“Ah … berhenti ….”Lenguhan itu kabur dari bibir Rena, membuat dirinya merasa malu dan menggigit kuat bibirnya.“Berhenti! Jangan— Ah!”Tubuh Rena terangkat, merasa bahwa perlakuan pria yang kini menguasai tubuhnya itu sangatlah gila, tapi memuaskan.Melihat gadis tersebut mencapai puncaknya, pria pemilik manik hitam segelap malam itu tersenyum miring. Ketampanan yang dia miliki semakin bersinar kala wajahnya menampakkan kepuasan atas reaksi gadis di bawah tubuhnya itu.“Tidakkah kamu begitu munafik, Yarena?” tanya pria itu dengan suara baritonnya yang menggelitik telinga. Dia menyugar rambutnya ke belakang, memperlihatkan jelas keinginannya untuk memiliki keseluruhan gadis di hadapan. “Bibirmu berteriak ‘berhenti’, tapi hati dan tubuhmu terus menunjukkan betapa dirimu menginginkannya.”Ekspresi pria itu perlahan berubah, dari penuh gairah dan nafsu, menjadi diselimuti amarah.“Sama seperti bagaimana kamu memutuskan untuk pergi selagi terus merindukan diriku.” Tidak berhenti sampai di
“Kamu merindukan pria bernama Dominic itu?”Pertanyaan Yara membuat Rena terkejut, tapi dia kemudian menjawab, “Dia tidak sepenting itu untuk kupikirkan.”Tidak ingin sang nenek bertanya lagi mengenai Dominic, Rena pun mengembalikan topik pembicaraan seperti yang tadi dia buat.Dengan senyum tipis di bibirnya, Rena bertanya, “Yang Mulia ingin ke mana? Kenapa tidak membawa dayang maupun pengawal?”Yara menatap Rena untuk sesaat, lalu dia pun mulai berjalan. “Ikut denganku,” titah sang ratu, membuat Rena mengikuti wanita itu tanpa bertanya kembali.Di bawah langit yang masih gelap, Yara dan Rena pun berjalan menuju area terpencil di taman kerajaan. Mereka berjalan cukup jauh sampai akhirnya tiba di depan sebuah pohon besar dengan sebuah lubang sebesar bola basket di batang kokohnya. Sebuah guci kecil dengan plakat kayu diletakkan di lubang tersebut.[Wulan Sangramawijaya]Melihat nama yang tertera di plakat, Rena pun memasang wajah kaget. “Yang Mulia, ini ….”“Ibumu adalah cahaya dalam
Manik Rena memandang sosok Lasmi yang tengah memeriksa keadaan Yara. Wanita itu dengan hati-hati menusukkan jarum ke beberapa titik kepala sang ratu sebagai salah satu bentuk pengobatan. Tanpa mengalihkan pandangannya, Rena bertanya, “Dari betapa siapnya kalian, bisa kutebak bahwa hal ini sering terjadi.” Ucapan Rena membuat Lasmi sempat tertegun, tapi wanita itu terdiam dan melanjutkan tugasnya. Sementara itu, Bhadrika yang berada di ruangan Yara selagi para bawahan terpercayanya berjaga di luar pintu berkata, “Ini yang kelima.” Jawaban Bhadrika membuat Rena mengalihkan pandangannya kepada sang jenderal. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan sedikit panik dan bingung. Sebelum Bhadrika maupun Lasmi bisa menjawab, Rena menambahkan, “Itu … adalah efek racun, bukan?” Sebagai pembunuh bayaran, Rena telah melihat berbagai macam cara satu manusia membunuh manusia lain. Dari gejala yang Yara tunjukkan, Rena yakin bahwa wanita itu telah diracun. Karena Rena bisa menebak, Bhadrik
Pernyataan Yara membuat Bhadrika dan Lasmi membelalakkan mata mereka.“Turka?” Bhadrika tak elak mengulangi ucapan Rena lantaran terlalu kaget. “Apa Tuan Putri yakin?”“Kalau tidak yakin, aku tidak akan mengatakan apa pun,” balas Rena sembari menatap Bhadrika dengan kening berkerut, sedikit tersinggung karena pria itu mempertanyakan keyakinannya.Mendengar hal ini, Bhadrika pun menundukkan kepala, merasa bersalah. “Maaf, Tuan Putri.”Terfokus pada kenyataan di depan mata, Lasmi pun langsung berkata, “Kalau seperti ini, bukankah sebaiknya kita menghubungi Pangeran Elric?” Dia menatap sang suami. “Dia pasti bisa membantu kita menyelidiki secara langsung.”Begitu mendengar Lasmi menyebut nama Elric, Rena langsung menoleh cepat ke arah wanita itu. “Elric?” ulangnya. Sudut bibir Rena berkedut. “Kalian tidak sedang membicarakan tentang … kakakku, bukan?”Setelah mengucapkan pertanyaan itu, Rena baru sadar betapa bodoh dirinya sekarang. Jelas saja yang dimaksud oleh Lasmi dan Bhadrika adalah
