MasukMalam turun pelan, udara kosan terasa lebih tenang. Raga sudah selesai mandi, rambutnya masih basah, dan ia duduk santai di dalam kamar. Sementara itu, di saung dekat gerbang terdengar suara tawa kecil dari tiga orang perempuan yang sedang bercengkerama.
Tante Maya duduk santai sambil menatap Maudy. “Gimana skripsinya, Maud? Udah beres belum? Jangan kelamaan, makin lama kasihan orang tua, keluar uang terus buat kuliah,” ucapnya sambil bercanda. Wulan langsung tertawa, matanya melirik nakal ke arah Maudy. “Tau tuh, Maudy mah males. Padahal bahan udah siap semua, tinggal ngetik doang.” Maudy menghela napas lalu cemberut. “Yaa kamu kan tau, Lan. Aku kalo ngetik lama tuh gampang boring. Malesnya di situ, makanya suka ketunda mulu.” Tante Maya tiba-tiba menepuk tangannya. “Nah! Coba minta tolong Raga aja. Dia kan lulusan Sarjana.” Mendengar itu, Wulan dan Maudy spontan kaget. Mereka langsung menoleh bersamaan ke arah Tante Maya. “Tante tau dari siapa kalo Raga lulusan Sarjana?” tanya Maudy dengan mata melebar. Tante Maya tersenyum santai. “Ya sebelum dia kerja di sini, tante nanya-nanya lah sama dia. Malah dia sempat kasih unjuk ijazah S1-nya.” Maudy terdiam sejenak, wajahnya seperti berpikir keras. Dalam hatinya muncul ide baru, mungkin memang lebih gampang kalau ada Raga yang bantu. Wulan menangkap ekspresi itu dan cepat menimpali. “Tuh dia, minta tolong Raga aja. Kan bisa sekalian… ya nggak?” katanya sambil memberi kode soal obrolan pagi tadi. Maudy sempat melirik Wulan dengan wajah berubah. Ada semacam senyum tipis muncul, seperti mulai setuju dengan ide itu. Tante Maya mencondongkan tubuh, nadanya sedikit waspada. “Sekalian apa nih? Kalian jangan aneh-aneh sama Raga, ya.” “Enggak kok, Tan. Aman lah,” jawab Wulan cepat sambil tertawa kecil. Maudy akhirnya menghela napas lalu tersenyum. “Yaudah, aku coba ngomong sama Raga aja deh. Besok malam bantuin aku.” Kata-kata itu membuat suasana jadi berubah, seakan ada rencana baru yang diam-diam mulai disusun oleh Maudy. **** Hari itu berjalan seperti biasa, Raga sibuk dengan rutinitas kosan dari pagi sampai sore. Semua pekerjaan sudah selesai, mulai dari bersih-bersih dapur sampai memastikan halaman rapi. Saat matahari mulai turun, ia duduk santai di saung dekat gerbang untuk beristirahat. Tak lama, langkah ringan terdengar mendekat. Maudy muncul dengan daster santainya, rambut masih dikuncir seadanya. Raga melirik sebentar lalu bergeser duduk, memberi ruang di sampingnya. “Lagi apa, Mas?” tanya Maudy sambil ikut duduk. “Eh, Maudy… biasa nih, lagi santai aja,” jawab Raga sambil tersenyum kecil. Maudy menoleh, matanya tampak ragu-ragu sejenak. “Mas… kata Tante Maya, Mas lulusan Sarjana ya?” Raga agak kaget, tapi cepat menanggapi. “Hmmm… iya, kenapa emangnya?” Dalam hati ia menebak-nebak, takut kalau Maudy mau mempertanyakan pekerjaannya sekarang. Maudy menggigit bibir, lalu memberanikan diri. “Anu… Mas… aku kan lagi kerjain skripsi. Bantuin aku ngetik skripsinya dong, Mas, mau nggak?” Raga sempat menghela napas lega. “Oalah… emang bahannya udah ada?” tanyanya. “Udah kok. Semua bahan lengkap, tinggal disusun sama dikerjain aja. Cuma aku tuh suka lama kalau