Mata bulat dan jernih perempuan itu menatap penuh tanya ke arah sang bos tampan yang—baru Linda sadari tengah tersenyum licik ke arahnya. Senyuman yang tidak hanya menawan, melainkan juga mengandung bisa beracun yang dapat melumpuhkan lawannya kapan saja.
"Kenapa? Kamu tidak suka dengan isi kontraknya?" tanya pria itu. Linda rasanya ingin tertawa. Oh, tentu saja ia tak suka! Sekalipun ia menyukai paras tampan pria itu—dan harum maskulinnya yang cukup memabukkan, bukan berarti Linda ingin menjadi istri kontraknya. Terlebih lagi, apa-apaan dengan semua isi kontraknya itu?! "Jelas saya nggak suka, Pak. Saya datang ke sini melamar untuk bekerja di perusahaan Bapak. Bukan mau jadi mainan Bapak." Pria itu tertawa. Seolah ia baru saja mendengar stand up comedy paling lucu sejagat raya. Tawanya begitu merdu dan candu, tetapi di sisi lain mampu membuat seluruh bulu roma Linda berdiri. "Bukankah sama saja? Baik itu bekerja di perusahaan saya ataupun jadi istri kontrak saya, dua-duanya tetap saja bekerja untuk saya, kan, Linda?" tanyanya. Tawa pria itu hilang, digantikan dengan wajah super duper serius dan dingin—yang makin membuat pria itu terlihat tampan—. Auranya yang begitu mendominasi membuat ruangan yang luas ini tiba-tiba terasa sesak. Matanya yang semula terpaku pada manik hitam milik sang bos tampan, tiba-tiba berkelana gelisah. Entah kenapa, ia tak lagi sanggup menatap sorot mata tajam itu—sepasang mata tipis yang seolah tengah menelanjangi dirinya tanpa ampun. "Jawab saya, Linda." Linda menelan ludahnya saat mendengar suara si pria yang makin berat dan tajam. Apalagi senyuman—ralat, seringai tipis yang menghiasi wajah si bos muda yang makin membuatnya terlihat menyeramkan. "Sa-saya..." Linda terbata. Linda tak terbiasa dengan segala bentuk dominasi. Kedua orangtuanya selalu mengajarkan Linda dengan lembut dan penuh kasih sayang, tak ada bentakan, dan tak ada perintah penuh tekanan. Jadi, ia sama sekali tak tahu caranya menghadapi pria yang penuh dominasi seperti atasannya ini. Dan itu membuat Linda ingin menangis. Yah. Mata bulatnya itu memang hampir meneteskan air mata andai saja ia tak mendengar tawa renyah lagi dari sosok itu. Pria itu, kembali tertawa setelah membuat Linda tertekan setengah mati! "Kamu lucu. Saya jadi makin suka kamu," katanya setelah tawanya berhenti. Linda terpaku. Tak tahu lagi harus bereaksi bagaimana melihat perubahan sikap sang bos muda tampan yang berubah begitu cepat. Ia mulai bertanya-tanya, jangan-jangan pria itu sebenarnya seorang aktor yang sedang menyamar sebagai pemilik perusahaan multinasional? "Tapi bagaimana, ya? Seperti yang sudah saya katakan. Sekali kamu membuka map itu, maka kamu sudah saya anggap setuju untuk menjadi istri kontrak saya," kata Pria itu lagi seolah memaksa Linda untuk kembali ke dunia nyata yang begitu menakutkan. "Ke-kenapa harus saya... Bapak bahkan nggak mengenal saya sebelumnya..." cicit Linda terbata. Perempuan itu berusaha menarik napas dalam sebelum memberanikan diri balas menatap mata tajam si bos gila. "Sa-saya da-datang ke sini untuk wawancara kerja, Pak." Seringai di bibir pria itu makin lebar. Dan barulah otak Linda yang lamban ini menyadari darimana pria itu mengenalnya dan kemungkinan kenapa ia bisa terjebak dengan tawaran gila pria itu "Dan inilah pekerjaan yang Eka maksud. Menjadi istri kontrak saya, Sadewa Atmadja, CEO sekaligus pewaris satu-satunya Atmadjaya Group." Pria itu menjeda kalimatnya. Matanya mengamati Linda yang masih diam tak bersuara. "Kamu sudah baca kontraknya, kan? Di situ jelas tertulis, kamu bekerja sebagai istri kontrak saya. Tidak ada durasi pasti, tapi paling cepat enam bulan, atau maksimal mungkin empat tahun. Kamu dapat uang muka 200 juta dan gaji 25 juta per bulan. Selama jadi istri saya, kamu juga dapat tempat tinggal mewah, makan tiga kali sehari." Sadewa Atmadja menjelaskan secara singkat isi 'kontrak kerja' mereka. "Bukannya kamu juga perlu banyak uang untuk membayar utang kedua orangtuamu kamu yang tidak bertanggung jawab itu?" lanjut pria itu seraya menyeringai. Linda