Mereka bilang aku mokondo. Modal kon*** doang. Dulu, aku mati-matian menolak label itu. Menepis gunjingan rekan kerja di perusahaan besar milik Desmond Wijaya, bos sekaligus ayah mertuaku. Aku bekerja keras, memeras otak dan tenaga, bukan untuk menumpang hidup, tapi untuk membuktikan diri. Untuk diakui, bukan hanya sebagai menantu, melainkan sebagai pria yang layak. Sekarang, setelah empat tahun neraka bersamanya, aku tak lagi peduli. Biarkan mereka bicara, karena apa yang akan kulakukan jauh lebih gila dari sekadar "mokondo."
Namaku Kaindra. Tiga puluh dua tahun. Empat tahun lalu, hidupku tak lebih dari deretan angka di laporan keuangan dan target bulanan yang harus dicapai. Hingga suatu hari, sebuah pintu emas terbuka di hadapanku, dijajarkan oleh Pak Desmond. Beliau, dengan mata tajam seorang visioner bisnis, memperkenalkanku pada putri tunggalnya, Tanika. Saat itu, aku sudah menjejakkan kaki di tangga karier, meniti anak tangga demi anak tangga dengan keringat dan dedikasi. Mungkin itu yang membuat Pak Desmond, dengan insting bisnisnya yang tak pernah meleset, melihatku sebagai aset. Sebuah investasi masa depan untuk pewaris takhtanya.
Tanika. Ah, Tanika. Di mataku kala itu, dia adalah sosok yang memukau. Berbeda dari wanita kebanyakan yang kutemui di lingkaran korporat. Dia anggun, senyumnya seolah menyimpan rahasia, matanya ceria namun juga sedikit tertutup, seolah ada jutaan cerita yang disimpannya rapat-rapat. Aku, Kaindra yang selalu realistis, tak pernah menyangka bisa jatuh cinta secepat dan sedalam itu. Bermula dari rasa beruntung dikenalkan putri bos, perlahan, peruntungan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih menghanyutkan: perasaan yang tulus.
Namun, cinta memang seringkali buta, bukan? Atau mungkin aku yang sengaja memejamkan mata. Selama masa perkenalan itu, bayangan-bayangan mulai muncul. Tanika bukanlah tipikal pewaris yang berminat pada urusan bisnis keluarga. Sebaliknya, dunianya berputar di poros kebebasan, kemewahan, dan lingkaran sosialita elite. Ketika aku bersembunyi di balik tumpukan dokumen, dia berbagi senyum di acara brunch mewah, fotonya tersebar di media sosial dengan latar belakang tempat-tempat paling instagramable. Ada gejolak kecil di benakku, tapi aku selalu menepisnya. Bukankah setiap orang punya dunianya sendiri? Aku meyakinkan diri, cinta akan menyatukan segalanya.
Keraguan itu seolah sirna ketika setahun kemudian, kami memutuskan untuk menikah. Pak Desmond menyambutnya dengan senyum lebar, seolah melihat cetak biru masa depan yang sempurna. Aku yakin, ia melihatku bukan hanya sebagai menantu, tetapi sebagai jembatan yang kokoh untuk meneruskan dinasti bisnisnya. Aku tidak tahu apa yang Tanika rasakan, binar matanya selalu sulit kutafsirkan. Tapi aku, aku sungguh percaya pernikahan ini adalah lembaran baru yang akan membahagiakan kami berdua.
Beberapa hari sebelum hari besar itu tiba, alam semesta seolah mencoba memberiku peringatan. Sebuah insiden kecil, atau mungkin takdir, mempertemukan aku dengan pemandangan yang mengoyak keyakinanku. Di sebuah pusat perbelanjaan, di tengah riuhnya keramaian, aku melihat Tanika. Dia tidak sendiri. Di sampingnya, seorang pria asing. Awalnya kupikir itu teman biasa, tapi di sebuah kafe sudut, tanganku tercekat. Tangan mereka bertaut erat di atas meja, jemari Tanika yang biasa kukagumi sedang menangis, dan pria itu, dengan gestur yang terlalu intim, menyentuh wajahnya, seolah menghapus air mata yang tak bisa kulihat.
Napas tersangkut di tenggorokan. Seluruh duniaku runtuh detik itu juga. Jantungku melorot ke dasar perut, berdebar liar, bukan karena cinta, melainkan karena getaran kengerian. Aku ingin melangkah, menuntut penjelasan, menghentikan sandiwara itu. Tapi kakiku terpaku. Aku hanya berdiri di kejauhan, bagai patung yang diamati oleh ribuan pasang mata tak terlihat. Ponsel di genggaman, dengan gemetar, merekam adegan itu. Sebuah bukti bisu yang kusimpan di galeri, tanpa tahu harus berbuat apa. Malam itu, aku pulang dengan pikiran yang kacau balau.
