LOGIN"Mencatat apa yang boleh dan tidak boleh kumakan."
Audrey menurut. Gadis itu mengambil kertas dan pulpen, siap menulis. "Pertama, aku alergi jamur. Catat itu agar kamu tak lupa!" Audrey mulai menulis, namun dahinya mengkerut. 'Hanya alergi jamur saja apa perlu di catat? Aku bisa mengingatnya seumur hidup'. "Kedua, aku tidak makan kacang-kacangan yang di goreng. Aku hanya makan kacang yang proses masaknya direbus." "Apa bedanya?" Audrey mulai memprotes. Entah itu direbus, disangrai, atau digoreng, semuanya tetap kacang. "Kamu alergi juga?" Earl menggelengkan kepalanya. "Nggak. Cuma ngga suka aja!" "Lalu kenapa aku harus menulis ini?" Earl suka atau tidak, itu bukan urusan Audrey. Seharusnya pria itu cukup memberitahunya apa yang membuatnya alergi dan tidak boleh dimakan. Mereka tidak sedang melakukan pendekatan. 'Dia pikir siapa dirinya sampai aku harus mengingat makanan favoritnya?' Seolah tahu apa yang sedang Audrey pikirkan, Earl pun berkata, "Mulai hari ini tugasmu memasak untukku. Saat aku di rumah, kamu harus menyiapkan makanan tanpa kuperintah. Untuk itulah aku memintamu menulis semuanya!" Pria itu berkata dengan nada memerintah, membulinya lagi. Karena Audrey belum bekerja, ia ingin gadis itu memasak saja. Siapa suruh masakannya enak. Meskipun sup tahu kemarin membuatnya masuk rumah sakit, namun kalau boleh jujur, itu adalah sup tahu terenak yang pernah dia makan. Dia pun meminta Audrey melanjutkan tulisannya, ketika tulisannya mencapai satu lembar kertas, saat itulah Audrey berhenti menulis. "Sekarang, buatkan aku makan siang. Aku lapar!" Pria itu pun bangun dari ranjang, ingin pergi ke kamar mandi, entah kenapa keseimbangannya goyah. Bukannya menolong, Audrey berpura-pura seolah ia tak melihat. Menyentuh sama dengan membayar dan Audrey tak memiliki uang. Untuk itulah dia berpaling ke arah lain. Namun, Earl menegurnya. "Aku sakit karenamu. Bukankah kamu harus membantuku?" "A-aku ... Tidak berani menyentuhmu!" "Kuizinkan kamu menyentuhku sekarang!" Susah payah Audrey membantu pria itu ke kamar mandi. Menungguinya di luar dan mengembalikannya ke ranjang. Dia juga sempat memberinya minum sebelum keluar. Hanya alergi, sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi minta dirawat seperti penderita penyakit mematikan. "Aku mau tiga porsi!" kata Earl. "Tiga porsi?" Audrey kaget lagi. "Kamu sakit. Apa selera makanmu tak berkurang?" "Aku lapar!" jawab Earl. Suaranya yang lemah mengingatkan Audrey bahwa makanan terakhir yang Earl makan adalah makan siang kemarin. Semalam Earl memang sempat makan sup tahu, tapi dia memuntahkannya di mobil saat mereka sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, dan pagi ini dia hanya minum susu. Audrey pun mulai memasak dan daging panggang yang Earl inginkan siap dihidangkan. Gadis itu membawa satu porsi, dua lainnya dibawakan oleh Murphy. Dan begitu makanan itu tersaji di meja, Earl menyodorkannya ke Murphy. "Ini untukmu!" "A-aku?" Murphy kebingungan. Ini pertama kalinya Earl memberikan makanan secara langsung. Biasanya dia hanya akan memberi uang dan Murphy membeli makanan yang dia inginkan. "Terima kasih sudah menolongku kemarin!" Mendengarnya, Audrey melirik. 'Aku juga menolongmu, tapi kamu tidak mengucapkan terima kasih. Dasar picik!' Murphy mengambil satu porsi daging panggang itu, membawanya ke dapur dan memakannya di sana. Audrey yang tak tahu apa yang harus ia lakukan pun mengikutinya. "Kau mau ke mana?" tanya Earl Sanders. "Aku ... Ingin cari angin di luar!" Wajahnya bersemu merah. Sebenarnya ia ingin makan sesuatu juga, tapi sungkan mengatakannya. "Kamu mau cari mati, ya?" Semalam, Earl melihat Audrey tidak memakai alas kaki. Tangannya dingin saat mengoleskan obat. Malamnya masih harus tidur di kursi dengan posisi yang tidak nyaman. "Temani aku makan!" Pria itu menyodorkan satu porsi yang lain. "Kalau kau sakit, siapa yang akan memasak