Ciara langsung bergegas untuk mandi. Ia orangnya mudah penasaran, apalagi ini tentang pernikahannya yang sekarang masih bermain dengan api meluluhkan. Haidar tersenyum samar, bahagia melihat senyum sang istri sudah mendarat. "Hemm, udah mandi," kata Ciara."Oke, Om mandi dulu ya, entar baru cerita," jawab Haidar."Jangan lama-lama, Sayang!" pintanya."Siap." Seperti peringatan istrinya, Haidar tidak terlalu lama di kamar mandi. Pada dasarnya, ia memang lelaki yang juga tidak suka berlama-lama di dalam kamar mandi. Istrinya sudah menunggu dengan dandannya yang mempesona. Dibilang tidak tertarik, itu munafik, Haidar tentu tertarik, tetapi tetap belum bisa melabuhkan cinta. "Tuh ganti bajunya, mau dipakaiin?" tanya Ciara. "Gak usah, biar cepet tak pakai sendiri saja." Haidar masuk ke ruang ganti baju. "Yee, dah rapi. Cerita sini sambil Cia sisirin," kata Ciara."Cerita apa?" "Tadi katanya mau cerita tentang pernikahan," jawabnya."Hehe, cuma bohongin Isbay saja, hahaha. Berchandya …
Terkejut dengan ucapan Ciara. Dalam bayang pikiran Haidar, istrinya tahu dari mana nomor ponselnya Bening. Ia masih berusaha santai dan tetap fokus ke laptopnya. Wajah dan kelakuan Ciara yang galak pun tidak bisa dikondisikan lagi, tanpa pikir panjang menggebrak meja kerjanya Haidar. Breghh."Astaghfirullahal'adzim, Isbay!" Haidar kaget dan langsung berdiri. "Aku ini sedang bicara sama Om!" teriaknya."Kalau kedatangan kamu cuma mau ribut, Om antar pulang sekarang!" seru Haidar."Tega ya! Om mikir gak sih, istri mana yang tidak cemburu jika foto suaminya diposting perempuan lain dengan caption love! Manaaaaa! Kecuali kalau memang orangnya seperti Om, nggak ada cinta untuk pasangan halalnya," omel Ciara."Duduk, Isbay … udah ya marahnya. Dapat nomer Bening dari siapa?" Haidar merangkul istrinya untuk duduk di atas ranjang."Mama Sita," sahutnya. Ciara terdiam melihat sorot mata suaminya yang tidak mungkin Haidar menduakannya. Hampir saja Haidar terpancing emosi, tetapi untungnya bisa
Ciara: "Hahaha, ngurusnya Sayangkuh! Buatnya mah gak ribet asal Om udah mau." Haidar: "Tau gak, Nduk? Wanitaku ini laksana air mata, kamu lambang dari segala teduh maupun rapuhku. Mau tidak mau, kamu tetap ikut merasakan apa yang menerpaku." Ciara: "Hahaha, mboten napa-napa, melow banget!" Haidar: "Ada hakmu yang belum aku penuhi." Ciara: "Mm, tapi sudah banyak hak lain yang Om berikan. Yang penting kita paham akan hak dan kewajiban, paham itu bisa menempatkan sesuai tempatnya juga. Maaf kalau merengek, tapi sejujurnya Cia mau anak kita lahir juga dengan benih cintamu, Sayang! Bukan sekedar nafsu. Om bahagia kan nikah sama Cia?" Haidar: "Bahagia, maaf ya … belum bisa utuh membahagiakanmu." Ciara: "Om Sayang dinginnya udah mulai anget nih, hehe … kangen!" Haidar: "Apa sih? Kalau beneran kangen, ya kamu makan dong, jangan ditunda lagi!" Ciara: "Asal VC-nya jangan dimatiin dulu." Haidar: "Iya." Ciara: "Om Sayang, Cia tuh ...." Haidar: "Ditelan dulu, nanti bicara lagi." *** "A
"Mau ke pesantren." "Untuk apa? Abah sama Ummah jam segini sudah istirahat, santri-santri pun juga, gak baik bertamu di jam segini, Cantik. Besok ya?" kata Haidar. "Aku cuma mau lihat gerbangnya doang habis tuh pulang!" rengeknya. "Ya udah, yuk berangkat!" Haidar melirik sejenak dan tanpa aba-aba mengangkat istrinya untuk masuk mobil. Keinginannya dituruti begitu saja sudah senang banget. Meskipun hanya untuk melihat gerbang pesantren, selama tidak merugikan istrinya, Haidar tetap berangkat. Lelahnya sudah lenyap dengan pengakuan cinta dan rasa syukur yang tumbuh dalam dirinya. "Om udah siapin tiket honeymoonnya sesuai pilihan kamu waktu itu sama Mama. Nggak berubah pikiran kan?" tanya Haidar. "Nggak dong, udah cocok," jawab Ciara. "Ehmm, kenapa menangis?" Haidar terkejut setelah menoleh, ternyata air mata sang istri bercucuran. "Kangen mondok, huaaaaa!" "Hahaha …." Haidar tertawa lepas. "Apa yang lucu?" sahut Ciara ketus. "Gak lucu, tapi kamu imut banget kalau nangis gitu,
