Abimanyu menatap puas pada formasi lengkap yang saat ini tengah duduk santai di ruang keluarga mertuanya. Sekarang sebutannya masih mertua. Namun sebentar lagi akan berubah menjadi mantan mertuanya. Ia yakin akan hal itu.
Sementara di sisi sebelah kanan ada ibunya, ayahnya dan juga Senjahari, yang saat ini berperan sebagai adiknya. Dan tepat di hadapannya ada Sabda iparnya. Dirinya dan Tari, duduk di tengah-tengah kumpulan lengkap formasi keluarga inti ini.
"Langsung saja, saya sengaja mengumpulkan kita semua di sini karena ada yang ingin saya perlihatkan."
Abi mengeluarkan macbook dari tasnya, dan meletakkannya di tengah-tengah meja. Ia kemudian memasukkan sebuah flash disk.
Senja memasuki ruang guru dengan langkah lesu. Sebenarnya untuk dapat mencapai ruangan ini begitu penuh dengan perjuangan. Perjuangan lahir bathin tepatnya. Sebenarnya sejak kemarin malam, setelah dia menerima kiriman video dari dari Dayu, Senja sudah tidak dapat lagi memicingkan matanya barang sekejabpun. Begitu kiriman video itu sampai, Dayu sudah membombardirnya dengan pertanyaan seputar aksi panas sepasang manusia di video berdurasi sekitar empat puluh detik itu. Belum lagi Abi yang seketika mengamuk dan menerjang pintu kamarnya yang memang sengaja dikunci olehnya. Abi menggedor-gedornya tiada henti. Untung saja ada Ibu Riani dan Pak Sugeng yang mencoba menahan laju emosi Abi yang sudah mencapai ubun-ubunnya. Satu sikap yang paling disyukuri oleh Senja adalah kedua orang tua Abi tidak memaksanya untuk bercerita. Mereka mengatakan, bahwa apapun yang mereka lihat divideo itu, mereka akan lebih mempercayai kata-katanya. Karena bagi mereka, empat puluh de
"Bagaimana keadaannya Drew? Badannya panas banget itu. Mukanya pucet begitu lagi! Mana belum sadar-sadar juga. Apa dia perlu kita bawa ke rumah sakit sekarang? Gue panggil ambulance aja sekarang ya Drew?"Sabda yang tidak sabar melihat Senja yang tidak sadar-sadar juga selama hampir satu jam, kebingungan sendiri. Sedari tadi ia hanya berjalan mondar mandir gelisah di ruangannya sendiri. Andrew memutar bola mata. Ia pusing melihat Sabda mondar mandir seperti setrikaan kepanasan di depannya"Yaelah, Sab. Lo kalo nanya satu-satu dong, Bro. Jangan borongan gitu. Jadi bingung kan gue mau jawab yang mana dulu."Ck... ck... ck..."Dia nggak apa-apa, Sab. Cuma stress sama kurang istirahat aja kayaknya. Ini kantong matanya nampak sedikit hitam. Imunitas tubuhnya juga sedang lemah-lemahnya makanya, dia demam tinggi begini. Dan ehm suaminya bisa dihubungi nggak, Sab?" ujar dokter Andrew sam
Sudah satu minggu ini Senja mengajarkan les private kepada Caca. Anak kakak ipar Marilyn yang direkomendasikan oleh Lily. Sewaktu Lyn mengatakan bahwa iparnya sedang mencari guru private untuk anak semata wayang mereka, Lily langsung saja mengusulkan nama Senja pada Marilyn. Lyn tentu saja setuju mengingat bahwa memang basic Senja adalah sebagai seorang guru. Sebenarnya Senja sangat betah mengajar Caca. Anaknya sangat pintar dan lucu. Masalahnya hanya pada Karin, ibu Caca. Karin ini adalah type seorang istri yang pecemburu. Marilyn sudah terlebih dahulu memperingatinya untuk tidak usah berinteraksi dengan Dexter, ayah Caca. Karin bisa berubah menjadi singa apabila melihat ada wanita yang mendekati suaminya dalam artian harafiah maupun kiasan. Untuk itu Senja selalu menjaga jarak aman dengan ayah Caca.Senja sudah pindah dari rumah orang tua Abimanyu, dan kembali ke-kost-an lamanya di rumah Bude Yanti. Bu Riani dan Pak Sugeng walau dengan sangat berat hati
"Bagaimana keadaan pasien ini, dokter? Apakah bayi dalam kandungannya sehat-sehat saja? Ibunya bagaimana? Mengapa ibunya tidak sadar-sadar juga?"Sabda kebingungan karena Senja tidak sadar-sadar juga setelah ia membawanya ke rumah sakit terdekat. Wajah Senja tampak pucat sekali. Sabda mengelus pelan pipi kanan Senja dengan punggung tangannya. Dingin namun berkeringat. Sabda gelisah melihat keadaan Senja yang lemah seperti ini."Ibu Senja tidak apa-apa, Pak. Hanya saja perut ibu ini kosong sepertinya. Padahal ibu ini sedang hamil muda. Jadi ibu ini memerlukan nutrisi yang cukup dan juga istirahat yang cukup juga. Saya lihat kantong matanya hitam dan menebal. Sepertinya ibu ini kelelahan dan kurang istirahat."Dokter yang sudah berumur itu dengan sabar menjelaskan keadaan Senja. Ia tahu kalau laki-laki yang entah siapanya pasien ini terlihat begitu khawatir, walau sudah berusaha bersikap tenang.Sejurus kemu