untukku?" "Koki," jawab Audrey. "Aku bosan dengan masakannya!" Audrey sempat mengeluh tadi. Mengatai Earl dengan berbagai sumpah serapah di hatinya, namun dia tidak marah lagi karena Earl memberinya daging. Sepasang pisau dan garpu itu pun berpindah ke tangannya dan seporsi daging panggang lenyap begitu saja. Hanya melihat Audrey makan rasanya sudah membuat Earl kenyang. "Perhatikan cara makanmu. Kamu tak malu makan seperti itu di depanku?" "Tidak!" Audrey menggeleng, kemudian menelan potongan daging terakhirnya. Melihat suasana hati Earl sedang baik, Audrey pun meminta izin untuk mengambil barangnya. "Soal barangku yang kemarin, bisakah aku mengambilnya sore ini?" "Tidak boleh! Ambil besok saja!" "T-tapi, besok Ayesha pulang. Aku tidak tahu apa dia mengizinkanku keluar atau tidak." "Aku yang memutuskan kamu boleh pergi atau tidak. Bukan Ayesha. Lagipula, dia baru kembali saat malam." "Oh?" Audrey mengangguk tanda mengerti, lalu pelan-pelan menyodorkan tangannya kepada Earl. "Apa?" Earl tidak mengerti kenapa Audrey tiba-tiba melakukan itu. Bibirnya cemberut, persis sepeti anak kecil yang meminta permen. "Bukankah seharusnya kamu memberiku nafkah?" Audrey tidak punya uang. Ia butuh uang untuk ongkos pergi ke rumahnya besok. "Nafkah?" Ide liar untuk mengerjai gadis itu kembali muncul. Entah kenapa dia suka sekali membuli Audrey. Gadis itu keras kepala, susah diatur, tapi cukup penurut. Saat terbukti melakukan kesalahan, dia bersedia melakukan apapun untuk menebusnya. "Aku masih sakit. Tidak punya tenaga." Nada bicaranya berubah. Dia meletakkan alat makannya, membuka kancing piyamanya. "Tunggu aku sembuh dan aku akan memberimu nafkah seperti yang kamu inginkan. Tapi kalau kamu tidak sabar, kamu boleh melakukannya sekarang. Kamu di atas!" "T-tunggu, nafkah apa yang sedang kamu bicarakan?" ***Setelah mengantar Earl menemui ayahnya, Joshua pun undur diri. Praktis, tersisa Earl dan Hudson saja di ruangan besar itu. 'Pantas saja bisnis Joshua berkembang pesat dalam waktu singkat, ternyata dia memiliki bekingan sekuat Hudson.'Earl tahu, Joshua adalah pria yang hebat. Namun, memiliki kemampuan hebat saja tidaklah cukup.Uang, koneksi, dan dukungan penuh dari orang hebat seperti Hudson adalah hal yang tak kalah penting. Jujur, kenyataan ini membuat Earl insecure dalam beberapa aspek.Dia berbeda. Tak ada dukungan dari kakeknya meskipun dia lahir dikeluarga konglomerat. Bisnis kecil yang ia bangun pun kembang-kempis karena kurangnya modal yang ia punya.Itulah alasan ia masih bertahan sebagai Direktur Keuangan di perusahaan sang kakek. Dengan kondisinya yang seperti itu, jika Earl ingin menyamai pencapaian Joshua, takutnya ia membutuhkan waktu seumur hidup.Hanya memikirkannya saja sudah membuat Earl gugup. Lebih gugup lagi ketika Hudson ingin bertemu dengannya. Dia takut Hudson
Waaaa apa-apaan ini?' Audrey terkejut bukan main. Bisa-bisanya Joshua memeluknya di depan Earl. Kalau Earl marah dan menghukumnya bagaimana? "Sayangku, ini tidak seperti yang kamu lihat!" Panik, Audrey segera memberi Earl penjelasan. "Sumpah, aku nggak selingkuh. Aku nggak tahu kenapa Joshua memelukku!" Audrey tidak berbohong. Meskipun dia dan Joshua dekat, namun tidak ada benih-benih cinta yang tumbuh di hatinya. Namun, Earl malah diam membisu seperti patung. "Earl?" panggil Audrey lagi. 'Dia ini kenapa, sih?' Gadis itu mulai memaki dalam hati. 'Istrimu dipeluk orang. Serius kamu nggak marahin dia?' Saat ini, Earl memang tak bergerak. Namun, dahinya mengkerut dan matanya melotot tajam. "Katakan itu setelah kamu melepas pelukanmu!" ucapnya datar. "Ha?" Seperti orang bodoh, Audrey memiringkan kepalanya. "Apa maksudmu? Aku nggak ngerti!" "Maksudku, lepaskan Joshua dulu. Setelah itu kamu baru boleh mangatakan kalau kamu nggak selingkuh dengannya." Memang benar, Joshua lebih dul