ngetik, gampang boring,” jelas Maudy sambil memainkan ujung rambutnya. Raga menatapnya beberapa saat sebelum mengangguk. “Yaudah, kalau gitu aku bantuin. Tapi nanti ya, habis semua pekerjaanku malam ini.” Wajah Maudy langsung berubah lebih cerah. “Serius, Mas? Wah, makasih banyak ya Mas..” “Iya, serius. Nanti malam ya.” Maudy tersenyum puas, lalu berdiri sambil menepuk pundaknya pelan. “Oke, nanti aku siapin semua bahan. Jangan lupa ya, Mas.” Raga hanya tersenyum tipis, dalam hati bertanya-tanya seperti apa malamnya nanti. Malam itu suasana kosan terasa tenang, hanya suara jangkrik yang terdengar samar dari luar. Raga selesai dengan pekerjaannya dan bergegas menuju kamar Maudy, jam dinding sudah menunjukkan pukul 9:30 malam. Begitu pintu kamar terbuka, Maudy sudah menunggunya dengan daster santai yang membuatnya terlihat begitu sederhana namun memikat. Mata Raga sempat berhenti sejenak, tertuju pada sosok Maudy. Namun ia buru-buru mengalihkan pandangan, mencoba menjaga profesionalitasnya. Ia langsung meminta bahan skripsi dan duduk di depan laptop, jari-jarinya mulai menari di atas keyboard. Sementara itu, Maudy tersenyum kecil lalu beranjak ke dapur untuk membuatkan kopi. Di sana, langkahnya terhenti karena Wulan tiba-tiba muncul dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. “Gimana? Jadi digas malam ini?” tanya Wulan sambil menampilkan senyum nakal. “Jadi dong, hehe,” jawab Maudy singkat, tangannya sibuk menyiapkan kopi panas dan biskuit ke piring kecil. “Gas lah, sekali-sekali nyobain yang asli,” sahut Wulan dengan tawa kecil, lalu kembali ke kamarnya meninggalkan Maudy yang berusaha menahan senyum. Tak lama kemudian, Maudy kembali membawa nampan berisi kopi dan camilan. Ia meletakkannya di meja kecil dekat laptop Raga. “Ini, Mas. Biar makin semangat.” “Wah, makasih,” jawab Raga sambil sekilas menoleh, lalu kembali fokus menatap layar laptop. Maudy memilih duduk di tepi ranjang, dagunya bertumpu di tangan, memperhatikan Raga yang begitu serius mengetik. Ada rasa kagum yang muncul, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang sulit ia ungkapkan. **** Waktu di layar laptop sudah melewati pukul 11:30 malam. Raga menutup mata sebentar lalu meregangkan tubuhnya, punggung terasa pegal. Dari arah ranjang, Maudy memperhatikan dengan tatapan penuh maksud. “Rehat dulu sini, Mas,” ucap Maudy sambil menepuk tepi ranjang di sampingnya. Raga pun bangkit dan berjalan pelan, lalu duduk di tepi ranjang. Pandangannya sempat berkeliling, mencoba menghindari kontak mata dengan Maudy. “Mas… aku mau tanya deh, tapi mas jawab jujur yaa.” Suara Maudy terdengar pelan, namun serius. “Nanya apa?” jawab Raga, jantungnya berdetak lebih cepat. “Waktu mas beresin kamarku, mas liat alat yang kusimpan di bawah selimut kan? Jujur, Mas. Kamu liat kan?” Raga terdiam. Pertanyaan itu bagai petir menyambar kepalanya, seakan semua rahasianya terbongkar. “I-iya, aku liat. Waktu itu aku cari sprei baru tapi nggak nemu. Maaf ya, Dy…” jawab Raga dengan suara gugup. “Mas nggak sopan tau, mindahin barang pribadiku. Padahal udah kusimpan baik-baik di bawah selimut,” kata Maudy, nadanya menekan. “Aku minta maaf, aku nggak ada niat buat kepo,” ucap Raga, wajahnya memerah menahan panik. “Gimana kalau aku laporin ke Tante Maya? Kalau Mas udah ngacak-ngacak barang pribadiku yang udah kusimpan rapi di lemari?” Maudy menatap tajam, sedikit mengancam. Ucapan itu membuat Raga terdiam. