Share

Sebuah Ancaman

Penulis: NomNom69
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-03 17:50:35

Malam turun pelan, udara kosan terasa lebih tenang. Raga sudah selesai mandi, rambutnya masih basah, dan ia duduk santai di dalam kamar. Sementara itu, di saung dekat gerbang terdengar suara tawa kecil dari tiga orang perempuan yang sedang bercengkerama.

Tante Maya duduk santai sambil menatap Maudy. “Gimana skripsinya, Maud? Udah beres belum? Jangan kelamaan, makin lama kasihan orang tua, keluar uang terus buat kuliah,” ucapnya sambil bercanda.

Wulan langsung tertawa, matanya melirik nakal ke arah Maudy. “Tau tuh, Maudy mah males. Padahal bahan udah siap semua, tinggal ngetik doang.”

Maudy menghela napas lalu cemberut. “Yaa kamu kan tau, Lan. Aku kalo ngetik lama tuh gampang boring. Malesnya di situ, makanya suka ketunda mulu.”

Tante Maya tiba-tiba menepuk tangannya. “Nah! Coba minta tolong Raga aja. Dia kan lulusan Sarjana.”

Mendengar itu, Wulan dan Maudy spontan kaget. Mereka langsung menoleh bersamaan ke arah Tante Maya.

“Tante tau dari siapa kalo Raga lulusan Sarjana?” tanya Maudy dengan mata melebar.

Tante Maya tersenyum santai. “Ya sebelum dia kerja di sini, tante nanya-nanya lah sama dia. Malah dia sempat kasih unjuk ijazah S1-nya.”

Maudy terdiam sejenak, wajahnya seperti berpikir keras. Dalam hatinya muncul ide baru, mungkin memang lebih gampang kalau ada Raga yang bantu.

Wulan menangkap ekspresi itu dan cepat menimpali. “Tuh dia, minta tolong Raga aja. Kan bisa sekalian… ya nggak?” katanya sambil memberi kode soal obrolan pagi tadi.

Maudy sempat melirik Wulan dengan wajah berubah. Ada semacam senyum tipis muncul, seperti mulai setuju dengan ide itu.

Tante Maya mencondongkan tubuh, nadanya sedikit waspada. “Sekalian apa nih? Kalian jangan aneh-aneh sama Raga, ya.”

“Enggak kok, Tan. Aman lah,” jawab Wulan cepat sambil tertawa kecil.

Maudy akhirnya menghela napas lalu tersenyum. “Yaudah, aku coba ngomong sama Raga aja deh. Besok malam bantuin aku.”

Kata-kata itu membuat suasana jadi berubah, seakan ada rencana baru yang diam-diam mulai disusun oleh Maudy.

****

Hari itu berjalan seperti biasa, Raga sibuk dengan rutinitas kosan dari pagi sampai sore. Semua pekerjaan sudah selesai, mulai dari bersih-bersih dapur sampai memastikan halaman rapi. Saat matahari mulai turun, ia duduk santai di saung dekat gerbang untuk beristirahat.

Tak lama, langkah ringan terdengar mendekat. Maudy muncul dengan daster santainya, rambut masih dikuncir seadanya. Raga melirik sebentar lalu bergeser duduk, memberi ruang di sampingnya.

“Lagi apa, Mas?” tanya Maudy sambil ikut duduk.

“Eh, Maudy… biasa nih, lagi santai aja,” jawab Raga sambil tersenyum kecil.

Maudy menoleh, matanya tampak ragu-ragu sejenak. “Mas… kata Tante Maya, Mas lulusan Sarjana ya?”

Raga agak kaget, tapi cepat menanggapi. “Hmmm… iya, kenapa emangnya?” Dalam hati ia menebak-nebak, takut kalau Maudy mau mempertanyakan pekerjaannya sekarang.

Maudy menggigit bibir, lalu memberanikan diri. “Anu… Mas… aku kan lagi kerjain skripsi. Bantuin aku ngetik skripsinya dong, Mas, mau nggak?”

Raga sempat menghela napas lega. “Oalah… emang bahannya udah ada?” tanyanya.

