Share

Gairah Liar Perselingkuhan
Gairah Liar Perselingkuhan
Author: kodav

Bab 01

Author: kodav
last update Last Updated: 2025-06-29 07:09:46

Mereka bilang aku mokondo. Modal kon*** doang. Dulu, aku mati-matian menolak label itu. Menepis gunjingan rekan kerja di perusahaan besar milik Desmond Wijaya, bos sekaligus ayah mertuaku. Aku bekerja keras, memeras otak dan tenaga, bukan untuk menumpang hidup, tapi untuk membuktikan diri. Untuk diakui, bukan hanya sebagai menantu, melainkan sebagai pria yang layak. Sekarang, setelah empat tahun neraka bersamanya, aku tak lagi peduli. Biarkan mereka bicara, karena apa yang akan kulakukan jauh lebih gila dari sekadar "mokondo."

Namaku Kaindra. Tiga puluh dua tahun. Empat tahun lalu, hidupku tak lebih dari deretan angka di laporan keuangan dan target bulanan yang harus dicapai. Hingga suatu hari, sebuah pintu emas terbuka di hadapanku, dijajarkan oleh Pak Desmond. Beliau, dengan mata tajam seorang visioner bisnis, memperkenalkanku pada putri tunggalnya, Tanika. Saat itu, aku sudah menjejakkan kaki di tangga karier, meniti anak tangga demi anak tangga dengan keringat dan dedikasi. Mungkin itu yang membuat Pak Desmond, dengan insting bisnisnya yang tak pernah meleset, melihatku sebagai aset. Sebuah investasi masa depan untuk pewaris takhtanya.

Tanika. Ah, Tanika. Di mataku kala itu, dia adalah sosok yang memukau. Berbeda dari wanita kebanyakan yang kutemui di lingkaran korporat. Dia anggun, senyumnya seolah menyimpan rahasia, matanya ceria namun juga sedikit tertutup, seolah ada jutaan cerita yang disimpannya rapat-rapat. Aku, Kaindra yang selalu realistis, tak pernah menyangka bisa jatuh cinta secepat dan sedalam itu. Bermula dari rasa beruntung dikenalkan putri bos, perlahan, peruntungan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih menghanyutkan: perasaan yang tulus.

Namun, cinta memang seringkali buta, bukan? Atau mungkin aku yang sengaja memejamkan mata. Selama masa perkenalan itu, bayangan-bayangan mulai muncul. Tanika bukanlah tipikal pewaris yang berminat pada urusan bisnis keluarga. Sebaliknya, dunianya berputar di poros kebebasan, kemewahan, dan lingkaran sosialita elite. Ketika aku bersembunyi di balik tumpukan dokumen, dia berbagi senyum di acara brunch mewah, fotonya tersebar di media sosial dengan latar belakang tempat-tempat paling instagramable. Ada gejolak kecil di benakku, tapi aku selalu menepisnya. Bukankah setiap orang punya dunianya sendiri? Aku meyakinkan diri, cinta akan menyatukan segalanya.

Keraguan itu seolah sirna ketika setahun kemudian, kami memutuskan untuk menikah. Pak Desmond menyambutnya dengan senyum lebar, seolah melihat cetak biru masa depan yang sempurna. Aku yakin, ia melihatku bukan hanya sebagai menantu, tetapi sebagai jembatan yang kokoh untuk meneruskan dinasti bisnisnya. Aku tidak tahu apa yang Tanika rasakan, binar matanya selalu sulit kutafsirkan. Tapi aku, aku sungguh percaya pernikahan ini adalah lembaran baru yang akan membahagiakan kami berdua.

Beberapa hari sebelum hari besar itu tiba, alam semesta seolah mencoba memberiku peringatan. Sebuah insiden kecil, atau mungkin takdir, mempertemukan aku dengan pemandangan yang mengoyak keyakinanku. Di sebuah pusat perbelanjaan, di tengah riuhnya keramaian, aku melihat Tanika. Dia tidak sendiri. Di sampingnya, seorang pria asing. Awalnya kupikir itu teman biasa, tapi di sebuah kafe sudut, tanganku tercekat. Tangan mereka bertaut erat di atas meja, jemari Tanika yang biasa kukagumi sedang menangis, dan pria itu, dengan gestur yang terlalu intim, menyentuh wajahnya, seolah menghapus air mata yang tak bisa kulihat.