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya, sementara tenggorokannya terasa kering. Ia sadar posisinya benar-benar terjepit.Pagi itu udara masih sejuk. Matahari belum terlalu tinggi, dan halaman kos baru saja selesai disapu. Raga menyandarkan sapu di pojok teras, lalu masuk ke dapur untuk membereskan gelas dan lap meja. Hari itu dia berencana balik ke rumah Tante Maya dulu, karena perlu mandi dan ambil pakaian bersih. Ketika Raga baru saja menutup lemari piring, suara langkah dari tangga terdengar pelan. Rani turun sambil merapikan rambutnya yang masih sedikit kusut. Rani berkata pelan, “Pagi, Mas Raga.” Raga menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi juga.” Rani berjalan mendekat sedikit. “Abis beberes ya?” Raga mengangguk sambil mengambil sandal. “Iya. Mau balik sebentar ke rumah Tante Maya. Kamu mau kemana?” Rani menjawab santai, “Mau beli sarapan di luar.” Raga membuka pintu belakang rumah kos dan berjalan bersamaan dengan Rani sampai halaman depan. “Emang hari ini gak kuliah?" Rani menggeleng pelan. “Belum. Kuliah baru mulai besok. Hari ini masih libur.” Raga mengangguk paham. Beberapa detik
Malam itu kosan sunyi. Lampu lorong redup, cuma cukup buat lihat jalan. Raga selesai beberes area luar dan dapur, lalu berhenti sebentar di depan pintu kamar Gita. Di palanya cuma satu alasan: tugas bantu beresin kamar. Raga angkat tangan, ketuk pelan. Tok… tok… Beberapa detik kemudian, pintu terbuka setengah. “Mas Raga?” suara Gita terdengar santai, tapi ada nada… halus yang nggak ada semalam-semalam sebelumnya. “Masuk aja.” Raga refleks tarik napas kecil waktu pintunya kebuka lebih lebar. Gita pakai tanktop tipis warna hitam, jatuh longgar tapi tetap bentuk siluet bahunya kebayang jelas. Rambutnya digerai, ada sedikit basah kayak baru selesai mandi. Celana yang dia pakai bukan celana tidur panjang—tapi short pants kain lembut yang keliatan nyaman. Dan, entah disengaja atau tidak, dia berdiri dengan satu tangan di pinggul, satu bahu sedikit naik. Raga coba tetap datar. "Jadi ya, aku bersihin kamarmu." Gita sedikit menunduk sambil senyum tipis. “Iya Mas, sini. Aku tunggu di
Malam itu, warung kopi pinggir jalan terlihat ramai tapi tetap terasa santai. Lampu kuning redup, suara motor lewat sesekali, dan aroma kopi hitam pekat mengisi udara. Martin duduk paling pojok, tangannya menggenggam gelas kopi panas. Laura di sebelahnya sambil memainkan sendok kecil, sedangkan Raga duduk di seberangnya sambil menyeruput kopi. Raga buka pembicaraan duluan. “Tumben banget ngajak ngopi malem-malem gini, ada apa tuh?” katanya sambil melirik Martin. Martin nggak langsung jawab. Dia tarik napas kecil lalu menatap Raga dan Laura bergantian. “Laura udah cerita ke gue. Katanya Gita sama Rani udah balik kosan.” Raga mengangguk pelan. “Iya, mereka udah balik tadi pagi.” Martin ngelirik tajam, ekspresinya serius. “Menurut lu ada yang aneh nggak dari sikap mereka setelah balik?” Raga terdiam, menyandarkan punggung ke kursi sambil berpikir. Dia coba ingat momen ketemu Gita sore tadi—senyum, sikap, gaya bicara. Semuanya terasa normal, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sayangn