membulatkan matanya. "Da-dari mana bapak tahu soal utang saya?" "900 juta, sudah dibayar 200 juta dengan menjual rumah peninggalan orangtua. Tapi, apakah kamu yakin bisa melunasi sisanya walaupun kamu sudah bekerja sampai mati?" Lagi, Linda dibuat terkejut dengan perkataan pria itu barusan. Tangannya mengepal erat, menahan perasaan tak nyaman yang mulai menggerogoti hatinya. Kenapa dia bisa sampai tahu sejauh ini? "Kenapa diam saja? Cepat tanda tangani. Kapan lagi kamu bisa melunasi hutang keluargamu yang nyaris satu milyar itu hanya dalam waktu satu tahun?" "Atau kurang? Kalau kurang saya bisa langsung berikan uang satu miliar itu sekarang—begitu kamu menjadi istri saya tentunya." Penawaran itu jelas cukup menggiurkan. Apalagi saat ini ia juga butuh banyak uang untuk melunasi utang yang ditinggalkan ibu dan bapaknya. Namun, akal sehatnya berkata bahwa ia tak boleh mengiyakan tawaran dari iblis tampan bernama Sadewa Atmadja itu. Dan Linda ingin menolak. Perempuan itu sungguh ingin menolak dengan tegas penawaran barusan—istri kontrak, pernikahan kontrak, atau apalah itu namanya. Namun, entah kenapa bibirnya terasa kelu. Atau lebih tepatnya, ia tak mampu mengucap kata ‘tidak’. Tekanan yang diberikan pria itu lewat tatapannya benar-benar kuat. Sangat mencekam dan menyeramkan. Mata tipis dan tajam milik pria tampan itu seperti bilah pisau yang menusuk langsung ke ulu hatinya—dingin, datar, tanpa ampun. Sorot matanya seperti memerintah tanpa suara dan berkata: “Kamu tahu kamu tidak punya pilihan.” Padahal Sadewa Atmadja tidak melakukan apapun lagi setelahnya. Ia hanya duduk dan mengamati di seberang meja, bersandar santai, tetapi aura yang memancar dari tubuhnya sangat menekan. Linda merasa seakan jantungnya diremas oleh tangan tak kasat mata. Ia ingin menolak. Ia benar-benar ingin menolak. Namun tubuhnya tak lagi tunduk pada kehendak. Dan saat Sadewa sedikit memiringkan kepala, menatap lebih dalam—seolah menantang sekaligus memperingatkan—Linda tahu, jika ia berani berkata tidak, konsekuensinya akan jauh lebih menakutkan dari sekadar utang. "B-Baik, Pak," cicitnya. Rasanya Linda ingin menangis sekarang juga.Waktu yang seharusnya dipakai mandi itu malah dipakai untuk bercumbu lagi. Dan Linda tidak bisa memprotes. Karena setiap kali memprotes, Sadewa akan semakin membuat Linda gila dengan setiap sentuhannya. Barulah setelah hampir satu jam, Sadewa benar-benar memandikan Linda. Lalu segera membungkus Linda dengan handuk setelah selesai membersihkan perempuan itu."Saya takut malah membuat kamu kotor lagi," bisik Sadewa saat menutupi tubuh Linda dengan handuk kimono itu. Dan setelahnya barulah Sadewa membilas tubuhnya sendiri. Iya. Dia membilas tubuhnya di hadapan Linda yang duduk mematung. Menyaksikan pria itu basah-basahan tanpa busana. Benar-benar gila. "Sadewa... Apa Arum hari ini juga akan menata rambut dan wajahku?" tanya Linda saat mereka akhirnya keluar dari kamar mandi. Sadewa langsung mendudukan Linda di kursi rias. Sementara pria itu mencari baju. Satu untuknya. Dan satu setel lagi untuk Linda. Pria itu langsung memberikan satu dress panjang tanpa lengan ke arah Linda.War
"Ini masih pagi."Linda menepis tangan Sadewa yang kembali bergerilya di tubuhnya. "Dan kamu harus bangun karena ini sudah pagi." Sadewa tak mau kalah. Pria itu mencium kening istrinya lalu ke arah bibirnya."Hari ini ikut saya ke kantor."Linda yang masih memejamkan matanya sambil memeluk guling itu otomatis membuka matanya. Matanya membola, menatap bingung ke arah Sadewa yang kembali mengecup bibirnya."Ayo, bersiap," kata Sadewa lagi sebelum Linda sempat memprotes. Ah, tidak. Linda menelan bulat-bulat keinginannya untuk memprotes atau bertanya saat ia ingat betapa mengerikannya Sadewa kemarin.Jadi, Linda hanya menganggukan kepala patuh. Sadewa yang melihat Linda menganggukkan kepalanya itu pun kembali mengecup pelan kening perempuan itu. Bibirnya sedikit melengkung ke atas membuat senyuman tipis yang cukup menyilaukan mata. Ah. Linda benar-benar membenci Sadewa yang begini. Kadang pria itu selembut kapas. Kadang pula sekasar dan sekeras kulit durian. Mau dia itu apa sih se