Napas tersangkut di tenggorokan. Seluruh duniaku runtuh detik itu juga. Jantungku melorot ke dasar perut, berdebar liar, bukan karena cinta, melainkan karena getaran kengerian. Aku ingin melangkah, menuntut penjelasan, menghentikan sandiwara itu. Tapi kakiku terpaku. Aku hanya berdiri di kejauhan, bagai patung yang diamati oleh ribuan pasang mata tak terlihat. Ponsel di genggaman, dengan gemetar, merekam adegan itu. Sebuah bukti bisu yang kusimpan di galeri, tanpa tahu harus berbuat apa. Malam itu, aku pulang dengan pikiran yang kacau balau. 

Aku memilih diam. Sebuah keputusan terburuk yang pernah kubuat. Tidak pernah aku menanyakan, tidak pernah aku mengungkitnya. Aku memilih menjadi bodoh. Dalam benakku, aku ingin percaya bahwa ikatan kami lebih kuat dari bayangan masa lalu yang kelam. Pernikahan ini, kataku pada diri sendiri, adalah awal baru. Sebuah masa depan indah yang akan mengubur semua keraguan. Aku meyakinkan diriku bahwa aku mencintai Tanika. Bahwa dia pun mencintaiku. Dengan keyakinan rapuh itu, aku melangkah menuju altar, menatap matanya di hadapan ribuan tamu, meski kerikil di benakku terus mengganggu.

Pesta pernikahan kami adalah sebuah manifestasi kemewahan yang tak masuk akal. Sebuah ballroom hotel bintang lima, dipenuhi lebih dari 1.500 undangan. Sebagian besar dari mereka adalah kerabat Tanika dan kolega bisnis Pak Desmond. Hanya segelintir yang benar-benar kukenal: beberapa rekan kerja yang sama-sama berjuang di perusahaan, serta dua tiga teman lama yang datang dari masa laluku yang sederhana. 

Aku mendengar selentingan itu, bisikan-bisikan rendah di antara para kolega yang menyebutku "mokondo". Seolah-olah aku menikahi Tanika semata-mata demi materi dan status sosial. Aku tidak peduli. Materi? Status? Bukan itu alasanku. Saat itu, aku sungguh-sungguh percaya bahwa aku dan Tanika saling mencintai. Bahwa hubungan kami dilandasi oleh perasaan yang tulus, bukan sekadar kontrak sosial atau ambisi keluarga. Dengan keyakinan itu, aku mengucap janji suci dan memulai hidup baru sebagai suami Tanika.

Tahun pertama pernikahan kami terasa seperti mimpi yang menjadi nyata. Tanika, yang sebelumnya kulihat begitu sibuk dengan dunianya sendiri, tiba-tiba menjelma menjadi istri yang perhatian. Dia mendengarkan ceritaku, mencoba memahami beban kerja yang kutanggung di perusahaan keluarganya. Kejutan-kejutan kecil sering menghiasi hari-hari kami. Kami sering menghabiskan malam bersama, bercinta dengan gairah yang membara, memadamkan semua keraguan yang pernah ada, meyakinkanku bahwa inilah bukti cinta sejati kami.

Namun, tidak semuanya terasa wajar. Ada hal-hal kecil yang terus mengganggu. Tanika, misalnya, selalu mematikan lampu saat kami bercinta. Dia hampir tidak pernah menatap mataku, bahkan di saat-saat paling intim. Sesekali aku menangkap sorot matanya yang sepintas, bukan dengan cinta atau gairah, tapi dengan sesuatu yang lebih mirip rasa bersalah atau kehampaan yang tak terlukiskan. Aku mencoba mengabaikan perasaan itu, berpikir mungkin aku hanya terlalu sensitif, terlalu banyak berkhayal. Lagipula, aku merasa bahagia. Bukankah itu yang terpenting dalam pernikahan?

Waktu terus berlalu, mengikis kebahagiaan semu yang kami bangun. Memasuki tahun ketiga pernikahan, tekanan dari Pak Desmond mulai terasa kental. Beliau ingin Tanika segera hamil. Sebagai putri tunggal, Tanika adalah penerus garis keturunan keluarga Wijaya, dan Pak Desmond sudah tak sabar menimang cucu. Ironisnya, di tengah desakan itu, hubungan kami justru semakin dingin. Kehidupan seksual kami perlahan memudar, menjadi rutinitas asing yang canggung, dan Tanika semakin jarang berada di rumah.

