Share

Lahirkan Anak Untukku!

Mendengar ucapan istri barunya, perut Tuan Dirgantara serasa dikocok. Tuan Dirgantara mengumbar tawa sumbang. Baru kali ini ada seorang wanita yang menginjak harga dirinya. Merendahkan secara terang-terangan. 

"Yakin mau pergi dari kehidupanku?" sinis Tuan Dirgantara. 

"Bukankah kamu yang tidak sudi hidup bersama gadis kampung sepertiku?"

"Ya, mana sudi aku hidup bersamamu. Melihat penampilan kampunganmu saja membuatku mual," sarkas Tuan Dirgantara. 

"Kalau begitu marilah kita akhiri semua ini dengan cara baik-baik," putus Ahava. 

"Tidak! Kamu terlanjur masuk dalam kehidupanku, maka lahirkan anak untukku. Setelahnya aku akan membebaskanmu. Mari kita buat kontrak perjanjian!"

Netra Ahava terbelalak. Telinganya mencoba mencerna apa yang dikatakan Tuan Dirgantara. Dasar pria sinting! Ahava sungguh tidak habis pikir dengan pola pikir tuan besar satu ini. Bagaimana bisa dia mempermainkan ikatan suci pernikahan? 

"Apa kamu pikir aku mesin pencetak anak, hah?" kesal Ahava. 

"Ya, anggap saja begitu," balas Tuan Dirgantara enteng. 

"Dasar gila!" umpat Ahava. 

Brak! 

Pintu ditutup dengan sangat keras. Menimbulkan bunyi 'berdebum' di sana. Gadis 20 tahun itu berlari meninggalkan ruang perawatan Tuan Dirgantara. Ahava tidak bisa berlama-lama di dalam sana, sebab rasa sesak menghimpit rongga dada. Semakin lama keduanya berbincang, kian bertambah pula tingkat kekesalan pada diri Ahava. 

"Nona, anda mau ke mana?" tanya seorang lelaki yang berjaga di depan kamar perawatan. Ahava menduga dia adalah salah satu bodyguard Tuan Dirgantara.

"Bukan urusanmu," ketus Ahava. 

"Nona, anda harus tetap di dalam dan menemani Tuan!" ucap lelaki tersebut. 

"Mari, Nona!" ucap lelaki lainnya. Membawa Ahava masuk kembali ke dalam ruang perawatan. 

"Sudah kubilang tidak, ya tidak!" bantah Ahava bersikeras. 

"Tolong jangan mempersulit pekerjaan kami, Nona. Ayo, kembali lagi ke dalam!" paksanya. 

"Aku tidak mau. Lepaskan aku!" berontak Ahava. Mencoba melepaskan diri. 

Kedua bodyguard Tuan Dirgantara menulikan telinga mereka. Perintah dari sang majikan adalah keharusan yang wajib dipatuhi. Salah satunya menjaga Ahava agar tidak pergi dari sisi Tuan Dirgantara. 

"Maaf kami mengganggu, Tuan. Kami berdua hanya mengantarkan Nona kembali."

Tuan Dirgantara menepiskan tangan ke udara. Mengusir kedua bodyguardnya. Melirik Ahava sinis, Tuan Dirgantara mengulum senyum yang dirasa sangat menjengkelkan bagi Ahava. 

"Cih, sudah kuduga kamu pasti kembali."

"Jangan geer, Tuan. Dua bodyguardmu itu menghalangi jalanku. Pasti kamu yang menyuruh mereka bukan?"

Tuan Dirgantara terbahak. "Menyuruh mereka menghalangi jalanmu? Ha ha ha... yang benar saja."

"Ini semua pasti ulah Mama. Selamat, Ava. Kamu tidak bisa pergi dari hidupku. Kecuali aku sendiri yang membuang dirimu."

"Aku tidak mau denganmu. Lepaskan aku!"

"Tidak, sebelum kau lahirkan anak untukku."

"Sudah kubilang aku tidak mau. Aku bukan mesin pencetak anak."

"Masa bodoh. Bagiku kamu hanya sekedar mesin pencetak anak. Camkan itu!"

Ahava mengepalkan kedua tangannya. Menahan diri agar emosinya tidak kembali meledak. Ahava menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Memilih berbaring sejenak guna menghindari percakapan antara dirinya dan Tuan Dirgantara. 

