LOGIN
“Aku butuh istri.”
Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir pria di hadapanku, tanpa intonasi, tanpa emosi, seolah yang ia minta hanyalah laporan keuangan, bukan hidup seorang perempuan. Aku terdiam. Suara AC di ruangan luas itu mendadak terdengar terlalu nyaring. Gedung Mahesa Group menjulang tinggi dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya sore, tapi tubuhku terasa dingin, seperti ada sesuatu yang perlahan merambat naik dari kakiku. “Maaf?” tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar. Pria itu 'Ravindra Mahesa' duduk tegak di balik meja kerjanya. Jas hitamnya rapi sempurna, jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan sorot mata yang dingin, terlalu dingin untuk seseorang yang baru saja melontarkan permintaan gila. “Aku butuh istri,” ulangnya tenang. “Dan aku pikir kamu cocok.” Kata cocok itu membuat dadaku sesak. Aku bahkan tidak tahu harus menertawakan atau tersinggung. Aku datang ke sini untuk melamar pekerjaan sebagai asisten sementara. Bukan untuk ditawari pernikahan. Ia meraih sebuah map cokelat dari sisi meja dan mendorongnya ke arahku. Gerakannya tenang, terukur, seolah semua ini sudah ia rencanakan jauh sebelum aku masuk ke ruangan ini. “Pernikahan kontrak,” katanya. “Enam bulan.” Aku ragu, tapi tetap membuka map itu. Mataku langsung tertuju pada deretan angka yang tercetak rapi. Dan napasku tercekat. Seratus lima puluh juta rupiah per bulan. Aku menelan ludah. Tanganku gemetar, meski aku berusaha menyembunyikannya. Jumlah itu terlalu besar. Terlalu mustahil. Terlalu… tepat. Uang sebanyak itu cukup untuk melunasi biaya rumah sakit yang terus menumpuk. Cukup untuk operasi. Cukup untuk membeli waktu, sesuatu yang selama ini tidak kumiliki. “Aku tidak mencari cinta,” lanjut Ravindra, suaranya tetap datar. “Tidak ada kewajiban emosional. Tidak ada hubungan fisik di luar kesepakatan. Kita hanya suami istri di atas kertas dan di depan publik.” Aku mengangkat wajahku. “Kenapa Anda melakukan ini?” Ia menyandarkan tubuh ke kursinya. Tatapannya mengamati wajahku seperti sedang menilai sebuah proposal. “Keluarga menekanku untuk menikah,” jawabnya singkat. “Dan aku butuh seseorang yang tidak akan menuntut apa pun selain uang.” Kalimat itu menusuk. Tapi aku tidak dalam posisi untuk membela harga diriku. “Kenapa saya?” ulangku pelan. Matanya menyipit. “Karena kamu tidak mengenalku. Tidak punya latar belakang mencurigakan. Dan kamu terlihat cukup… terdesak.” Aku menggenggam map itu lebih erat. Ia benar. Aku memang terdesak. Namun yang tidak ia ketahui adalah fakta bahwa aku mengenalnya. Bukan sebagai CEO Mahesa Group. Bukan sebagai pria dingin di balik meja mewah ini. Aku mengenalnya sebagai pria yang lima tahun lalu memelukku di bawah lampu kota, berjanji tidak akan pergi… lalu menghilang keesokan paginya. Dan ia sama sekali tidak mengenaliku. Wajahnya berubah. Rambutnya lebih pendek. Sorot matanya lebih keras. Tapi garis wajah itu, aku tidak mungkin lupa. “Jika Anda setuju,” katanya lagi, “kita akan menikah secara resmi. Tinggal di satu rumah. Tapi semua tetap sesuai kontrak.” Aku menutup map itu perlahan. Detak jantungku terasa terlalu keras di telinga. Anakku muncul di benakku. Wajah kecilnya. Senyumnya yang lemah. Selang infus yang selalu membuatku ingin menangis setiap kali melihatnya. Aku tidak punya banyak pilihan. “Ada satu