“Udah kok. Semua bahan lengkap, tinggal disusun sama dikerjain aja. Cuma aku tuh suka lama kalau ngetik, gampang boring,” jelas Maudy sambil memainkan ujung rambutnya.

Raga menatapnya beberapa saat sebelum mengangguk. “Yaudah, kalau gitu aku bantuin. Tapi nanti ya, habis semua pekerjaanku malam ini.”

Wajah Maudy langsung berubah lebih cerah. “Serius, Mas? Wah, makasih banyak ya Mas..”

“Iya, serius. Nanti malam ya.”

Maudy tersenyum puas, lalu berdiri sambil menepuk pundaknya pelan. “Oke, nanti aku siapin semua bahan. Jangan lupa ya, Mas.”

Raga hanya tersenyum tipis, dalam hati bertanya-tanya seperti apa malamnya nanti.

Malam itu suasana kosan terasa tenang, hanya suara jangkrik yang terdengar samar dari luar. Raga selesai dengan pekerjaannya dan bergegas menuju kamar Maudy, jam dinding sudah menunjukkan pukul 9:30 malam. Begitu pintu kamar terbuka, Maudy sudah menunggunya dengan daster santai yang membuatnya terlihat begitu sederhana namun memikat.

Mata Raga sempat berhenti sejenak, tertuju pada sosok Maudy. Namun ia buru-buru mengalihkan pandangan, mencoba menjaga profesionalitasnya. Ia langsung meminta bahan skripsi dan duduk di depan laptop, jari-jarinya mulai menari di atas keyboard.

Sementara itu, Maudy tersenyum kecil lalu beranjak ke dapur untuk membuatkan kopi. Di sana, langkahnya terhenti karena Wulan tiba-tiba muncul dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

“Gimana? Jadi digas malam ini?” tanya Wulan sambil menampilkan senyum nakal.

“Jadi dong, hehe,” jawab Maudy singkat, tangannya sibuk menyiapkan kopi panas dan biskuit ke piring kecil.

“Gas lah, sekali-sekali nyobain yang asli,” sahut Wulan dengan tawa kecil, lalu kembali ke kamarnya meninggalkan Maudy yang berusaha menahan senyum.

Tak lama kemudian, Maudy kembali membawa nampan berisi kopi dan camilan. Ia meletakkannya di meja kecil dekat laptop Raga. “Ini, Mas. Biar makin semangat.”

“Wah, makasih,” jawab Raga sambil sekilas menoleh, lalu kembali fokus menatap layar laptop.

Maudy memilih duduk di tepi ranjang, dagunya bertumpu di tangan, memperhatikan Raga yang begitu serius mengetik. Ada rasa kagum yang muncul, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang sulit ia ungkapkan.

****

Waktu di layar laptop sudah melewati pukul 11:30 malam. Raga menutup mata sebentar lalu meregangkan tubuhnya, punggung terasa pegal. Dari arah ranjang, Maudy memperhatikan dengan tatapan penuh maksud.

“Rehat dulu sini, Mas,” ucap Maudy sambil menepuk tepi ranjang di sampingnya.

Raga pun bangkit dan berjalan pelan, lalu duduk di tepi ranjang. Pandangannya sempat berkeliling, mencoba menghindari kontak mata dengan Maudy.

“Mas… aku mau tanya deh, tapi mas jawab jujur yaa.” Suara Maudy terdengar pelan, namun serius.

“Nanya apa?” jawab Raga, jantungnya berdetak lebih cepat.

“Waktu mas beresin kamarku, mas liat alat yang kusimpan di bawah selimut kan? Jujur, Mas. Kamu liat kan?”

Raga terdiam. Pertanyaan itu bagai petir menyambar kepalanya, seakan semua rahasianya terbongkar.

“I-iya, aku liat. Waktu itu aku cari sprei baru tapi nggak nemu. Maaf ya, Dy…” jawab Raga dengan suara gugup.

“Mas nggak sopan tau, mindahin barang pribadiku. Padahal udah kusimpan baik-baik di bawah selimut,” kata Maudy, nadanya menekan.

