Langkah-langkah kaki mereka menyusuri jalan setapak yang semakin sepi. Sawah hijau terbentang di kiri, sementara deretan pohon jati menjulang di kanan. Udara pedesaan terasa lebih ringan dibanding kota, tapi Ravika tahu betul: Bayu bisa muncul di mana saja.Darman berjalan paling depan, sesekali menoleh ke belakang. Ia memerhatikan tanah becek yang mereka lewati. “Kita harus hati-hati. Setiap jejak bisa diikuti. Bayu punya orang-orang yang ahli memburu.”Arven menghela napas keras, wajahnya masih menyimpan sisa emosi semalam. “Jadi kita harus terus sembunyi kayak tikus? Nggak ada cara lain?”“Diam, Arven,” Ravika menegur lembut, meski matanya tetap menatap sekitar. “Ini bukan soal mau atau tidak. Ini soal hidup atau mati.”Arven menggertakkan gigi, tapi tidak menjawab. Ia hanya menunduk, berjalan lebih cepat hingga sejajar dengan Darman. Ravika memperhatikan anak itu dengan hati gelisah. Sejak percakapan mereka tadi malam, Arven semakin terlihat dewasa—tapi juga semakin rapuh.---Mer
Mobil hitam itu berhenti di tikungan, lampunya sengaja dipadamkan. Dari balik kaca gelap, Bayu duduk bersandar, wajahnya setengah tertutup topeng kain. Di tangannya, sebuah ponsel menyala, menampilkan rekaman kamera dari salah satu anak buahnya yang baru saja mengintai Ravika, Arven, dan Darman di pasar.“Lucu,” gumam Bayu, bibirnya melengkung membentuk senyum dingin. “Mereka pikir bisa lari. Padahal setiap langkah mereka sudah ada dalam catatanku.”Ia menekan tombol, mengirim pesan singkat. “Jangan bunuh mereka dulu. Biarkan merasa aman. Rasa takut yang panjang lebih menyakitkan daripada peluru.”---Di sisi lain pasar, Ravika tak bisa tidur. Angin malam menusuk kulitnya, sementara kepalanya penuh dengan pikiran kacau. Ia menoleh ke samping, melihat Arven yang tertidur bersandar di bahunya. Anak itu masih menggenggam tangannya, seolah takut kehilangan.“Dia masih muda sekali,” bisik Ravika, hampir tanpa suara.Darman yang duduk tak jauh darinya membuka mata. “Itu justru alasan kenapa
Langkah kaki Ravika, Arven, dan Darman berpacu dengan detak jantung mereka sendiri. Suara deru motor semakin mendekat, lampu sorotnya menyapu dinding-dinding kusam di sepanjang lorong sempit. Mereka tak punya banyak waktu.“Ke kiri!” seru Darman sambil menarik Ravika. Mereka menyeberang cepat, melewati gang kecil yang hanya cukup untuk satu orang berjalan miring. Arven terhuyung, hampir terjatuh, tapi Ravika meraih tangannya, menopang tubuhnya agar tidak menabrak dinding.Di belakang mereka, suara motor berhenti. Terdengar langkah-langkah berat, teratur, seperti lebih dari dua orang. Arven menoleh sekilas, wajahnya pucat. “Mereka turun! Mereka ngejar kita jalan kaki!”Darman merunduk, menempelkan tubuhnya ke dinding bata, matanya menyapu sekitar. “Ini buruk. Lorong ini buntu.”Ravika merasakan dadanya mencelos. “Lalu kita harus gimana?”Darman menatap dinding di sebelah kanan, setengah roboh, dengan pintu kayu reyot yang hampir terlepas dari engselnya. “Sini.” Ia menendangnya keras. K
Udara malam menusuk tajam ketika Ravika, Arven, dan Darman berhasil keluar dari gudang yang hampir runtuh itu. Lampu merah-biru polisi masih berputar di kejauhan, tapi mereka memilih tidak mendekat. Ravika tahu, terlalu banyak polisi yang bisa dibeli oleh Bayu. Jika mereka menyerahkan diri sekarang, belum tentu esok pagi mereka masih hidup. Arven berjalan terseok, wajahnya pucat, tubuhnya masih dipenuhi debu dan luka gores. Ravika meraih tangannya, membantunya menapak. “Kuat sedikit lagi. Kita nggak boleh berhenti di sini.” Darman memimpin di depan, matanya tajam mengawasi setiap sudut jalan kecil yang mereka lewati. “Kita harus keluar dari area ini sebelum Bayu atau anak buahnya kembali. Polisi mungkin bertahan sebentar, tapi aku yakin Bayu sudah punya cara untuk mengendalikan mereka.” Ravika mengangguk, tapi di dalam dadanya, rasa takut kian menyesakkan. Ia sudah terlalu sering melihat bagaimana Bayu memanipulasi orang, bagaimana uangnya bisa membungkam mulut siapa saja. Arven me
Dentuman peluru yang ditembakkan Raga masih bergema di dinding gudang tua. Debu berjatuhan dari langit-langit, dan keheningan yang menegangkan langsung berubah jadi teror. Arven berdiri kaku, besi di tangannya bergetar. Darman bergerak cepat, mendorong Ravika dan Arven agar berlindung di balik tumpukan peti kayu lapuk. “Jangan berdiri diam! Mereka nggak akan segan menembak!” Raga terkekeh, langkahnya mantap. “Kalian pikir bisa sembunyi di sini? Gudang ini milik Bayu sejak dulu. Setiap sudutnya sudah dalam genggaman kami. Kalian masuk… kalian nggak akan keluar hidup-hidup.” Ravika menahan napas. Ingatan masa lalu menyesakkan dadanya—teriakan orang-orang yang dulu disiksa Bayu di tempat ini, bau darah yang tak pernah hilang meski bertahun-tahun berlalu. Tapi sekarang, ia tak boleh goyah. Ia menoleh ke Arven. “Dengar aku. Jangan panik. Lihat apa yang ada di sekelilingmu, gunakan itu sebagai senjata kalau perlu.” Arven mengangguk cepat, meski wajahnya masih pucat. Ia berusaha menyembun
Malam turun cepat, seakan langit tahu ada rahasia kelam yang akan terbongkar. Udara lembap menempel di kulit ketika Ravika, Arven, dan Darman melangkah keluar kos. Jalanan sepi, hanya suara anjing menggonggong di kejauhan menemani langkah mereka. Darman memimpin di depan. Wajahnya tegang, tapi matanya tajam, penuh kewaspadaan. “Kita harus hati-hati. Kalau Bayu masih punya orang di sekitar sini, satu langkah salah bisa langsung terbaca.” Arven mengikuti dari belakang, membawa ransel kecil berisi senter, botol air, dan sebatang besi panjang yang ia temukan di kos. Ia belum terbiasa dengan dunia berbahaya ini, tapi semangatnya meluap. Sesekali, ia melirik Ravika yang berjalan di sampingnya. Wajah wanita itu pucat, tapi tatapannya penuh tekad. “Bu,” bisik Arven, “kalau Ibu nggak sanggup, kita bisa balik lagi. Saya yang—” Ravika langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap Arven dalam-dalam, suaranya bergetar namun tegas. “Arven, aku sudah terlalu lama lari dari tempat itu. Kali ini… ak