syarat,” ucapku akhirnya. Ravindra mengangkat alis. “Sebutkan.” Aku mengumpulkan seluruh keberanian yang kupunya. “Jangan pernah bertanya tentang masa laluku.” Ia menatapku lama. Sejenak, aku merasa seolah ia bisa melihat menembus semua kebohonganku. Melihat rahasia yang kusimpan rapat-rapat. Lalu ia mengangguk singkat. “Selama itu tidak mengganggu kontrak, aku tidak peduli.” Pulpen diletakkan di atas meja, tepat di hadapanku. Tanganku gemetar saat mengambilnya. Aku tahu, begitu aku menandatangani ini, tidak ada jalan kembali. Aku akan tinggal bersamanya. Berpura-pura menjadi istrinya. Berbohong setiap hari. Dan yang paling menakutkan Aku akan hidup di dekat pria yang tidak tahu bahwa anak yang setiap malam kupeluk… adalah darah dagingnya sendiri. Ujung pulpen menyentuh kertas. Aku menandatangani namaku. Saat itu juga, aku sadar ini bukan hanya pernikahan kontrak. Ini adalah awal dari kebohongan yang suatu hari akan menuntut kebenaran… dengan harga yang mungkin tidak sanggup kubayar.Pagi itu terasa terlalu cerah untuk hari yang seharusnya tenang. Aku berdiri di depan cermin, merapikan rambut dengan tangan yang sedikit gemetar. Sejak pertemuan di kafe kemarin, perasaanku tidak benar-benar turun. Seolah ada bayangan yang mengikuti dari sudut pandang mata, lalu menghilang ketika kutoleh. Ravindra menungguku di ruang tamu. Ia mengenakan kemeja gelap dan jaket tipis. Tidak formal, tapi siap. Cara berdirinya tegak, waspada membuatku sadar betapa berbeda hari-hari kami sekarang. “Kita langsung ke sana,” katanya. “Tidak mampir.” Aku mengangguk. Di mobil, ia mengemudi tanpa banyak bicara. Jalanan pagi cukup padat. Aku menatap keluar jendela, menghitung napas, mencoba menenangkan degup jantung. “Kamu tidur?” tanyanya singkat. “Sebentar,” jawabku. “Kamu?” “Tidak,” katanya jujur. Kami berhenti di lampu merah. Aku melihat bayangan mobil hitam di kaca spion, terlalu dekat, terlalu lama. Saat lampu hijau, mobil itu ikut melaju. “Ravindra,” kataku pelan.
Aturan pertama datang tanpa tertulis. Kami tidak saling bertanya ke mana, selama pulang tepat waktu. Tidak ada interogasi, tidak ada laporan. Ravindra menyebutnya “kepercayaan fungsional", cukup untuk berjalan, tidak cukup untuk berlari. Aturan kedua: makan malam bersama, minimal tiga kali seminggu. Tanpa ponsel. Tanpa dokumen. Hanya kami dan percakapan yang tidak menyinggung masa lalu. Aturan ketiga yang tidak ia ucapkan, tapi kurasakan adalah jarak. Jarak yang terukur, dijaga, namun tak sepenuhnya dingin. Pagi itu, kami sarapan dalam diam yang tidak canggung. Ravindra menuangkan kopi untukku tanpa bertanya, menambahkan gula dua sendok seperti yang selalu kulakukan. Aku menatap cangkir itu sejenak. “Kamu ingat,” kataku. Ia mengangkat bahu. “Aku memperhatikan.” Itu bukan pengakuan, tapi cukup. Hari berjalan cepat. Aku menghabiskan waktu di rumah, menata ulang ruang
Malam datang tanpa aba-aba. Lampu ruang keluarga menyala terang, terlalu terang untuk percakapan yang akan terjadi. Aku duduk di sofa dengan punggung tegak, telapak tangan dingin. Jam dinding berdetak seperti palu kecil yang memukul kesabaranku. Pintu terbuka tepat pukul delapan. Ravindra masuk tanpa kata. Jasnya tergantung rapi, rambutnya masih basah oleh hujan. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu berdiri beberapa langkah dariku. “Sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia tidak duduk. Ia berdiri seperti hakim yang belum memutuskan apakah ia akan menghukum atau membebaskan. Di tangannya ada map yang sama, kini lebih tebal. “Kamu berjanji,” katanya. “Aku menepati bagianku. Ini hasil lengkap.” Ia meletakkan map di meja. Aku tidak langsung membukanya. “Aku ingin kamu dengar dulu,” kataku. Ia mengangkat alis. “Aku mendengar sejak awal. Sekara