"Heh, siapa yang menyuruhmu tidur? Cepat bangun!" sentak Tuan Dirgantara setengah berteriak. 

Ahava menulikan telinganya. Berpura-pura tidur dan tetap memejamkan mata. Ahava juga mendengkur agar Tuan Dirgantara semakin percaya bahwa dia memang tengah terlelap. 

"Dasar kampungan. Tidur saja pakai acara mendengkur. Menjijikan," umpat Tuan Dirgantara. 

"Hallo, Max..."

"Ahhh... Ya-ya, Tuan. Ada apa?" jawab Max terengah-engah, sangat gugup. Suaranya terdengar berat, membuat Tuan Dirgantara berpikir yang tidak-tidak. 

"Lama sekali menjawab teleponku, hah? Apa aku harus meneleponmu hingga ratusan kali baru kamu angkat?" amuk Tuan Dirgantara begitu mendengar suara Max. 

"Ma-maaf, Tuan... Sa-saya... Anu... Saya baru saja dari kamar mandi."

"Ahhh..." desah Max sekali lagi tidak tertahankan. Mencelos begitu saja dari bibirnya. 

"Sialan! Kamu sebenarnya sedang apa, hah?" kesal Tuan Dirgantara. 

"Sedang... Sedang olahraga, Tuan," aku Max pada akhirnya. 

Tentu saja Tuan Dirgantara mengerti maksud dari ucapan Max. Kelakuan Max benar-benar membuatnya geram saja. Bagaimana tidak, majikannya tengah terbaring di rumah sakit, sementara dia malah enak-enakan ber-uh ah ria. 

"Bajingan! Cepat kemari!"

"Ba-baik, Tuan."

Tut... Tut... 

Sambungan telepon dimatikan. Tuan Dirgantara menjambak rambutnya frustasi. Merasa kesialan sedang menimpanya. Seharusnya sepulang dari desa dia bisa bermanja-manja dengan Renata atau paling tidak menghabiskan satu ronde dengan Olivia. Bukan malah terbaring lemah di atas brankar dan hanya bisa mendengar suara Max yang sedang bercinta. Sungguh sial! 

"Baby, sudah... Hentikan! Ahhh... Cukup!" racau Max. 

"Uhhh... Tidak mau!" tolaknya. 

Merasa belum puas, wanita tersebut terus mencari kenikmatan yang dia inginkan. Mendominasi permainan, membuat Max bertekuk lutut terhadap kenikmatan yang diberi. 

Netra Max terus melirik panah jarum jam. Baru kali ini dia bercinta dengan diliputi rasa gelisah. Alih-alih menikmati permainan yang disuguhkan oleh si cantik, Max justru ingin mengakhiri permainan ini. Max tidak ingin semuanya menjadi kacau akibat lalai dalam menjalankan perintah sang juragan. 

"Cukup, kubilang hentikan! Aku sudah ditunggu Tuan Dirgantara, Baby. Kumohon mengertilah. Kita bisa melanjutkannya lain kali."

"Aku mandi dulu ya, Baby."

Cup!

Max mengecup bibir si cantik sekilas. Lekas mendorong tubuh si cantik agar beranjak. Beringsut turun dari ranjang, Max berlari ke kamar mandi. Membersihkan diri secepat mungkin.

"Arghhh... Dasar juragan sialan! Awas kamu ya sudah berani mengacau sesi bercintaku!" geram si cantik. 

Seusai mandi, Max mendapati si cantik yang masih merajuk. Meraih kedua jemari wanitanya, Max kecup penuh kasih jemari lentik si cantik. 

"Hei, jangan marah-marah, Baby. Kamu pikir aku juga tidak kesal karena acara bercinta kita terganggu? Tapi, ya sudahlah. Aku harus segera pergi sekarang. Byee, cantik..."

***

"Maaf, saya terlambat, Tuan," ucap Max. 

"Bajingan memang kamu, Max! Seharusnya kamu di sini mengurusku, bukan malah bercinta di luaran sana," amuk Tuan Dirgantara. 

Max menahan kekesalan. Max belum bisa melupakan acara bercintanya yang gagal. "Tadi Nyonya Esme sendiri yang menyuruh saya pulang. Saya tidak bisa membantah perintah beliau. Lagipula di sini juga ada Nona Ava yang merawat Tuan bukan?"