“Aku minta maaf, aku nggak ada niat buat kepo,” ucap Raga, wajahnya memerah menahan panik.

“Gimana kalau aku laporin ke Tante Maya? Kalau Mas udah ngacak-ngacak barang pribadiku yang udah kusimpan rapi di lemari?” Maudy menatap tajam, sedikit mengancam.

Ucapan itu membuat Raga terdiam. Keringat dingin mulai muncul di pelipisnya, sementara tenggorokannya terasa kering. Ia sadar posisinya benar-benar terjepit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Cemburu

    Arman menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Raga sambil menyeringai.“Aahh, nanti lu juga pasti pengen balik lagi kek dulu, Ga…” katanya dengan nada menggoda, separuh serius.Raga menatapnya dengan senyum tipis. “Yaelah, lu bikin penasaran gue aja, Man.”Bayu langsung menimpali, “Kasih aja, Man, kasih! Biar dia inget rasa masa lalunya.”Arman tertawa kecil. Ia meraih ponselnya di meja, menggulir layar, lalu menyodorkannya ke Raga.“Nih…”Raga menatap layar itu — dan napasnya tercekat.Benar. Itu Rahma.Tubuhnya telanjang, tertidur dengan posisi miring, selimut setengah menutupi bagian pinggulnya.Cahaya redup kamar hotel masih bisa dikenali dari foto itu.“Anjirr… siapa itu, Man!?” seru Raga pura-pura terkejut, menahan ekspresi yang hampir pecah.Arman terkekeh bangga.“Biasa, barang bagus. Abis enak-enak, dia kecapean, tidur gitu aja. Gw iseng fotoin.”Raga mengepalkan tangan di bawah meja. Dalam dadanya, amarah dan jijik bercampur jadi satu, tapi wajahnya tetap datar.“Masih aj

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kosan Arman

    Raga yang sudah setengah berbaring langsung bangkit ketika notifikasi WA berbunyi. Ia meraih ponselnya cepat, membaca nama pengirimnya—Arman.> Arman: Wahh, Raga! Kemana aja lu.Jantung Raga sedikit berdegup lebih cepat. Ia langsung membalas tanpa berpikir panjang.> Raga: Biasa… nongkrong lah besok.Tak butuh waktu lama, balasan datang lagi.> Arman: Boleh boleh… datang aja ke kosan gue, nih alamatnya....Raga membaca pesan itu pelan-pelan, memastikan alamat yang dikirim. Setelah itu, ia mengetik balasan singkat.> Raga: Oke, besok gue otw yaa.Pesan terkirim. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menghembuskan napas pelan.Besok, pikirnya—semua akan mulai terjawab.======================JANGAN LUPA!!FOLLOW, LIKE, AND COMMENT!!======================Pagi itu udara masih sejuk, aroma sabun dari lantai yang baru dipel pelan menguap di udara.Raga menyapu halaman sambil menata beberapa pot bunga di teras. Pikirannya masih tertuju pada rencana siang nanti—pertemuannya dengan

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Pertemuan

    Pagi itu udara masih sejuk, embun belum sepenuhnya mengering di daun-daun halaman kosan. Raga menyapu pelan, menikmati ketenangan pagi yang jarang ia dapat akhir-akhir ini. Tak lama, langkah sepatu berhak terdengar dari arah pintu depan. Rahma muncul dengan setelan kantor rapi, rambutnya terikat sederhana, wajahnya tampak segar meski masih menyimpan gurat lelah. “Pagi, Mas,” sapa Rahma lembut sambil tersenyum. Raga menoleh, sedikit terkejut melihatnya sudah siap. “Pagi, Rahma. Lho, udah mau berangkat?” “Iya, Mas. Bosku udah nanyain terus, padahal baru sehari aja absen,” jawab Rahma, mencoba terdengar ceria meski suaranya masih agak pelan. “Ohh, yaudah… jaga kondisi, ya. Dan hati-hati di jalan,” kata Raga sambil menepuk gagang sapu. Rahma mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku berangkat dulu, ya.” Raga hanya tersenyum, mengikuti langkah Rahma dengan pandangan mata sampai tubuhnya perlahan menghilang di balik gerbang. Hening pagi kembali mengisi udara. Namun dalam benak Raga,