Aku pulang dari kantor, berharap menemukan istri yang menyambutku dengan senyum, dengan pelukan. Namun, rumah megah itu sering kosong. Hanya ada beberapa pembantu yang sigap memastikan segalanya berjalan sempurna. Sementara itu, Tanika sibuk dengan hidupnya sendiri. Jika tidak sedang bepergian ke luar negeri dengan teman-teman sosialitanya, dia pulang larut malam dengan aroma alkohol yang menyengat.

Rasa penasaran menggerogoti. Dengan siapa dia menghabiskan waktu? Beberapa kali aku mencoba mencari, mengikutinya ke tempat-tempat yang dia kunjungi—karaoke mewah, klub malam eksklusif. Tapi yang kutemukan hanya dia bersama teman-teman wanitanya, tertawa tanpa beban, seolah tak ada beban pernikahan di pundaknya. Aku merasa seperti orang bodoh yang hanya menjadi pelengkap dalam hidupnya, sebuah ornamen yang bisa diabaikan. Namun, aku tetap menahan diri untuk tidak mempermasalahkannya. Aku masih berharap, masih ingin percaya.

Suatu hari, kami berencana menghabiskan waktu berdua. Aku bahkan sengaja pulang lebih cepat, ingin menepati janji kami yang rapuh. Tapi saat aku masuk ke rumah, Tanika tampak tergesa-gesa. Dia merapikan tasnya dengan canggung, menghindari mataku, dan segera pergi tanpa banyak penjelasan, hanya gumaman "ada urusan mendadak" yang terasa hambar.

Ada sesuatu yang janggal dalam tingkah lakunya malam itu. Rasa penasaran menguasai pikiranku. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk mengikutinya dari jauh. Mobilnya meluncur mulus menuju hotel bintang lima di pusat kota, gemerlap di bawah sorotan lampu malam. Aku memarkir mobilku di kejauhan, menunggu dan mengamati, jantungku bergemuruh tak karuan.

Malam itu, aku menyaksikan duniaku meledak di depan mataku sendiri. Melalui jendela lobi, aku melihat Tanika, dan pria itu. Pria yang sama dari foto di ponselku empat tahun lalu. Senyum di wajah pria itu, tangan yang menggenggam erat lengan Tanika, bisikan-bisikan yang tak bisa kudengar tapi bisa kurasakan getarannya. Dan kemudian lift itu terbuka, menelan mereka berdua ke lantai atas, meninggalkan aku terkapar di dalam mobil. Aku diam, tidak berani maju, tidak sanggup mundur. Aku hanya terdiam, merasa seperti orang asing dalam hidupku sendiri.

Hatiku hancur berkeping-keping tidak bersisa. Aku ingin menghadapinya, ingin menuntut penjelasan, ingin berteriak melampiaskan semua rasa sakit. Tapi, setelah beberapa waktu duduk sendirian di dalam mobil, menelan kepahitan yang tak ada habisnya, aku membuat sebuah keputusan. Aku memilih untuk diam. Apa gunanya? Dengan segala kenyamanan dan materi yang sekarang kumiliki, meninggalkan Tanika, putri tunggal Desmond Wijaya, bukanlah pilihan yang realistis. Aku tidak siap kembali ke kehidupan lamaku yang penuh perjuangan, tanpa jaminan, tanpa pijakan.

Aku menelan luka itu bulat-bulat. Sejak malam terkutuk itu, sebuah ide gelap mulai merayap, mengubah segalanya. Jika Tanika bisa mempermainkanku, jika dia bisa berselingkuh di belakangku, kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama? Jika dia bisa bermain api, maka aku juga bisa lebih gila darinya. Jika pengkhianatan ini adalah seni, maka aku akan menjadi mahagurunya.

Di malam yang dingin dan penuh luka itu, Kaindra yang lama mati. Petualangan baruku pun dimulai. Bukan lagi tentang mencari cinta, tapi tentang memenuhi kekosongan dengan cara yang paling gelap dan tak terduga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 59

    Serenity dengan sigap menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Belum Des, lagi beres-beres, kenapa Des?” jawab Serenity, suaranya terdengar sedikit lebih tinggi dari biasanya, tapi masih berusaha terdengar tenang dan normal.Sambil menjawab Dessy, Serenity dengan cepat melepaskan pelukanku dan mendorongku menjauh. Aku pun segera bergerak cepat, memasukan milikkuku ke dalam sarangnya lagi lalu merapikan celanaku dan kancing kemejaku yang terbuka beberapa buah. Jantungku masih berdebar kencang, dipenuhi rasa khawatir dan sedikit geli. Situasi ini benar-benar di luar dugaan.“Aku lagi cari Pak Kai, Bu. Ini ada yang perlu ditanda tangani,” suara Dessy terdengar lagi, kali ini sedikit lebih jelas.“Pak Kai? Pak Kai nggak ada di sini, Des.” jawab Serenity lagi, berusaha men