Aku memilih diam. Sebuah keputusan terburuk yang pernah kubuat. Tidak pernah aku menanyakan, tidak pernah aku mengungkitnya. Aku memilih menjadi bodoh. Dalam benakku, aku ingin percaya bahwa ikatan kami lebih kuat dari bayangan masa lalu yang kelam. Pernikahan ini, kataku pada diri sendiri, adalah awal baru. Sebuah masa depan indah yang akan mengubur semua keraguan. Aku meyakinkan diriku bahwa aku mencintai Tanika. Bahwa dia pun mencintaiku. Dengan keyakinan rapuh itu, aku melangkah menuju altar, menatap matanya di hadapan ribuan tamu, meski kerikil di benakku terus mengganggu.
Pesta pernikahan kami adalah sebuah manifestasi kemewahan yang tak masuk akal. Sebuah ballroom hotel bintang lima, dipenuhi lebih dari 1.500 undangan. Sebagian besar dari mereka adalah kerabat Tanika dan kolega bisnis Pak Desmond. Hanya segelintir yang benar-benar kukenal: beberapa rekan kerja yang sama-sama berjuang di perusahaan, serta dua tiga teman lama yang datang dari masa laluku yang sederhana.
Aku mendengar selentingan itu, bisikan-bisikan rendah di antara para kolega yang menyebutku "mokondo". Seolah-olah aku menikahi Tanika semata-mata demi materi dan status sosial. Aku tidak peduli. Materi? Status? Bukan itu alasanku. Saat itu, aku sungguh-sungguh percaya bahwa aku dan Tanika saling mencintai. Bahwa hubungan kami dilandasi oleh perasaan yang tulus, bukan sekadar kontrak sosial atau ambisi keluarga. Dengan keyakinan itu, aku mengucap janji suci dan memulai hidup baru sebagai suami Tanika.
Tahun pertama pernikahan kami terasa seperti mimpi yang menjadi nyata. Tanika, yang sebelumnya kulihat begitu sibuk dengan dunianya sendiri, tiba-tiba menjelma menjadi istri yang perhatian. Dia mendengarkan ceritaku, mencoba memahami beban kerja yang kutanggung di perusahaan keluarganya. Kejutan-kejutan kecil sering menghiasi hari-hari kami. Kami sering menghabiskan malam bersama, bercinta dengan gairah yang membara, memadamkan semua keraguan yang pernah ada, meyakinkanku bahwa inilah bukti cinta sejati kami.
Namun, tidak semuanya terasa wajar. Ada hal-hal kecil yang terus mengganggu. Tanika, misalnya, selalu mematikan lampu saat kami bercinta. Dia hampir tidak pernah menatap mataku, bahkan di saat-saat paling intim. Sesekali aku menangkap sorot matanya yang sepintas, bukan dengan cinta atau gairah, tapi dengan sesuatu yang lebih mirip rasa bersalah atau kehampaan yang tak terlukiskan. Aku mencoba mengabaikan perasaan itu, berpikir mungkin aku hanya terlalu sensitif, terlalu banyak berkhayal. Lagipula, aku merasa bahagia. Bukankah itu yang terpenting dalam pernikahan?
Waktu terus berlalu, mengikis kebahagiaan semu yang kami bangun. Memasuki tahun ketiga pernikahan, tekanan dari Pak Desmond mulai terasa kental. Beliau ingin Tanika segera hamil. Sebagai putri tunggal, Tanika adalah penerus garis keturunan keluarga Wijaya, dan Pak Desmond sudah tak sabar menimang cucu. Ironisnya, di tengah desakan itu, hubungan kami justru semakin dingin. Kehidupan seksual kami perlahan memudar, menjadi rutinitas asing yang canggung, dan Tanika semakin jarang berada di rumah.
Aku pulang dari kantor, berharap menemukan istri yang menyambutku dengan senyum, dengan pelukan. Namun, rumah megah itu sering kosong. Hanya ada beberapa pembantu yang sigap memastikan segalanya berjalan sempurna. Sementara itu, Tanika sibuk dengan hidupnya sendiri. Jika tidak sedang bepergian ke luar negeri dengan teman-teman sosialitanya, dia pulang larut malam dengan aroma alkohol yang menyengat.