"Apa! Nggak usah jeda-jeda gitu napa sih kalau ngomong!" rajuk Ciara. "Isbay-Isbay, oke bicara ... dan Om tuh hutangnya banyak banget sama kamu," jawab Haidar. "Hutang apaan? Gak ada hutang apapun," jawab Ciara. "Hutang perasaan," kata Haidar. "Sudahlah, Cia gak permasalahin itu. Lagian, kata Om yang harus dipikir tuh senengnya aja, bukan sedihnya jika ingin bahagia. Lebih baik fokus doa deh di sini, semoga Allah cepat memberi Huda, Dhuha, dan Badri." "Aamiin. Ya udah kita langsung ke makam sekarang," ucap Haidar. "Mengke riyen, mau makan brem dulu, hehe." Ciara mengedipkan matanya dan melirik tangan Haidar yang membawa bremnya. Haidar belajar banyak belajar mengenali wanita dari istrinya. Mulai dari wanita yang telah terkoordinasi dengan sensitif, peka, cemburuan, dan dan lain-lain. Ciara memberi banyak bahasa untuk Haidar rangkai dalam hidupnya. Kisah pertemuannya tiba-tiba, tapi memberi ruang yang begitu luas untuk kebahagiaannya. "Mau disuapin?" tanya Haidar. "Maulah, menu
"Om Sayang!" teriak Ciara. "Kenapa wajah kamu begitu?" "Ada yang diam-diam lewat di belakang mobil kita," bisik Ciara. "Yakin? Mana?" "Itu tuh, lari ke kiri." Ciara menunjuk larinya sosok berhodi hitam. "Biar Om suruh orang buat menelusuri. Yang penting sekarang mobil beres, kamu bisa cepet istirahat." Haidar melanjutkan untuk mengantar istrinya ke masjid. Haidar menelpon Spion, karyawan yang sekaligus sahabat bermuka dua itu untuk diuji coba. Karena ia curiga bahwa pelaku ban kempes itu ialah dia, dengan motif kecemburuan dan keserakahannya ingin merebut warisan keluarga jenggala. Ditambah, ia yang akan menempati jabatan CEO-nya saat itu jikalau Haidar tak bisa meluluhkan Ciara. Hal inilah yang menjadi alasan di atas alasan, papanya Haidar sangat mempercayai Spion, dan belum tahu mengenai sikap serta niat buruknya. Membangun perusahaan sampai sebesar itu tidak melalui cara yang tiba-tiba, Haidar menghargai perjuangan para leluhurnya , sehingga tetap mempertahankan perusahaan di
"Pripun hasile, Nduk?" tanya Haidar "Huaaaaaa! Om liat sendiri!" Dengan berlinang air mata, Ciara keluar kamar mandi dan memeluknya. "Alhamdulillah, Masyaallah, Tabarakallah, nggak apa-apa ya, berarti masih saatnya kita berdua," kata Haidar. Ciara jadi kecewa meskipun awalnya tadi sudah bicara untuk tidak kecewa.Tak ada sahutan bicara lagi, istrinya tidur dengan menangis. Haidar tetap berada di samping sang istri, bahkan untuk tidurnya menunggu Ciara untuk tidur pulas. *** "Malam ini, fix?" tanya Ciara. "Iya, sekarang nonton dulu, yuk! " ajak Haidar. Mereka berdua nonton drama bersama. Niatnya, mau ajak istri ke bioskop. Akan tetapi, Ciara sudah bilang malam itu ia ingin di rumah saja. Cukup nonton di sosial media berdua bersama Haidar, menurut Ciara itu sudah sangat memuaskan. "Kamu kenapa gak milih nonton di bioskop?" tanya Haidar. "Gak mau, di sana kan banyak orang," jawab Ciara. Haidar mengernyitkan kening. "Memangnya mau nyari yang banyak hewan?" "Om apa-apaan coba, ya
"Ngomong aja," kata Haidar. "Serius amat, Om hahaha," celetuk Ciara. "Kamu sih yang bikin serius." Haidar mengeratkan dekapannya. "Jadi ... Ciara denger kalau Om---" "Minta dicium sampai gak bisa napas kah kamu, Sayang? Ngomong kok gak jadi-jadi," "Mati dong, mau istrimu ini mati, hah?" "Gak dong, gak bisa napas bukan mati, mati itu udah nggak bernapas. Gak sah bahas napas, apa yang kamu dengar di kantor?" jawab Haidar. "Apa bedanya Sayangku? Astaghfirullah!" "Tulisannya aja udah beda. Cepat dong ngomong apa yang kamu denger!" "Berchandya ... berchandya ... hahaha, ngapunten Om Gantengku, istrimu cuma bercanda," kata Ciara tertawa. "WANITA ITU RUMAH UNTUK LELAKINYA. RUMAH AKAN RAPI JIKA YANG PUNYA PEDULI, RUMAH AKAN NYAMAN JIKA YANG PUNYA BERIMAN, RUMAH AKAN TERANG JIKA YANG PUNYA TAK LUPA KASIH SAYANG." Haidar bisa saja menghindari jebakan istrinya dengan membuatnya salah tingkah sendiri dengan ucapannya barusan. Mungkin Ciara sedang lupa bahwasanya suaminya bukan orang yan