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 58

    Awalnya ciumanku hanya menempel lembut, seperti sentuhan permintaan maaf. Tapi kemudian, aku memperdalamnya, melumat bibir bawahnya dengan bibirku. Serenity terkejut. Aku bisa merasakan tubuhnya menegang di bawah sentuhanku. Tangannya yang tadi terkepal di atas meja kini mendorong dadaku, berusaha menjauhkan diri.Namun, aku tidak melepaskan ciumanku. Sebaliknya, kuraih pinggulnya, menariknya lebih dekat hingga tubuhnya menempel padaku, membatalkan niatnya untuk mendorongku. Kursi putarnya sedikit bergoyang karena gerakan tiba-tiba kami. Kini aku berada di antara kakinya yang terbuka, rok mininya sedikit tersingkap karena posisinya, memperlihatkan sedikit paha mulusnya.Ciuman kami semakin intens. Aku melumat bibirnya dengan lebih dalam, lidahku menari di dalam mulutnya, menjelajah setiap sudut dan celah. Serenity masih sedikit kaku, tapi aku merasakan pe

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 57

    Bab 57 - Sahabat atau Musuh?Serenity tertawa kecil, suara tawanya terdengar seperti angin yang berbisik di telinga, lembut namun menusuk. "Marah? Kenapa aku harus marah, Kai? Bukannya itu justru bagus?"Bibir kami makin mendekat, begitu dekat hingga aku bisa merasakan embusan napasnya yang segar dengan aroma mint yang tajam, menusuk indra penciumanku dengan sensasi menggoda."Kai..." Serenity berbisik pelan sebelum akhirnya menutup jarak di antara kami.Bibirnya yang lembut menempel di bibirku, awalnya hanya sentuhan ringan yang sekadar mengeksplorasi, namun dalam hitungan detik, aku tak bisa menahan diri untuk membalasnya. Aku mengulum bibir bawahnya, menggigi

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 56

    Rahasia itu—momen terlarang di kantorku bersama Fiona—masih menjadi kartu truf di tangannya. Tapi aku tidak mau kalah begitu saja, tidak di hadapan wanita ini. Harga diriku sebagai seorang pria memberontak. Aku menyunggingkan senyum kecil, senyum yang dipaksakan namun berusaha terlihat percaya diri. Aku mencoba membalik situasi, bermain api dengannya.“Terus terang, aku nggak takut, Mbak,” balasku dengan nada santai, meski ada sedikit rasa gugup yang kututupi dengan baik. Aku berusaha menatap matanya tanpa gentar, menantangnya secara halus. “Aku sudah pasrah, Mbak. Pasrah diapain aja sama Mbak.” Aku menatapnya dengan ekspresi setengah menggoda, setengah menantang, berharap dia terpancing dengan keberanian palsuku ini.Mulutnya terbuka sedikit, terkejut dengan respons yang mungkin tidak dia duga. Kemudian, Narnia terkekeh keci

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 55

    Pak Desmond melirikku sekilas sambil tetap memainkan ponsel di tangannya. “Hmm… apa itu, Kai?” tanyanya tanpa menoleh.Aku melirik Narnia, yang kini berdiri di sudut ruangan, bersandar di meja kecil sambil melipat kedua tangannya. Senyum tipis menghiasi wajahnya, dan aku bisa melihat dari matanya bahwa dia sedang memperhatikan dengan seksama, meskipun dia berusaha terlihat santai.“Papa dulu apa sering ke panti asuhan tempat saya dibesarkan? Maksud saya, apakah Papa pernah terlibat sebagai donatur, atau ada kaitan lain?” tanyaku, mencoba menyusun kata sehalus mungkin.Pak Desmond seketika melirikku. Gerakannya perlahan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Dia kembali menunduk ke arah ponselnya, namun aku bisa melihat ekspresinya berubah sedikit. Raut wajahnya menunjukkan keraguan

  • Gairah Liar Perselingkuhan   Bab 54

    Aku menghela napas pendek sebelum membalas. “Urusan kerjaan, Fi. Sebentar aku ke ruangan kamu.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status