Rasa penasaran menggerogoti. Dengan siapa dia menghabiskan waktu? Beberapa kali aku mencoba mencari, mengikutinya ke tempat-tempat yang dia kunjungi—karaoke mewah, klub malam eksklusif. Tapi yang kutemukan hanya dia bersama teman-teman wanitanya, tertawa tanpa beban, seolah tak ada beban pernikahan di pundaknya. Aku merasa seperti orang bodoh yang hanya menjadi pelengkap dalam hidupnya, sebuah ornamen yang bisa diabaikan. Namun, aku tetap menahan diri untuk tidak mempermasalahkannya. Aku masih berharap, masih ingin percaya.
Suatu hari, kami berencana menghabiskan waktu berdua. Aku bahkan sengaja pulang lebih cepat, ingin menepati janji kami yang rapuh. Tapi saat aku masuk ke rumah, Tanika tampak tergesa-gesa. Dia merapikan tasnya dengan canggung, menghindari mataku, dan segera pergi tanpa banyak penjelasan, hanya gumaman "ada urusan mendadak" yang terasa hambar.
Ada sesuatu yang janggal dalam tingkah lakunya malam itu. Rasa penasaran menguasai pikiranku. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk mengikutinya dari jauh. Mobilnya meluncur mulus menuju hotel bintang lima di pusat kota, gemerlap di bawah sorotan lampu malam. Aku memarkir mobilku di kejauhan, menunggu dan mengamati, jantungku bergemuruh tak karuan.
Malam itu, aku menyaksikan duniaku meledak di depan mataku sendiri. Melalui jendela lobi, aku melihat Tanika, dan pria itu. Pria yang sama dari foto di ponselku empat tahun lalu. Senyum di wajah pria itu, tangan yang menggenggam erat lengan Tanika, bisikan-bisikan yang tak bisa kudengar tapi bisa kurasakan getarannya. Dan kemudian lift itu terbuka, menelan mereka berdua ke lantai atas, meninggalkan aku terkapar di dalam mobil. Aku diam, tidak berani maju, tidak sanggup mundur. Aku hanya terdiam, merasa seperti orang asing dalam hidupku sendiri.
Hatiku hancur berkeping-keping tidak bersisa. Aku ingin menghadapinya, ingin menuntut penjelasan, ingin berteriak melampiaskan semua rasa sakit. Tapi, setelah beberapa waktu duduk sendirian di dalam mobil, menelan kepahitan yang tak ada habisnya, aku membuat sebuah keputusan. Aku memilih untuk diam. Apa gunanya? Dengan segala kenyamanan dan materi yang sekarang kumiliki, meninggalkan Tanika, putri tunggal Desmond Wijaya, bukanlah pilihan yang realistis. Aku tidak siap kembali ke kehidupan lamaku yang penuh perjuangan, tanpa jaminan, tanpa pijakan.
Aku menelan luka itu bulat-bulat. Sejak malam terkutuk itu, sebuah ide gelap mulai merayap, mengubah segalanya. Jika Tanika bisa mempermainkanku, jika dia bisa berselingkuh di belakangku, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama? Jika dia bisa bermain api, maka aku juga bisa lebih gila darinya. Jika pengkhianatan ini adalah seni, maka aku akan menjadi mahagurunya.
Di malam yang dingin dan penuh luka itu, Kaindra yang lama mati. Petualangan baruku pun dimulai. Bukan lagi tentang mencari cinta, tapi tentang memenuhi kekosongan dengan cara yang paling gelap dan tak terduga.
“Aku memanggil kalian ke sini,” lanjut Tanika, “bukan untuk meminta maaf atau meminta belas kasihan. Aku memanggil kalian ke sini untuk memberikan restuku.”Dia memberi isyarat pada Serenity untuk mendekat. Serenity, yang biasanya begitu liar dan percaya diri, melangkah maju dengan ragu, seperti anak kecil yang dipanggil oleh kepala sekolah. Dia berlutut di samping kursi roda Tanika.“Serenity,” kata Tanika lembut. “Kau adalah apinya. Gairah yang murni dan tak terkendali. Di dalam dirimu, tumbuh seorang pejuang. Jangan biarkan dunia memadamkan api itu. Ajari dia untuk menjadi kuat dan berani.”Tanika meletakkan tangannya yang kurus di atas perut Serenity. Serenity terkesiap, lalu menangis tersedu-sedu, membenamkan wajahnya di pangkuan Tanika.