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kepingan Masalalu

    Tiba di kosan, suasana sudah sepi. Lampu lorong hanya menyala setengah, menambah kesan muram malam itu. Raga memapah Rahma perlahan menuju kamarnya di ujung koridor, memastikan gadis itu masih kuat berdiri. Begitu sampai, Rahma berhenti di depan pintu dan menatap Raga dengan mata sayu. “Mas… makasih ya, udah mau jemput aku,” ucapnya pelan. “Iya, gak usah dipikirin lagi. Yang penting kamu istirahat dulu,” jawab Raga lembut. Rahma menunduk, tangannya menggenggam gagang pintu erat. “Mas, tolong jangan bilang siapa-siapa ya… termasuk Tante Maya. Aku gak mau orang lain tahu,” katanya, suaranya nyaris bergetar. Raga mengangguk pelan. “Aku janji, Rahma. Ini cukup antara kita aja.” Rahma pun masuk ke kamarnya, menutup pintu perlahan. Raga berdiri sebentar di depan pintu itu, menarik napas panjang sebelum melangkah pergi. Sesampainya di halaman, ia langsung menuju rumah utama untuk mengembalikan kunci mobil. Tante Maya tampak duduk di ruang tamu sambil memegang tablet. “Eh,

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Kemalangan Rahma

    Dalam perjalanan malam itu, jalanan cukup lengang, hanya beberapa mobil yang melintas di arah berlawanan. Raga menyetir pelan sambil sesekali menatap layar ponselnya. Ia mencoba mengirim pesan ke Rahma.> “Rahma, kamu di mana? Aku disuruh jemput sama Tante Maya.”Beberapa menit berlalu, tidak ada balasan. Raga mulai khawatir. Ia pun mencoba menelepon. Satu kali, dua kali, tiga kali, tidak diangkat.Sambil terus mengemudi, ia menekan panggilan ulang. Akhirnya di dering keempat, sambungan terangkat. Suara Rahma terdengar di seberang—pelan, serak, dan lemah.“Ha.. halo.. Mas Raga..”“Rahma? Kamu di mana sekarang? Tante Maya nyuruh aku jemput kamu.” Raga langsung menegakkan tubuh, fokus penuh ke arah jalan.“H-hotel... Indah Palace... kamar... 203…” Suara Rahma nyaris tak terdengar jelas di antara napasnya yang berat.“Hotel? Maksud kamu di hotel, bukan kantor?” Raga bertanya memastikan, tapi Rahma hanya menggumam pelan sebelum sambungan terputus begitu saja.Tanpa pikir panjang, Raga lan

  • Gairah Liar Penghuni Kos Puteri   Wujud Asli Kosan

    Pagi itu udara masih sejuk ketika Raga sibuk menyapu halaman kosan. Matanya agak sayu, tubuhnya sedikit lemas, seolah energi semalam masih membekas. “Pagi Mas… tumben lemes banget. Kerja lembur ya semalam?” sapa Wulan yang baru saja keluar dengan helm di tangan, siap berangkat ke kampus. “E-eh Wulan… eng… iya, semalam bantuin Maudy,” jawab Raga terbata, menyembunyikan kegugupannya. Wulan tersenyum nakal, lalu menepuk bahu Raga. “Oh… yaudah Mas, banyakin minum suplemen biar gak lemes. Hehe…” katanya, kemudian menyalakan motor dan meluncur pergi. Raga terdiam sejenak, pandangannya kosong ke halaman. Dalam hatinya, ia bergumam penuh waspada. Duuhh, mudah-mudahan tadi gak ada yang liat aku keluar kamar Maudy. Ia masih ingat jelas, sebelum fajar tadi ia pelan-pelan meninggalkan kamar Maudy, yang saat itu masih tertidur pulas dalam keadaan tanpa busana, wajahnya tenang di balik selimut. Meski begitu, Raga tetap harus kembali ke rutinitasnya. Bagaimanapun, pekerjaan di kosan tidak bol

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status