Alvandra termenung di sudut kamar. Sejujurnya ia masih belum bisa melupakan Hanum. Hari-hari saat bersama calon mantan istrinya itu selalu terbayang di mata. Kebesaran hati Hanum ketika menerima lamarannya, membuat Alvandra berjanji akan selalu membahagiakan wanita yang sangat dia cinta.
Entah dia yang bernasib sial atau memang jodohnya bersama Hanum hanya sependek itu, Alvandra masih tidak bisa menerima pengkhianatan yang dilakukan Hanum. Hatinya masih berdenyut nyeri kala membayangkan perbuatan Hanum di depan mata."Kenapa lo tega melakukan ini sama gue, Hanum? Apakah cinta yang lo ucapkan ke gue itu hanya bualan semata? Hati gue sakit, Num!" Alvandra memukul-mukul dadanya yang terasa sesak."Pantas akhir-akhir ini selalu menolak kalau gue ajak lo melakukan panggilan video. Rupanya kamu tidak ingin diganggu saat sedang bersama lelaki jahanam itu." Rahang Alvandra mengeras saat dia membayangkan kembali apa yang sudah dilihatnya.Alvandra sebenarnya tidak ingin terus-terusan memikirkan Hanum yang sudah tak peduli lagi dengannya, tetapi perbuatan bejat calon mantan istrinya itu selalu terbayang-bayang di mata."Dasar betina murahan, sampah! Aarrgh ...!" umpatnya. Alvandra mengacak rambut frustasi. Kemudian dia menghantam kursi tempat dia duduk dengan tinjunya melampiaskan kemarahan."Hidup lo benar-benar membuat gue gila, Hanum!" Pekik Alvandra tanpa sadar. Setelahnya, dia tergugu sembari meremas dadanya yang terasa sesak dan berdenyut nyeri.Istri yang dia perjuangkan dan ingin dia bahagiakan ternyata mencari kebahagiaan sendiri, dan tidak ada nama Alvandra didalam hati sang istri yang dia cinta. Siapa yang tak sakit hati dibuatnya.Alvandra sengaja menutupi perasaan yang sebenarnya dari ibunda tercinta. Dia tidak ingin Almira merasa khawatir akan dirinya yang kini sudah berada di negeri orang."Mending gue keluar cari udara segar," gumam Alvandra setelah merasa sedikit tenang seraya beranjak berdiri.Hari yang sudah beranjak malam tidak menyurutkan langkah Alvandra menyusuri jalanan kota. Suasana akhir pekan sangat terasa kala orang saling berlalu-lalang di depannya. Mungkin mereka juga sama sepertiku, melepaskan penat, pikir Alvandra.Alvandra tidak memiliki arah tujuan. Ia hanya mengikuti kemana langkah kaki membawanya berjalan. Hingga akhirnya dia berhenti di sebuah tempat yang ramai oleh antrian. Sayup-sayup suara musik terdengar dari dalam tempat itu.Hati Alvandra tergerak untuk ikut mengantri. Ia penasaran akan isi tempat tersebut. Apakah semenarik banner yang terpampang di depan gedung.Setelah menunjukkan kartu identitas, Alvandra mengikuti langkah orang di depannya memasuki tempat yang menarik perhatiannya. Begitu sudah ada di dalam, suasana temaram langsung menyergapnya. Musik yang saling menghentak namun enak untuk dinikmati, menyapa indera pendengaran.Alvandra sudah tahu ini tempat apa walaupun dia tak pernah memasukinya sewaktu di tanah air. Dia mengedarkan pandangan, mencari tempat duduk. Penglihatannya dibantu oleh lampu berwarna-warni yang menyala silih berganti."Pesan minuman apa?" tanya seseorang di balik meja begitu Alvandra sudah duduk di depannya."Orange juice," jawab Alvandra."Gratis untuk pelanggan baru," ucap bartender sembari meletakkan sebuah gelas kecil yang berisi air bening. Sedangkan minuman pesanan Alvandra belum ada."Tapi saya tidak minum alkohol," tolak Alvandra. Dia tahu apa isi gelas kecil itu."Minuman ini tidak akan membuatmu mabuk," bujuk lelaki itu.Demi menghormati orang yang sudah memberinya minuman gratis, Alvandra meneguk minuman itu dengan sekali