*Tiga minggu kemudian*Dalam sekejap mata, hari kembalinya Pangeran Maheswara dari studinya luar negerinya pun tiba.Sesuai dengan dugaan Rena, tidak lama setelah berita itu tersebar, Adipati Agung meminta untuk bertemu dengan Yara. Alhasil, Yara pun menerima saran Rena dan berujung mengadakan perjamuan besar untuk menyambut kedatangan sang pangeran.Di mata orang banyak, tindakan Yara sangatlah masuk akal mengingat bahwa sang adipati agung adalah pilar pelindung kerajaan. Ada pula yang berkata bahwa dalam kesempatan ini, Yara akan mengumumkan niatnya untuk menjodohkan sang pangeran dengan salah satu putri kerajaan—Anindita atau Saraswati.“Letakkan kudapan ini di sana.”“Tidak! Apa yang kamu lakukan!? Gunakan sapu tangan dengan kain sutra!”“Benar, di barisan pertama dua puluh kursi.”Mana terlihat sangat sibuk mengatur penataan ruang pesta. Dirinya yang dahulu sering direndahkan oleh kelompok Tari dan Yuni sekarang menjadi satu dari dua pelayan senior yang bertahan—yang satunya lagi
“T-Tuan Putri, t-tidak seharusnya kita berada di tempat ini!” desis Mana yang sedikit berlari untuk mengejar langkah kaki Rena yang lebar. “Taman istana adalah tempat yang paling sering dikunjungi para petinggi kerajaan setiap kali datang kemari! Kalau dirimu bertemu dengan salah satu dari mereka ….”Mana tidak melanjutkan ucapannya, tidak mampu membayangkan masalah apa yang bisa mengikuti skenario tersebut.Di sisi lain, Rena terus berjalan dalam diam. Dia ingat ucapan neneknya tadi pagi.“Para pejabat pastinya akan mengambil kesempatan ini untuk kembali menekanku agar menjadikan Adhisti penerus,” ujar Yara dengan wajah lelah. “Akan tetapi, sampai kenyataan terbongkar, aku tidak ingin semudah itu memberikan takhta kepada siapa pun!”Rena, yang masih membantu wanita tua tersebut mempersiapkan diri pagi itu untuk menghindari kecurigaan, berakhir berkata, “Kenapa tidak membawaku dari awal?”Kalau masih akan menjalankan rencananya, Rena yakin sang nenek cepat atau lambat harus memperkena
“Kudengar Dayang Lasmi sudah mengundurkan diri?” tanya Anindita tanpa basa-basi kepada Rena. “Kenapa?” “Kakak, itu urusan pribadi orang lain ….” Saraswati terlihat memperingatkan dengan lembut. “Lasmi adalah dayang istana, dan dayang istana adalah bawahan anggota keluarga kerajaan. Hak kita untuk tahu urusan pribadinya!” tepis Anindita dengan alis tertaut. “Kalau kamu tidak mau tahu, jangan dengar. Susah banget sih?!” balasnya ketus membuat Saraswati tertunduk diam, menyerah menghentikan sang kakak. Sementara itu, Maheswara hanya terdiam. Dia tidak mengutarakan sepatah kata pun lantaran dirinya sibuk memikirkan satu hal. Maheswara terus memperhatikan Rena. Dalam hatinya, dia memiliki kecurigaan bahwa gadis itu bukan seorang pelayan, dan itu semua karena kain sutra berkelas yang Rena kenakan. Namun, sedari tadi, Rena mampu menjawab semua pertanyaan Anindita terkait masalah istana dengan lugas dan jelas, jadi Maheswara sedikit bingung mengenai apakah kecurigaannya sia-sia? Saat Ma
‘Dominic?!’ Tubuh Rena membeku. Dia tidak mampu memercayai penglihatannya sendiri. Wajah yang beberapa waktu belakangan terus menghantui malamnya itu mendadak muncul tepat di depan mata! Seketika, seluruh ingatan dari mimpi-mimpi yang sempat hinggap sesaat dalam tidur menerpa Rena, membuat wajah gadis itu merona merah! “Adikara,” panggil Maheswara membuat Rena mengernyitkan dahinya. ‘Adikara?’ ulang gadis itu lagi dengan wajah bingung. Rena memerhatikan Maheswara tersenyum lebar kepada Dominic yang membungkuk hormat kepadanya, mengikuti adat Nusantara dengan begitu alami, seakan itu adalah adat yang Dominic ketahui selama ini. Berbeda dengan Dominic yang biasa akan langsung melemparkan senyum dan melontarkan kalimat menyebalkan untuk memancing amarah Rena, pria tersebut terfokus pada Maheswara. “Siapa ini, Pangeran?” tanya Anindita dengan pandangan genit ketika menatap Dominic. Matanya mengerjap beberapa kali, sangat kentara berusaha menarik perhatian pria tersebut. “Dia terliha