Matahari terbit di Maladewa terasa berbeda hari ini. Bukan lagi janji akan hari yang baru dan penuh harapan, melainkan pengingat yang kejam akan senja yang semakin dekat. Setiap kilau keemasan yang menari di permukaan laut yang tenang adalah sebutir pasir yang jatuh dari jam waktu Tanika, jam waktu kami.Aku terbangun sebelum dia. Aku tidak tidur semalaman. Aku hanya memandangnya, mencoba menghafal setiap detail wajahnya yang damai dalam tidurnya. Lekuk bibirnya, bulu matanya yang lentik, helai rambut yang jatuh di pipinya. Aku membelainya dengan ujung jariku, begitu lembut, takut sentuhanku akan membangunkannya, takut kehilangan satu detik pun dari kedamaian ini.Penolakannya atas pengorbananku tadi malam bukanlah sebuah akhir dari perdebatan. Itu adalah sebuah pernyataan. D
Maladewa, hari ketujuh. Sebuah lukisan melankolis yang diwarnai awan kelabu tipis, seolah langit itu sendiri ikut merasakan beban waktu kami yang hampir habis. Kami, kuas yang gemetar, sedang menggoreskan perpisahan di kanvas senja. Kami menghabiskan sepanjang hari di dalam vila, seolah ingin menghentikan waktu dengan menolak untuk keluar, terperangkap dalam gelembung keindahan yang rapuh.Tidak ada lagi gairah yang liar dan eksplosif seperti di awal minggu. Yang ada hanyalah keintiman yang lambat, putus asa, dan begitu dalam, setiap sentuhan adalah sebuah usaha untuk menunda ketiadaan. Kami bercinta seolah-olah itu adalah napas terakhir kami, setiap desahan adalah sebuah doa untuk waktu yang tak akan pernah kembali. Aku akan menatap mata Tanika selama berjam-jam, mencoba menghafal setiap binar, setiap helai bulu matanya yang lentik, seolah ingin memahatnya ke dalam ingatanku agar tak pernah pudar. Tangank
Dia menarikku ke lantai dansa yang ramai, di mana tubuh-tubuh berdesakan dan lampu-lampu strobo berkedip-kedip, menciptakan ilusi gerakan yang terputus-putus. Dia menekan tubuhnya ke tubuhku, pinggulnya yang lentur bergerak melingkar, menggesek selangkanganku dengan ritme musik yang menghentak. Panas tubuhnya menembus pakaian kami, dan aku bisa merasakan gesekan bokongnya yang montok di kejantananku yang masih menegang.“Semua orang melihat kita,” bisikku di telinganya, napasku memburu, tanganku melingkari pinggangnya erat.“Aku tahu,” balasnya, napasnya sama memburunya. Dia mendongak, matanya menatap mataku, penuh gairah yang membakar. “Aku ingin mereka melihatmu. Aku ingin mereka melihat bagaimana kau menginginkanku. Bagaimana aku menginginkanmu.”Di tengah kerumunan yang berden
Setelah malam pengakuan yang menguras jiwa aku pikir hari-hari kami di surga ini akan diisi dengan keheningan yang nyaman dan keintiman yang lembut. Aku salah. Aku telah membebaskan Tanika dari penjaranya, penjara yang ia bangun sendiri dari rasa takut dan ekspektasi. Tapi aku lupa, seekor burung yang terlalu lama dikurung, saat akhirnya terbang, tidak akan terbang dengan tenang. Dia akan terbang dengan liar, dengan sayap mengepak gila-gilaan, ingin merasakan setiap embusan angin yang selama ini terlarang.Pagi harinya, setelah sesi bercinta yang lambat dan penuh perasaan, yang membuat kami berdua terengah-engah dan berkeringat, Tanika menyandarkan kepalanya di dadaku. Jemarinya yang lentik memainkan bulu-bulu tipis di dadaku, sementara napasnya yang hangat meniup di kulitku. Setelah beberapa saat keheningan yang nyaman, dia mendongak, menatapku dengan mata berbinar, sebuah kilatan nakal yang belum pernah
Aku menatap payudaranya yang indah, membusung sempurna, dengan puting yang sudah menegang dan merona merah muda. Dengan napas tertahan, aku menghisap putingnya yang keras dengan rakus, lidahku memutar dan menariknya lembut, membuat Tanika mendesah namaku berulang kali, suaranya tercekat di tenggorokan. Jari-jariku memijat payudara sebelahnya, meremasnya lembut, memutar putingnya yang lain, memastikan sensasi yang sama mengalir di seluruh tubuhnya.Dia mengerang, punggungnya sedikit melengkung, pinggulnya terangkat dari daybed, mencari kontak yang lebih dalam. Tanganku bergerak turun, menjelajahi perutnya yang rata dan kencang. Aku mengecup pusarnya, merasakan panas dari sana, lalu semakin rendah, ke bawah pusar, mengelus bulu-bulu tipis di sana.Aku menatapnya, memastikan dia siap. Mata Tanika berkabut gairah, tatapannya memohon dan penuh kepercayaan. Aku memis