LOGIN"Bagaimana, Dokter?" tanya Audrey ketika Dokter keluar dari ruang perawatan.
"Sudah diberi obat, Earl boleh pulang setelah baikan." Dokter pun pergi dan Audrey menemui Earl yang belum siuman. Ada Edgar dan Murphy juga di sana. Berdiri di sebelah ranjang untuk melihat kondisi Earl. Diantara mereka, hanya Edgar yang penampilannya 'agak' pantas dilihat. Pria itu berbadan tinggi. Tubuhnya berotot juga, tapi tidak sebesar Murphy. Dia memakai piyama polos berwarna biru dongker, masih tampan meskipun rambutnya acak-acakan. Sedangkan Murphy memakai piyama berwarna cokelat. Sebenarnya cocok saja dengan warna kulitnya, tapi agak memalukan karena bermotif polkadot. Sangat tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang super besar dan kekar. Sementara Audrey memakai piyama warna hitam bermotif kotak-kotak. Dialah yang paling mencemaskan Earl. Sendalnya? Audrey lupa di mana ia meletakkannya. Dia telanjang kaki sekarang. "Earl alergi jamur, kamu tidak tahu itu?" Si perfeksionis Edgar menegur Audrey. Untung saja mereka cepat membawa Earl ke rumah sakit, kalau tidak, bisa-bisa Earl harus opname selama beberapa hari. Sama seperti satu tahun yang lalu. Earl pernah tak sengaja memakan jamur. Dan hari-hari berikutnya ia habiskan di rumah sakit. Dia bahkan harus dirawat selama tiga hari penuh. "Aku tidak tahu!" Penyesalan menghinggapi Audrey. Audrey memang menambahkan beberapa jamur tadi, ukurannya yang kecil dan jumlahnya yang sedikit membuat Earl tak menyadari ada bahan itu di dalam sup. "Lain kali aku akan berhati-hati!" Matanya mulai menggenang, dia hampir membunuh orang lagi. Kalau itu terjadi, neraka pun sepertinya enggan menerimanya. Kalau saja waktu bisa diputar, Audrey akan menurut. Dia akan membuat telur seperti yang Earl katakan. Atau, dia akan bertanya padanya, apa yang boleh dan tak boleh dia makan. "Cepatlah bangun! Aku lebih suka kamu bangun lalu membuliku daripada terbaring seperti ini." Tak berselang lama, Earl pun siuman. Ada beberapa ruam di kulitnya dan itu terasa panas dan gatal. Saat dia menggaruknya, Audrey berkata, "Jangan digaruk!" "Lalu aku harus bagaimana?" tanyanya setengah putus asa. "Aku akan mengoleskan salep untukmu!" Gadis itu pun mengoleskan salep yang dokter berikan. Karena sakit, Earl tak banyak menuntut. Dia menurut saja saat Audrey mengoleskan salep ke tubuhnya. "Ini salahmu!" Disela-sela mengobatinya, Audrey mengoceh. "Seharusnya kamu memberitahuku kalau kamu alergi jamur!" Earl baru siuman. Kesadarannya juga masih remang-remang. Omelan itu membuatnya pusing. "Cerewet! Diamlah dan biarkan aku istirahat!" Audrey, langsung menunduk. Hatinya sakit saat pria itu membentaknya. Dia melarang Earl menggaruk kulitnya agar tidak meninggalkan bekas luka. Selain itu, dia juga ingin pria itu cepat sembuh. Beberapa saat kemudian, efek obat pemberian dokter membuat Earl tertidur. Dia bahkan tak ingat bagaimana caranya pulang ke rumah. Namun saat membuka mata keesokan harinya, ia sadar ia tak tidur di kamarnya. "Di mana ini?" Silau. Gorden kamar itu terbuka lebar, sinar matahari bebas menembus kaca sesuka hati. Anehnya, Audrey tak terganggu dengan itu. Gadis itu tidur di kursi. Kepalanya ia sandarkan ke ranjang di mana Earl tidur di atasnya. "Mimpi apa dia?" Gadis itu tersenyum. Giginya putih dan ia memiliki satu gigi gingsul. Ini adalah senyum Audrey yang Earl lihat untuk pertama kali. Agak aneh, tapi saat dia tersenyum, rasanya tidak buruk juga. "Sudah bangun?" Edgar masuk tanpa mengetuk pintu. Earl batuk pelan, memalingkan pandangannya dari Audrey. "Ya," katanya. Mendengar suara ribut, Audrey terbangun. Gadis itu melihat Earl sedang berbincang dengan Edgar. "Kamu?" kata Edgar tiba-tiba. Pria itu menunjuk Audrey. "Pergi