Bu Ria berdiri di balik kaca mobilnya yang terparkir tak jauh dari masjid tempat acara syukuran dan aqiqah Narendra digelar. Ia memandang dari kejauhan—tanpa suara, tanpa undangan, hanya diam membeku di balik kemarahan dan gengsi yang tak pernah ia lepaskan.Ia pikir Rafasya akan datang suatu hari memohon padanya, memelas untuk mengembalikan semua fasilitas dan jabatan. Tapi nyatanya, tidak. Hidup anaknya justru terlihat lebih damai, tenang, bahkan bahagia tanpa campur tangannya.Tadi, ia melihat dengan jelas dari kejauhan. Rafasya berjalan berdampingan dengan Kania, membawa bayi mungil mereka yang dibalut kain putih bersih. Ada tawa hangat dari Bu Vita, pelukan dari Pak Hengky, serta keceriaan dari para tamu yang datang. Tak ada satu pun yang menyadari bahwa di balik pagar besi dan pohon besar, Bu Ria tengah berdiri sendiri marah, sakit hati, dan terluka oleh egonya sendiri.Tangannya mengepal kuat. Napasnya memburu. "Semuanya diambil dariku," bisiknya getir."Suamiku direbut perempu
Walaupun terkesan dadakan, tapi Adrian, Nadira, Tante Vita, si kembar Rosa dan Risa, serta Pak Hengky ternyata sudah lebih dulu tiba di rumah baru. Mereka semua menyiapkan penyambutan kecil-kecilan untuk Narendra yang akhirnya pulang setelah sekian lama dirawat. Kamarnya pun sudah dipersiapkan dengan sangat detail oleh Rafasya dan Kania: penuh boneka, hiasan dinding bertuliskan namanya, dan aroma harum khas bayi.Rosa dan Risa dengan wajah penuh harap memaksa agar ibunya mau menginap di rumah Kania. “Biar kita bisa jagain baby Naren juga, Bun pleaseee,” rengek keduanya sambil menarik tangan Tante Vita.Awalnya Tante Vita menolak karena merasa tak enak, tapi setelah melihat raut penuh harap Kania, ia pun luluh.“Baiklah tapi cuma beberapa malam saja ya,” jawabnya akhirnya, membuat Rosa dan Risa melonjak kegirangan.Begitu juga dengan Nadira yang akhirnya memutuskan untuk menginap. Adrian sempat ditawari oleh Rafasya untuk ikut menginap, tapi ia hanya tertawa sambil menggeleng. “Nggak b
Hari demi hari telah dilewati. Dan ternyata, Bu Ria serius dengan keputusannya untuk berpisah dengan Pak Hengky.Mereka pun akhirnya bertemu di pengadilan; suasananya tegang, dingin, dan penuh tatapan tajam.Bu Ria dengan tegas menuntut semua aset yang mereka bangun bersama, bahkan tanpa ragu sedikit pun.Setelah sidang selesai, Bu Ria menghampiri Rafasya yang berdiri tak jauh bersama Pak Hengky.Wajahnya keras, penuh rasa menang."Rafa, kamu tetap bersama perempuan itu? Kalau iya, Mama akan mencabut semua hak kamu di PT Kereta Api Kita," suaranya tajam, nyaris seperti ancaman dingin."Tapi kalau kamu mau menurut Mama pastikan posisimu akan tetap aman."Pak Hengky yang mendengar itu langsung melangkah maju, wajahnya memerah menahan emosi."Ria! Jangan bawa-bawa Rafa dan Kania! Mereka nggak ada hubungannya dengan masalah ini! Rafa itu anakmu, darah dagingmu!" serunya dengan suara bergetar."Tapi kamu malah tega demi ego dan kebencianmu sendiri!"Bu Ria menatap Pak Hengky dengan sinis.
Tante Vita dan Kania yang mendengar suara ribut langsung berlari ke arah taman belakang. Begitu sampai, mereka terkejut melihat Bu Ria basah kuyup berdiri di tepi kolam, sementara Risa dan Rosa masih tertawa geli.“Astaga … Bu Ria?!” ujar Tante Vita, suaranya campur aduk antara kaget dan bingung.Kania pun menahan napas, “Mama bisa jalan?”Bu Ria yang sudah basah kuyup itu menatap mereka dengan mata penuh kebencian. Nafasnya tersengal karena emosi dan malu.Tak lama, Pak Hengky juga datang tergopoh-gopoh dari arah teras. “Ria apa-apaan ini?”Rafasya yang baru saja pulang kerja ikut terkejut melihat semua orang berkumpul. Begitu melihat ibunya berdiri sendiri, ia langsung menoleh ke arah Risa dan Rosa.“Ada apa ini?” tanya Rafasya cepat.Dengan polos, Risa dan Rosa menjawab, “Kita cuma iseng Bu, dan ternyata Bu Ria sudah bisa jalan. Kayaknya selama ini cuma pura-pura stroke!”Suasana langsung tegang. Bu Ria yang kesal menoleh pada mereka semua, lalu meluapkan kemarahannya, “Dasar kali
Setelah beberapa hari dirawat, Kania akhirnya diperbolehkan pulang. Kondisinya sudah jauh lebih baik, meski bekas jahitan sesar masih terasa nyeri. Sayangnya, sang bayi harus tetap dirawat di rumah sakit di bawah pengawasan ketat dokter. Bayi mereka lahir prematur di usia 7 bulan dengan berat badan yang belum ideal, jadi ia masih harus berada di inkubator.Di perjalanan pulang, wajah Kania terlihat murung. Matanya sayu, hatinya berat meninggalkan buah hatinya sendirian di rumah sakit. Rafasya mencoba menenangkan, meyakinkan bahwa ada beberapa petugas keamanan yang disiapkan khusus untuk menjaga ruang inkubator bayi mereka.Saat tiba di rumah, Kania menunduk begitu melihat Bu Ria yang hanya menatap dingin tanpa sepatah kata pun. Ia segera masuk ke kamar, melepas rindu lewat foto dan video bayinya yang ia simpan di ponsel.Setiap hari, Kania tak kenal lelah bolak-balik ke rumah sakit, mengantarkan ASI hasil perahan dan melakukan terapi “pelukan kanguru” untuk sang putra. Terkadang Rafas
Di ruang operasi, suasana begitu tegang. Suara monitor berdetak cepat berpacu dengan suara langkah kaki para dokter dan perawat yang bergerak sigap. Cahaya lampu operasi terasa menyilaukan, membuat keringat menetes di dahi siapa pun yang berada di sana.Bayi yang masih berusia kandungan tujuh bulan akhirnya harus segera dilahirkan. Tangisan kecil pun terdengar—begitu pelan, serak, dan lembut. Tangisan yang lebih mirip lirih kesakitan ketimbang jeritan lantang. Suara itu seperti mengiris hati siapa pun yang mendengarnya; tangisan yang begitu rapuh, seolah meminta kekuatan untuk bertahan hidup di dunia yang terlalu cepat ia sambut.Seketika, suasana haru menyelimuti ruang operasi. Namun para tenaga medis tak punya waktu lama untuk terhanyut. Mereka bergerak cepat membawa bayi mungil itu ke ruang NICU. Berat badannya belum cukup, paru-parunya pun masih rentan, membuat ia harus segera dirawat dalam inkubator yang dikelilingi alat-alat medis canggih.Sementara itu, perjuangan Kania belum s