Senja baru saja bermaksud untuk memesan ojek online, saat sebuah mobil mewah berhenti tepat di sampingnya. Saat ini ia masih berdiri di gerbang bengkel."Hallo, apa kabar Senjahari Semesta Alam?"Terdengar suara maskulin seraya terbukanya pintu pengemudi mobil hitam. Sesosok tubuh tinggi besar sang pengemudi berjalan ke arahnya. Senja mengerutkan kening. Ia merasa tidak mengenal sosok itu. Semakin dekat, Senja seperti mengenal cara berjalan si pemuda. Ternyata pemuda itu adalah Revan Aditama Perkasa. Murid badungnya di Yayasan Bina Bangsa Jaya."Revan? Kamu ngapain di sini?" Senja heran karena Revan ada di tempatnya bekerja. Revan mengedikkan bahu acuh. Gayanya sudah seperti sedang berhadapan dengan teman sebayanya. Bukan gurunya. Tapi memang saat tidak mengenakan seragam sekolah seperti ini, Revan tampak begitu dewasa. Nyaris tidak terlihat kalau usianya terpaut enam tahun di bawah Senja."Saya mau jemput
Suasana di meja restaurant Nikmat Rasa terasa begitu hening. Hanya suara dentingan sendok dan peralatan makan saja yang terdengar. Senja tahu, sedari tadi Sabda dan Abi terus saja memandanginya dan Revan dengan tatapan penuh spekulasi. Terutama Sabda. Dari sudut matanya Senja melihat mulutnya membentuk garis lurus yang rapat. Tatap matanya seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat. Sepertinya kebencian Sabda pada dirinya sudah tidak perlu diragukan lagi.Saat menu bebek rica-rica yang pedasnya luar biasa itu dihidangkan, mulut Senja berliur. Tanpa sadar dia bertepuk tangan gembira. Baru saja ia ingin meraih sepotong paha bebek rica-rica, lagi-lagi Revan meraih piring bebek itu dan menjauhkannya dari jangkauannya. Sebagai gantinya, Revan memberikan satu potong paha ayam tanpa kulit ke piringnya."Revan, saya mau makan bebek rica-rica itu. Bukan ayam pop ini!" protesnya. Senja berdiri. Ia ingin meraih kembali piring bebek rica-rica. Dan
Senja memegang kartu BPJS yang baru saja kemarin selesai proses pembuatannya. Saat ini dia memang ingin memeriksa kandungannya dengan kartu BPJS ke PUSKESMAS yang dirujuk dan bekerjasama dengan BPJS. Dia sebenarnya agak malu dan juga bingung harus mencari dokter kandungan siapa dan jam praktek pukul berapa. Senja yang sama sekali awam tentang masalah alat reproduksi wanita, benar-benar bingung tidak tahu harus berdiskusi dengan siapa. Yang dia tahu kalau seorang wanita itu hamil, maka sudah seharusnya, melakukan check up rutin minimal sebulan sekali untuk memeriksa kesehatan bayi dalam kandungannya. Karena ia tidak mempunyai cukup uang untuk melakukan check up regular, makanya ia berinisiatif untuk menggunakan kartu BPJS saja. Baru saja Senja hendak menyimpan kartu BPJSnya ke dalam tas, sebuah suara maskulin menyapa dari samping kanannya."Mau ke mana kamu?!!"Astaghfirullahaladzim Allahuakbar!S
Senja terbangun tepat saat mobil Sabda berhenti di parkiran sebuah rumah sakit internasional. Satu hal yang membuatnya kaget adalah Sabda tengah bersiap menggendongnya. Mungkin Sabda mengira bahwa ia masih tertidur."Saya masih bisa jalan sendiri, Bang. Tidak usah digandeng-gandeng. Saya ini cuma hamil, bukan sakit stroke," ujar Senja sembari menepis tangan Sabda.Sementara Sabda yang tidak jadi menggendong Senja, memilih untuk menggandeng tangan Senja saja. Ia bersikap seolah-olah tidak mendengar protes keberatan Senja. Senja terpaksa mendiamkannya, karena merasa tidak enak menjadi perhatian orang banyak, kalau ia terus saja menolak."Lho, Bang. Kok kita ke sini? Saya kan minta diantarkan ke PUSKESMAS. Bukan ke rumah sakit ini!" Senja baru menyadari di mana posisinya saat ini."Jangan ke rumah sakit ini, Bang. Nanti saya tidak mampu bayar." Senja mensejajari langkah-langkah panjang Sabda