cuci mukamu sana!" "Ya." Audrey mengangguk. Gadis itu bahkan tidak bertanya apa Earl sudah baikan. *** "Apa?" Gadis itu duduk di samping ranjang. Tak tahu alasan Earl memanggilnya. Pria itu sedang mengulurkan tangannya sekarang. "Berikan kartumu!" "Tapi kenapa?" Memberikan kartu, itu artinya Earl meminta kembali satu juta dollar yang telah ia berikan. Audrey sangat terkejut, dia bahkan belum sempat menggunakan uang di dalamnya dan Earl sudah merampasnya. "Kamu pikun, ya?" Earl pun mengingatkan apa yang sudah Audrey lakukan kemarin. "Kamu lupa kamu sudah menyentuhku?" "T-tapi ... ?!" Audrey mendadak gagap. 'Menyentuh' yang ia sebut dalam perjanjian adalah berhubungan layaknya suami istri, bukannya menyentuh untuk mengoles obat. "Aku hanya mengoleskan obat?!" "Tetap saja namanya menyentuh. Ayo, cepat berikan! Lagipula kamu harus mengganti biaya rumah sakit semalam. Aku sakit karena kamu!" "Begitu bangun, kamu langsung membuliku?" protes Audrey. "Memangnya kenapa?" Earl menatap Audrey tanpa rasa bersalah. Pria itu mendengar apa yang Audrey katakan semalam. Karena gadis itu sepertinya sangat suka di buli, Earl tak keberatan mewujudkan keinginannya. "Bukankah itu yang kamu inginkan?" "Kamu?" Audrey menghentakkan kakinya ke lantai. Kemudian pergi mengambil kartunya. Rasa bersalah membuatnya menuruti kemauan pria itu. Earl pun mengambil kartu dari tangan Audrey dan menyimpannya. "Sekarang ambil pulpen dan kertas!" "Pulpen, kertas? Untuk apa?" ***Setelah mengantar Earl menemui ayahnya, Joshua pun undur diri. Praktis, tersisa Earl dan Hudson saja di ruangan besar itu. 'Pantas saja bisnis Joshua berkembang pesat dalam waktu singkat, ternyata dia memiliki bekingan sekuat Hudson.'Earl tahu, Joshua adalah pria yang hebat. Namun, memiliki kemampuan hebat saja tidaklah cukup.Uang, koneksi, dan dukungan penuh dari orang hebat seperti Hudson adalah hal yang tak kalah penting. Jujur, kenyataan ini membuat Earl insecure dalam beberapa aspek.Dia berbeda. Tak ada dukungan dari kakeknya meskipun dia lahir dikeluarga konglomerat. Bisnis kecil yang ia bangun pun kembang-kempis karena kurangnya modal yang ia punya.Itulah alasan ia masih bertahan sebagai Direktur Keuangan di perusahaan sang kakek. Dengan kondisinya yang seperti itu, jika Earl ingin menyamai pencapaian Joshua, takutnya ia membutuhkan waktu seumur hidup.Hanya memikirkannya saja sudah membuat Earl gugup. Lebih gugup lagi ketika Hudson ingin bertemu dengannya. Dia takut Hudson
Waaaa apa-apaan ini?' Audrey terkejut bukan main. Bisa-bisanya Joshua memeluknya di depan Earl. Kalau Earl marah dan menghukumnya bagaimana? "Sayangku, ini tidak seperti yang kamu lihat!" Panik, Audrey segera memberi Earl penjelasan. "Sumpah, aku nggak selingkuh. Aku nggak tahu kenapa Joshua memelukku!" Audrey tidak berbohong. Meskipun dia dan Joshua dekat, namun tidak ada benih-benih cinta yang tumbuh di hatinya. Namun, Earl malah diam membisu seperti patung. "Earl?" panggil Audrey lagi. 'Dia ini kenapa, sih?' Gadis itu mulai memaki dalam hati. 'Istrimu dipeluk orang. Serius kamu nggak marahin dia?' Saat ini, Earl memang tak bergerak. Namun, dahinya mengkerut dan matanya melotot tajam. "Katakan itu setelah kamu melepas pelukanmu!" ucapnya datar. "Ha?" Seperti orang bodoh, Audrey memiringkan kepalanya. "Apa maksudmu? Aku nggak ngerti!" "Maksudku, lepaskan Joshua dulu. Setelah itu kamu baru boleh mangatakan kalau kamu nggak selingkuh dengannya." Memang benar, Joshua lebih dul