Matanya pun menyapu setiap sudut ruangan, tak ada yang aneh. Namun, mawar merah yang diletakkan di gelas-gelas kaca itu menarik perhatiannya. Dilihat dari bentuknya, Earl yakin bunga itu baru dipetik hari ini. Dia bahkan sampai membandingkan rumah Joshua dengan rumah kakeknya. 'Apa hanya perasaanku? Ku pikir rumah Joshua lebih besar dan lebih terang dari rumah kakek.' Sebenarnya, pria itu tertarik dengan rumah Joshua sejak ia memasuki halaman. Lampu-lampu menyala terang, padahal hari belum gelap. Meskipun Joshua berasal dari keluarga kaya, tetap saja, itu sedikit berlebihan. Selain itu, belasan pelayan yang menyambut kedatangan mereka juga tak kalah menarik perhatian. Penampilan mereka sangat rapi seperti baru mandi. Jumlah mereka pun sangat banyak. Buktinya, membutuhkan belasan pelayan hanya untuk menyambut kedatangan Audrey dan dirinya. Jika ini di rumah kakeknya, Earl yakin, sebagian besar pelayannya pasti sudah banyak yang beristirahat. Tak ada banyak pekerjaan yang bi
"Oh, jadi Joshua yang memberikannya padamu?" Seulas senyum terukir di bibir Earl, namun senyum itu justru membuat Audrey semakin gugup."Y-ya." Audrey mengangguk lagi. Sekarang, menelan ludah pun rasanya sangat susah.Sementara itu, Earl yang cemburu berat pun teringat pada momen dimana ia meminta Audrey mencukur kumis dan jenggotnya. "Jangan-jangan, pria lain yang pernah kamu cukur itu, Joshua orangnya?"Earl berharap itu bukan, tapi itulah kenyataannya. Audrey menggaruk pipinya yang tidak gatal, kemudian menundukkan pandangannya. "I-itu memang dia, sih!"'Wah!' Rasanya Audrey nggak sanggup lagi duduk di mobil yang sama dengannya. Ingin sekali keluar dan pulang naik taksi, tapi Earl sepertinya tidak berencana melepaskan tangannya."Earl?!" panggil Audrey. Gadis itu memberanikan diri melirik Earl yang duduk di sampingnya. "Apa kamu ... marah?""Aku?" tanya Earl Sanders.Pria itu menghela nafas panjang. Pada tahap ini, dia sendiri pun bingung harus menjawab apa.Sebenarnya, dia tidak m
Seluruh tubuh rasanya merinding mendengar kata sayang dari Joshua. Ponsel itu pun ia singkirkan dari telinganya. 'Sayang kepalamu!' umpatnya dalam hati. Dan begitu melihat Joanna melihat apa yajg dia lakukan, Audrey pun bertanya, "Apa kamu dengar apa yang dia katakan?" "Menurutmu?" Dahinya mengkerut sampai alisnya hampir menyatu. "Tentu saja tidak." 'Syukurlah!' gumam Audrey lagi. Bukan apa-apa, Audrey hanya takut Joanna salah paham. Takutnya dia mengira dirinya dan Joshua memiliki hubungan spesial. Audrey pun menjauh, volume suaranya juga ia kecilkan. "Berhenti memanggilku sayang. Aku bukan sayangmu!" Audrey bahkan terus mengoceh tanpa memberi Joshua kesempatan untuk bicara. "Shua, apa kamu masih ingat? Hari itu, kamu memohon padaku dan berjanji akan melakukan apa saja asal aku memaafkanmu?" Hari itu, maksudnya adalah saat Joshua mengurung Audrey di rumahnya selama tiga hari. Setelah kejadian itu, Audrey memblokir semua akses. Tidak hanya memblokir kontak Joshua, dia bahkan t
Gadis itu mengenakan celana gombrong dan kaus tanktop yang ia balut dengan kemeja oversize. Meskipun beda motif dan warna, tapi gaya berpakaiannya sangat persis dengan Audrey. Bedanya, rambut Joanna diwarnai, sedangkan Audrey tidak. "Pengen aja," jawab Audrey. "Yakin?" Alis Joanna terangkat ke atas. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, tapi Joanna tahu persis apa yang Audrey suka dan tidak suka. Gadis itu paling benci memakai masker karena itu membuatnya sulit bernafas. Joanna pun berdiri, menarik masker yang Audrey kenakan. Topi yang menutup kepalanya pun ia lepaskan juga. Setelah semuanya hilang, Joanna baru tahu alasan Audrey memakainya. Dahinya diperban, bibirnya terluka. Joanna nggak yakin, tapi penampilannya yang seperti ini mirip seperti korban bullying. "Bilang sama aku. Siapa yang berani mukul kamu sampai babak belur begini?" Marah? Jelas! Baginya, Audrey terlalu imut untuk disakiti. "Kalau aku memberitahumu, memangnya apa yang akan kamu lakukan?" Jus je







