi. Sekali. Tenang. Tapi nadanya membuat Ariella langsung waspada. Ia membuka pintu. Dan di sana, berdiri seorang wanita yang tidak ia harapkan sama sekali hari ini. Ibu Rigen. Dengan blouse putih yang licin tanpa kerut, kacamata hitam bertengger di kepala, dan tas tangan mewah yang mencolok di bawah lengannya, wanita itu berdiri seperti patung—anggun tapi dingin. “Ibu?” Ariella berusaha terdengar netral. “Kenapa tidak kalau bilang mau datang?” Ibu Rigen hanya menjawab pendek, “Sengaja.” Nada suaranya sudah cukup memberi tahu bahwa ini bukan kunjungan kekeluar
Hari itu, udara pagi terasa lebih ringan dari biasanya. Namun di dalam mobil yang melaju menuju klinik, keheningan justru menguasai. Bukan karena suasana yang tegang, melainkan karena ada terlalu banyak hal yang ingin diungkapkan—dan tidak seorang pun tahu harus memulainya dari mana. Rigen melirik ke arah Ariella, yang duduk di kursi penumpang dengan tenang. Tangan istrinya tidak henti-hentinya menyentuh perutnya yang masih tampak rata, namun kini terasa seolah menyimpan semesta kecil di dalamnya. “Apakah kamu merasa gugup, Sayang?” tanya Rigen dengan suara rendah. Ariella mengangguk pelan. “Sangat. Gugup, bahagia, khawatir... semuanya bercampur. Aku hanya takut... bagaimana jika ternyata tidak ada apa pun di dalam sana?” Rigen meraih jemari Ariella dan menggenggamnya dengan erat. “Kita datang justru untuk mengetahui hal itu. Dan apa pun hasilnya nanti, kita akan menghadapinya bersama. Kamu tidak sendiri, ada aku suamimu, Sayang." Ariella tersenyum tipis, meskipun matanya
Malam itu, keluarga besar mengadakan pesta kecil di vila milik keluarga Rigen di Puncak. Acara santai dengan dress code formal-casual, hidangan buffet elegan, dan lampu-lampu taman yang menggantung rendah menciptakan suasana hangat.Ariella berdiri di sudut taman, mengenakan dress hijau tua dengan potongan longgar yang berusaha menyamarkan perutnya yang mulai membuncit. Ia terus menarik ujung lengan panjangnya, merasa tidak nyaman. Walau sudah dandan maksimal dan memakai anting mutiara pemberian Rigen, tetap saja ia merasa... tidak selevel dengan gadis-gadis lain malam itu.Apalagi, ketika dia muncul.“Elisabeth?” bisik Ariella lirih, seolah nama itu saja bisa melukai.Ya. Elisabeth—sepupu jauh Rigen. Dulu mereka pernah dijodohkan oleh keluarga, dan nyaris bertunangan. Cantik, tinggi semampai, kulit bersih, tubuh ramping sempurna seperti iklan spa mewah. Gaun hitam satin yang dikenakannya seperti memeluk tubuhnya dengan angkuh dan penuh percaya diri.Dan yang lebih parah: dia langsung
Sudah masuk minggu kesepuluh. Trimester pertama hampir lewat, tapi perubahan di tubuh Ariella terasa makin nyata. Wajahnya mulai membulat. Rambutnya lebih mudah lepek. Pinggulnya membesar pelan-pelan, dan pagi tadi… stretch mark pertama muncul di sisi bawah perutnya. Ia berdiri di depan cermin, hanya mengenakan bra dan celana tidur, menatap pantulan tubuhnya sendiri seperti orang asing. “Siapa kamu…?” bisiknya pelan. Ada bagian dari dirinya yang ingin bahagia. Bahwa tubuh ini sedang menciptakan kehidupan, bahwa semua perubahan ini adalah proses alami. Tapi bagian lain dari dirinya—yang dulu suka tampil rapi, percaya diri, dan merasa memikat—sekarang mulai menghilang. Air mata mulai menggenang di matanya. Bukan karena lelah, tapi karena kehilangan versi dirinya yang dulu. “Gendut. Kusam. Jelek…” katanya lirih sambil menyentuh pipinya sendiri. “Rigen pasti cuma bersabar karena dia terpaksa.” Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Rigen masuk sambil membawa dua botol jus