Siang hari, suasana rumah Tante Maya terasa tenang. Di dapur, Laura sedang membantu menyiapkan makan siang. Tangannya sibuk memotong sayuran, sementara Tante Maya meracik bumbu di kompor. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Raga keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia berjalan santai menuju dapur setelah mencium aroma masakan. “Wah… harum banget. Udah mau siap ya?” katanya sambil menarik kursi. Laura hanya nyengir kecil tanpa menoleh. Tante Maya menjawab singkat, “Sebentar lagi.” Tak lama, semua makanan sudah tersaji di meja makan. Mereka pun duduk bersama dan mulai makan dalam suasana santai. Awalnya obrolan ringan—cuaca, kegiatan hari ini, rencana sore—sampai akhirnya Tante Maya berhenti makan sebentar dan memasang ekspresi sedikit serius. “Kalian tau nggak…” katanya pelan, “Gita sama Rani kayaknya udah sampai kosan.” Seketika suasana berubah. Raga langsung berhenti mengunyah. Laura juga refleks menoleh. Keduanya j
Setelah cukup lama berkeliling, Raga dan Rahma akhirnya keluar dari mall. Langkah mereka pelan, seolah masih menikmati sisa waktu yang ada. Di area parkiran, Rahma merapikan ujung jilbabnya sementara Raga membuka kunci motor. “Aku tanya dulu,” kata Raga sambil menoleh pelan. “Abis ini mau langsung pulang? Atau masih mau jalan?” Rahma menaikkan alis, pura-pura mikir. “Hmmm…” dia menatap langit yang mulai berubah jingga. “Kayanya kalau pulang sekarang sayang banget deh. Jalan bentar ke taman kota yuk mas? Sekalian liat sunset.” Nada suaranya santai, tapi jelas ada harapan di dalamnya. Raga tersenyum kecil, mengangguk. “Yaudah. Ayo.” Mereka berdua memakai helm, lalu motor melaju pelan melewati jalanan kota sore itu. Angin sore menyapu wajah mereka, dan suasana jadi terasa tenang. Rahma sesekali menunjuk arah atau komentar hal kecil yang dilihatnya di jalan. Begitu sampai di taman kota, Raga mencari tempat parkir yang teduh. Setelah motor terkunci, mereka mulai berjalan
Sore itu suasana dapur kosan cukup tenang. Raga duduk santai sambil main ponsel dan sesekali menyeruput minumnya. Hembusan angin dari halaman belakang bikin suasana adem. Langkah kaki terdengar mendekat. Rahma muncul dari arah koridor, sudah rapi dengan tas kecil di bahu dan parfum yang cukup menyengat. “Mas Ragaa…” panggilnya sambil senyum. Raga menoleh. “Ya?” “Antarin aku yuk.” Suaranya manja tapi terdengar santai. Raga mengangkat alis. “Kemana Ma?” “Ke mall. Aku udah izin ke Tante Maya kok, dan katanya boleh.” Rahma menjawab sambil memeriksa rambutnya sendiri. “Oh gitu.” Raga bangkit dari kursinya. “Yaudah, aku siap-siap dulu sebentar.” Rahma mengangguk sambil senyum puas, lalu duduk di kursi dapur sambil memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian, Raga muncul lagi dari arah luar setelah berganti pakaian. Kaos hitam polos, celana jeans rapi, dan sepatu bersih. Rahma berdiri dan menyerahkan kunci motor padanya. “Monggo driver,” goda Rahma. Raga cuma senyum keci