"Ugh... Sadewa..." Ini masih siang. Matahari juga masih bersinar sangat terik dan panas. Namun apa yang dilakukan Sadewa jauh lebih panas dan membara. Lebih panas dari kuah malatang yang jatuh dan mengenai pahanya akibat ulah Sadewa yang tiba-tiba menyambar bibirnya. Ah. Bahkan Linda sendiri tak ingat bagaimana mulanya. Perempuan itu tak sadar, tahu-tahu jarak mereka makin dekat dan tipis. Napas memburu Sadewa yang makin panas di kulit wajahnya, dan.... Cup. Satu kecupan ringan yang berubah menjadi kecupan panas dan ganas. Arum dan kedua pelayannya yang lain—juga beberapa orang pelayan lain selain pelayan pribadinya langsung saja bubar barisan. Tak ingin melihat adegan tak senonoh Tuan dan Nyonya yang mereka layani. "Ah..." Panas. Rasanya panas. Bukan hanya sapuan bibir Sadewa yang membakar, tapi juga kuah malatang mendidih yang tumpah dan mengenai pahanya saat pria itu semakin memperdalam pagutannya. Namun sensasi perih itu tak bertahan lama. Sadewa dengan s
Sadewa pergi lagi setelah bertemu dengan Kakeknya. Dan pria itu belum kembali juga sampai sekarang. Linda? Tentu saja dia khawatir. Bukan khawatir karena Sadewa yang belum kembali pulang. Melainkan khawatir dengan isi pembicaraan Sadewa dengan sang kakek. 'Apa Kakek Atmadja akhirnya tahu kalau dia itu cuma istri kontraknya Sadewa?'Kalau ketahuan kan, bahaya. Ugh. Mana, Sadewa juga tak bisa dihubungi lagi. "Apa kamu tahu kemana Sadewa?" tanya Linda pada Arum yang tentu saja dibalas oleh gelengan kecil pelayan itu. "Mohon maaf, Nyonya. Tapi tuan sama sekali tidak mengatakan apapun saat pergi," katanya sambil membungkuk hormat. Linda hanya menggigit bibir bawahnya. Ia lalu kembali menghubungi nomor Sadewa. Namun lagi-lagi nomor ponselnya tak dapat dihubungi. Kemana sebenarnya Sadewa pergi?.....Besoknya pun, Sadewa masih belum kembali. Ponselnya pun masih tak bisa dihubungi. Saat dia bertanya pada Mbak Eka pun—sekretarisnya— dia berkata kalau Sadewa malah membatalkan semua a
Begitu mobil berhenti di rumah Sadewa, Linda kembali ditarik secara paksa.Tidak ada sedikit pun kelembutan. Sadewa benar-benar memperlakukan Linda layaknya barang, bukan lagi seorang manusia.Perlakuan itu membuat Linda marah sekaligus sedih setengah mati."Pa... Pak..."Sadewa tidak menyahut. Ia masih menyeret lengan Linda untuk mengikuti langkah lebarnya.Hingga akhirnya, langkah mereka berdua terhenti oleh sosok tamu tak diundang yang tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah megah itu."Eyang? Apa yang Eyang lakukan di sini?" tanya Sadewa, suaranya serta-merta kehilangan nada kasar dan berubah menjadi lebih tertahan.Dalam sekejap, cengkeraman Sadewa yang keras dan menyakitkan di lengan Linda melemah. Jari-jarinya yang tadinya menggenggam seperti besi berubah menjadi sebuah genggaman yang halus, bahkan hampir protektif. Seolah dalam sedetik, Linda berubah dari "barang" tak berharga menjadi "harta" yang harus dilindungi di depan kakeknya.Linda pun tak mau kalah. Ia memasang senyuma
"Ah... Sa... Sadewa..."Linda meringis ketika pria itu menghentikan langkahnya, lalu dengan kasar melemparkan tubuhnya ke kursi samping kemudi."Sepertinya saya sudah terlalu lunak sama kamu," ucap Sadewa, suaranya dingin menusuk.Linda cepat-cepat menggeleng. Tatapannya gemetar, terpaku pada sosok Sadewa yang kini tampak jauh lebih menyeramkan.Ia selalu tahu Sadewa menakutkan. Tapi baru kali ini Linda menyadari betapa mengerikannya pria itu ketika sedang marah."Sa... Sadewa..." bisiknya lirih.Blam!Pintu mobil dibanting keras, membuat Linda tersentak kaget.Sadewa benar-benar tidak menghiraukannya. Pria itu bahkan tidak sudi melirik sedikit pun ke arahnya.Sadewa masuk ke mobil dari sisi pengemudi. Suara gesekan kulit jok terdengar ketika tubuh tegapnya menghantam kursi.Tangannya langsung meraih setir, sementara rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang.Linda menelan ludah. Jemarinya bergetar di atas pahanya. Ia ingin bicara, tetapi lidahnya terasa kelu.Ugh. Sepertinya ia