Matanya pun menyapu setiap sudut ruangan, tak ada yang aneh. Namun, mawar merah yang diletakkan di gelas-gelas kaca itu menarik perhatiannya. Dilihat dari bentuknya, Earl yakin bunga itu baru dipetik hari ini. Dia bahkan sampai membandingkan rumah Joshua dengan rumah kakeknya. 'Apa hanya perasaanku? Ku pikir rumah Joshua lebih besar dan lebih terang dari rumah kakek.' Sebenarnya, pria itu tertarik dengan rumah Joshua sejak ia memasuki halaman. Lampu-lampu menyala terang, padahal hari belum gelap. Meskipun Joshua berasal dari keluarga kaya, tetap saja, itu sedikit berlebihan. Selain itu, belasan pelayan yang menyambut kedatangan mereka juga tak kalah menarik perhatian. Penampilan mereka sangat rapi seperti baru mandi. Jumlah mereka pun sangat banyak. Buktinya, membutuhkan belasan pelayan hanya untuk menyambut kedatangan Audrey dan dirinya. Jika ini di rumah kakeknya, Earl yakin, sebagian besar pelayannya pasti sudah banyak yang beristirahat. Tak ada banyak pekerjaan yang bi
"Oh, jadi Joshua yang memberikannya padamu?" Seulas senyum terukir di bibir Earl, namun senyum itu justru membuat Audrey semakin gugup."Y-ya." Audrey mengangguk lagi. Sekarang, menelan ludah pun rasanya sangat susah.Sementara itu, Earl yang cemburu berat pun teringat pada momen dimana ia meminta Audrey mencukur kumis dan jenggotnya. "Jangan-jangan, pria lain yang pernah kamu cukur itu, Joshua orangnya?"Earl berharap itu bukan, tapi itulah kenyataannya. Audrey menggaruk pipinya yang tidak gatal, kemudian menundukkan pandangannya. "I-itu memang dia, sih!"'Wah!' Rasanya Audrey nggak sanggup lagi duduk di mobil yang sama dengannya. Ingin sekali keluar dan pulang naik taksi, tapi Earl sepertinya tidak berencana melepaskan tangannya."Earl?!" panggil Audrey. Gadis itu memberanikan diri melirik Earl yang duduk di sampingnya. "Apa kamu ... marah?""Aku?" tanya Earl Sanders.Pria itu menghela nafas panjang. Pada tahap ini, dia sendiri pun bingung harus menjawab apa.Sebenarnya, dia tidak m
Seluruh tubuh rasanya merinding mendengar kata sayang dari Joshua. Ponsel itu pun ia singkirkan dari telinganya. 'Sayang kepalamu!' umpatnya dalam hati. Dan begitu melihat Joanna melihat apa yajg dia lakukan, Audrey pun bertanya, "Apa kamu dengar apa yang dia katakan?" "Menurutmu?" Dahinya mengkerut sampai alisnya hampir menyatu. "Tentu saja tidak." 'Syukurlah!' gumam Audrey lagi. Bukan apa-apa, Audrey hanya takut Joanna salah paham. Takutnya dia mengira dirinya dan Joshua memiliki hubungan spesial. Audrey pun menjauh, volume suaranya juga ia kecilkan. "Berhenti memanggilku sayang. Aku bukan sayangmu!" Audrey bahkan terus mengoceh tanpa memberi Joshua kesempatan untuk bicara. "Shua, apa kamu masih ingat? Hari itu, kamu memohon padaku dan berjanji akan melakukan apa saja asal aku memaafkanmu?" Hari itu, maksudnya adalah saat Joshua mengurung Audrey di rumahnya selama tiga hari. Setelah kejadian itu, Audrey memblokir semua akses. Tidak hanya memblokir kontak Joshua, dia bahkan t
Gadis itu mengenakan celana gombrong dan kaus tanktop yang ia balut dengan kemeja oversize. Meskipun beda motif dan warna, tapi gaya berpakaiannya sangat persis dengan Audrey. Bedanya, rambut Joanna diwarnai, sedangkan Audrey tidak. "Pengen aja," jawab Audrey. "Yakin?" Alis Joanna terangkat ke atas. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, tapi Joanna tahu persis apa yang Audrey suka dan tidak suka. Gadis itu paling benci memakai masker karena itu membuatnya sulit bernafas. Joanna pun berdiri, menarik masker yang Audrey kenakan. Topi yang menutup kepalanya pun ia lepaskan juga. Setelah semuanya hilang, Joanna baru tahu alasan Audrey memakainya. Dahinya diperban, bibirnya terluka. Joanna nggak yakin, tapi penampilannya yang seperti ini mirip seperti korban bullying. "Bilang sama aku. Siapa yang berani mukul kamu sampai babak belur begini?" Marah? Jelas! Baginya, Audrey terlalu imut untuk disakiti. "Kalau aku memberitahumu, memangnya apa yang akan kamu lakukan?" Jus je