Hujan berhenti menjelang subuh. Aku terbangun dengan perasaan tidak enak, jenis perasaan yang datang sebelum sesuatu runtuh. Rumah masih sunyi. Tidak ada suara langkah Ravindra, tidak ada aroma kopi dari dapur. Aku tahu ia bangun lebih awal. Ia selalu begitu saat pikirannya bekerja terlalu keras. Aku bersiap tanpa terburu-buru, memilih pakaian yang rapi dan netral. Ketika keluar kamar, pintu ruang kerjanya tertutup rapat. Lampu di dalam menyala. Ia sudah mulai. Aku membuat teh dan duduk di meja makan, mencoba mengatur napas. Jam dinding berdetak pelan. Setiap detik terasa seperti langkah mendekat ke tepi jurang. Pukul tujuh lewat lima, pintu ruang kerja terbuka. Ravindra keluar dengan kemeja abu-abu, lengan digulung, ekspresinya tenang, tenang yang berbahaya. Ia meletakkan sebuah map tipis di meja, tepat di hadapanku. “Kita bicara sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia duduk berseberangan. “Aku tidak akan berputar-putar.” “Baik.” “Aku menemukan dua catatan yang t
Aku menatap layar ponsel terlalu lama. Pesan itu masih terbuka, seolah menunggu keberanianku untuk menjawab. Tanganku dingin. Dadaku terasa sempit. Ravindra sudah mulai menyelidiki dan pesan ini berarti satu hal: lingkaran aman yang selama ini kujaga mulai runtuh. Aku membalas singkat. > Di mana? Balasan datang cepat. > Kafe lama di Jalan Seruni. Satu jam lagi. Jangan bawa siapa pun. Aku menutup mata sejenak. Jalan Seruni terlalu dekat dengan pusat kota. Terlalu berisiko. Tapi menunda bukan pilihan. Aku bersiap tanpa menarik perhatian. Gaun sederhana, sepatu datar, rambut dibiarkan terurai. Aku meminta sopir mengantar ke toko buku, lalu turun dua blok sebelum tujuan. Sisanya kutempuh dengan berjalan kaki di bawah gerimis tipis. Kafe itu kecil dan redup, nyaris tak berubah sejak terakhir kali aku mengingatnya. Aroma kopi tua dan kayu basah menyambutku. Aku memilih meja di sudut, membelakangi jendela. Ia datang lima menit kemudian. Wajahnya lebih tirus dari ingatanku
Pagi datang tanpa suara. Aku bangun dengan perasaan diawasi, meski kamar terasa kosong. Tirai tertutup rapi, ranjang di sisi Ravindra tak tersentuh. Jarak yang ia ciptakan semalam masih terasa, seperti garis tak kasatmata yang memisahkan kami, jelas, tegas, dan dingin. Aku bersiap dalam diam. Memilih pakaian sederhana, mengikat rambut seadanya. Setiap gerakan terasa terukur. Aku harus berhati-hati. Terlalu hati-hati. Di dapur, pengurus rumah menyapaku dengan senyum kecil. “Tuan Ravindra sudah berangkat.” Aku mengangguk. “Terima kasih.” “Beliau minta berkas dikirim ke ruang kerjanya,” tambahnya, seolah itu informasi biasa. Ruang kerja. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Aku tidak pernah masuk ke sana tanpa diundang. Hari itu berjalan lambat. Aku mencoba mengalihkan pikiran, membaca, menata bunga, berjalan di taman, namun setiap langkah terasa seperti di atas kaca. Ravindra sudah mulai menyelidiki. Aku tahu caranya bekerja: tenang, sistematis, dan tak pernah bergera