"Lihatlah dengan matamu itu, Max!" 

Netra Max mengikuti arah telunjuk Tuan Dirgantara. Didapatinya istri baru sang juragan yang tengah meringkuk di atas sofa. Niat Ahava bersandiwara dengan pura-pura tertidur malah menjadi tidur sungguhan. Hebat sekali bukan?

"Lihat dengan mata kepalamu itu! Apa seperti itu yang dinamakan merawat?"

"Ya kan, saya tidak tahu kalau Nona tertidur, Tuan."

"Sudahlah. Sekarang buatkan aku kontrak perjanjian. Aku mau dalam jangka waktu satu bulan Ava harus sudah mengandung benihku."

"Satu bulan, Tuan? Bukankah terlalu cepat?"

"Kamu meragukan kemampuanku? Tidak sampai satu bulan. Bahkan satu kali celup aku bisa membuatnya hamil."

"Hah? yang benar saja," gumam Max lirih. 

"Bicara apa kamu, Max?"

"Ah, tidak... tidak ada apa-apa, Tuan. Kalau begitu saya buatkan dulu kontrak perjanjiannya."

***

Max menggoncangkan lengan Ahava. "Nona, bangun!"

Ahava tersentak. Bagun duduk dan mengumpulkan nyawanya kembali. 

"Astaga... Aku pikir siapa."

"Nona, Tuan menyuruhmu menandatangi kontrak perjanjian ini!" Max menyodorkan map berisi kontrak perjanjian.

Tanpa membukanya, Ahava sudah bisa menebak kalau isi di dalamnya surat perjanjian, di mana dia harus mengandung benih dari Tuan Dirgantara. 

"Tidak mau!" tolak Ahava mentah-mentah. 

"Tidak usah sombong kamu, Ava. Kamu butuh uang kan? Aku bisa memenuhi itu semua asalkan dalam waktu satu bulan kamu harus sudah mengandung benihku. Kita anggap perjanjian ini simbiosis mutualisme, bagaimana?"

"Sudah aku katakan kalau aku tidak mau. Aku bukan mesin pencetak anak."

"Dasar keras kepala," gerutu Tuan Dirgantara. 

Tuan Dirgantara mencabut selang infus di tangannya. Menyisakan bekas darah setelahnya. Menyeret kakinya perlahan mendekati Ahava. 

"Keluar dari ruangan ini, Max!" perintah Tuan Dirgantara. 

Max mendapati sorot tajam dari netra sang juragan. Auranya sangat kuat. Seperti hendak memakan manusia dalam keadaan hidup-hidup. Tanpa banyak bicara, Max berlalu meninggalkan ruang perawatan Tuan Dirgantara. 

Plak! 

Satu tamparan mendarat di pipi mulus Ahava. Telinganya berdengung. Ahava dapat merasakan pipinya memanas. Ahava pikir, sekeras-kerasnya Tuan Dirgantara hanya akan menggertaknya saja. Ahava sama sekali tidak menyangka kalau Tuan Dirgantara tega menyakiti fisiknya. 

"Dasar gadis kampung tidak tahu diri. Aku sudah bermurah hati mau memberimu kerja sama yang menguntungkan, tapi sepertinya kamu keras kepala. Baiklah, kalau begitu aku akan menghamilimu saat ini juga, tanpa memberimu apapun setelahnya. Kamu akan kubuang setelah melahirkan anakku. Oh ya, kamu juga tidak akan kuijinkan melihat wajah anak yang kamu lahirkan nantinya."

Tuan Dirgantara menjatuhkan tubuh Ahava ke atas sofa. Mengukung tubuh mungil Ahava di bawah kendalinya. Tuan Dirgantara menarik dagu Ahava, hendak mencium bibir Ahava secara paksa. Sontak, Ahava memalingkan wajahnya. Mendorong dada bidang Tuan Dirgantara sekuat tenaga. 

"Lepaskan aku!" berontak Ahava. 

Sayang sekali, sekuat apapun tenaga Ahava, lantas tidak membuat tubuh Tuan Dirgantara bergeming. Seringaian nampak di wajah tampan pria dewasa itu. 

"Aku tidak akan melepaskanmu. Malam ini juga kamu harus melayaniku, Sayang!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status