teguk. Dia mengernyitkan dahi kala rasa pahit menyentuh lidah. Tenggorokannya terasa terbakar begitu air bening itu sudah tertelan.Perlahan namun pasti, kepalanya mulai terasa berputar. Hentakan dari musik yang didengar membuat badannya bergoyang mengikuti irama. Sejenak dia merasakan ketenangan dan melupakan masalah yang sedang dihadapi.Alvandra beranjak berdiri, lalu dia bergabung dengan orang-orang yang sedang bergoyang mengikuti musik yang dimainkan oleh DJ hingga bajunya basah oleh keringat."Kamu benar, minuman ini tidak membuatku mabuk tapi membuatku cukup sedikit pusing," ujar Alvandra sedikit terkekeh begitu dia sudah duduk kembali di meja bar."Saya tidak bohong, kan?" Bartender itu menggeser gelas tinggi berisi orange juice ke dekat Alvandra. "Ini pesanan Anda."Merasa tenggorokannya sudah kering, Alvandra meneguk minuman jeruk itu hingga tersisa setengah."Sepertinya Anda bukan berasal dari kota ini. Logat bicara Anda terasa berbeda di telinga." Bartender mulai membuka pembicaraan di sela-sela pekerjaannya melayani pesanan."Iya, saya memang pendatang di sini," timpal Alvandra."Bekerja atau jalan-jalan?""Saya bekerja di salah satu pabrik di sini." Alvandra paham akan maksud pertanyaan bartender."Boleh saya pesan minuman yang seperti tadi?" imbuh Alvandra. Dia merasa sedikit ketagihan akan sensasi yang ditimbulkan setalah meminum minuman itu.Bayang-bayang Hanum dan pengkhianatan yang dilakukannya, sedikit mulai tergeser di pikiran Alvandra ketika dia sudah menenggak minuman itu.Pria di balik meja itu menyiapkan pesanan kemudian meletakkannya di depan Alvandra. Dengan sekali teguk, kembali lelaki yang sedang patah hati itu menghabiskan minuman tersebut."Satu lagi, untuk pria tampan di sebelah saya," ujar seorang wanita yang tiba-tiba sudah duduk di samping Alvandra.Alvandra melihat wanita yang duduk di sebelahnya, kemudian dia melihat ke sekitarnya, tidak ada lelaki lain yang duduk di sana selain dirinya."Untuk saya?" Spontan Alvandra menunjuk dirinya sendiri ketika sudah menyadari hal itu."Tentu saja," jawab wanita yang memakai dress ketat tanpa lengan berwarna hitam. Baju itu melekat erat di tubuhnya dengan panjang hanya sebatas paha saja, sehingga ketika dia menumpangkan salah satu kaki, paha putih mulus itu terpampang nyata."Sepertinya tidak usah, saya baru saja menghabiskannya," tolak Alvandra."Anggap saja sebagai tanda perkenalan kita. Mona." Wanita itu mengulurkan tangan, ingin berjabat tangan dengan Alvandra sembari menyebutkan nama.Mau tak mau Alvandra menyambut uluran tangan itu. "Alvan.""Baru datang ke tempat ini?" tanya Mona memulai pembicaraan.Alvandra hanya mengangguk dan tersenyum."Turis atau ...?" Mona memasang wajah ingin tahu."Saya bekerja di salah satu pabrik di sini" jawab Alvandra."Ooh ... i see." Mona mengangguk-anggukkan kepala."Kamu sendiri?" Alvandra bertanya balik."Saya hanya pengangguran," jawab Mona diakhiri dengan tawa kecil.Alvandra tercengang saat melihat Mona tertawa. Manis sekali, pikirnya. Sejenak kemudian dia menggelengkan kepala cepat."Kenapa?" tanya Mona yang melihat gerakan kepala Alvandra."Tidak, saya hanya sedikit pusing. Mungkin karena sudah menghabiskan tiga gelas minuman itu." Alvandra beralasan."Kalau begitu kita pindah tempat saja. Jika di sini terus-terusan, kita bisa mabuk." Lagi-lagi Mona mengeluarkan tawa renyah."Kemana?" tanya Alvandra ingin tahu."Ikut saja! Saya tahu tempat yang nyaman untuk menghilangkan penat," kata Mona tidak mau menyebutkan nama tempatnya.Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Alvandra mengikuti langkah Mona meninggalkan tempat yang penuh dengan hingar-bingar itu. Setibanya di luar, Alvandra terheran ketika melihat Mona memasuki sebuah mobil yang cukup mewah."Ayo, naik!" Mona menggerakkan kepala mengajak Alvandra."Kamu tidak akan membawa saya ke tempat yang aneh-aneh, kan?" Walaupun merasa sedikit pusing tetapi Alvandra masih dapat menjaga kesadaran. "Tidaklah," sanggah Mona, "Ayo, naik! Saya sudah lapar," imbuhnya tanpa basa-basi.Alvandra naik ke mobil dan duduk di sebelah Mona. Dalam keheningan, keduanya menatap jalan di depan. Hingga akhirnya Mona menghentikan mobilnya di sebuah kafe."Kamu bisa lihat ini bukan tempat yang aneh-aneh," ujar Mona sambil membuka sabuk pengaman. Alvandra pun mengikuti gerakan Mona."Kita duduk di sana." Mona menunjuk salah satu sudut kafe yang masih kosong ketika mereka sudah berada di dalam."Mau pesan apa?" tanya Mona kepada Alvandra."Apa saja asal mengenyangkan," jawab Alvandra yang tiba-tiba merasa lapar.Mona terkikik geli, lalu dia menyebutkan pesanan kepada pelayan yang sudah menunggu."Jadi, apa yang menyebabkanmu datang ke tempat tadi?" Mona bertanya seakan-akan mereka sudah kenal lama."Hanya menghilangkan penat," jawab Alvandra sekenanya.Mona berdecak sebal. "Jawaban klasik."Selanjutnya keduanya terdiam menikmati musik yang disuguhkan oleh band yang terdapat di kafe itu secara live. Alvandra dan Mona fokus menghabiskan makanan yang sudah datang karena rasa lapar sudah tak mampu lagi dibendung."Dari sini mau kemana lagi?" tanya Mona begitu makanan di depannya sudah habis."Pulang." Alvandra menjawab singkat. Matanya sudah mulai terasa berat ingin terpejam.Melihat hal itu, Mona mengangguk. "Baiklah, kita pulang sekarang." Dia beranjak berdiri diikuti Alvandra."Saya pesan taksi saja," ujar Alvandra begitu mereka sudah berada di luar."Kenapa? Biar saya antar." Mona menunjukkan raut wajah sedikit kecewa."Saya tidak mau merepotkan." Alvandra beralasan."Saya tidak merasa direpotkan. Ayo cepat, mumpung saya sedang baik hati," kata Mona dan terkikik geli.Pada akhirnya Alvandra mengalah. Dia menyebutkan alamat tempat dia tinggal saat Mona bertanya.'Cantik sih, tapi bukan type wanita idaman gue.'****Setelah tiba di kediaman di mana Alvandra tinggal. Anak muda itu lantas menghempaskan bobot tubuh di atas sofa yang tak jauh dari pintu utama. Ia nampak duduk termenung memikirkan apa yang barusan ia perbuat. Alvandra sadar jika yang ia lakukan adalah salah besar. Disaat hatinya sedang tak baik-baik saja, kenapa dia malah melarikan diri ke tempat seperti itu? Apa lagi sampai mencicipi sesuatu yang sudah jelas diharamkan dalam keyakinan dirinya sebagai umat muslim.Memikirkan hal itu tanpa sadar Alvandra tertidur pulas. Tetapi dalam tidurnya, ia tiba-tiba berteriak memanggil sang bunda. Mulut dia merancau tak jelas maksudnya."Bundaaa ... jangan pergi!"Terlonjak seketika, Alvandra meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan seraya mengucap istighfar."Astaghfirullah, kenapa gue mimpi buruk? Bunda pergi tanpa menoleh ke arah gue lagi. Apa karena tadi gue ke tempat itu dan ... aarrggh ... " pekik Alvandra saat ia terjaga karena terganggu mimpi dan ia sadar apa yang belum lama ia lakukan di luar sana."Maafin aku, Bun."Alvandra pun beranjak dari tempatnya dan berjalan masuk ke kamar lalu berganti pakaian. Ia lantas menuju bilik mandi guna mengambil air wudhu berniat untuk salat malam memohon ampunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. "Bimsillah."Bersambung ...Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"