Share

PAGI YANG TERLALU SUNYI

Author: Benduls
last update Last Updated: 2025-12-15 05:21:13

Pagi itu terasa terlalu terang.

Cahaya matahari menembus tirai tanpa izin, seolah ingin membuka semua hal yang seharusnya tetap tersembunyi. Aku duduk di tepi ranjang, menatap lantai marmer yang dingin, mencoba menyusun napas agar terdengar normal. Rumah ini kembali sunyi, sunyi yang berbeda dari pagi kemarin. Lebih kosong. Lebih jujur.

Ravindra sudah pergi.

Aku tahu dari sisi ranjang yang rapi, dari aroma parfumnya yang masih tertinggal samar, dari keheningan yang terasa seperti keputusan. Ia memilih jarak. Memilih kendali.

Aku bangkit dan mandi lebih lama dari biasanya, berharap air hangat bisa menghapus sisa-sisa perasaan yang terlalu rumit untuk dinamai. Ketika keluar, aku memilih pakaian yang lebih tertutup. Seolah lapisan kain bisa mengembalikan batas yang semalam runtuh.

Di dapur, pengurus rumah menyiapkan sarapan. Ia tersenyum seperti biasa, tapi matanya meneliti wajahku lebih lama.

“Tuan Ravindra berangkat pagi sekali,” katanya ringan.

“Oh,” jawabku singkat.

“Kopi atau teh, Bu?”

“Teh,” kataku cepat.

Ia mengangguk, lalu menambahkan, “Tuan tidak sarapan.”

Kalimat itu terasa seperti penegasan. Aku duduk dan memandangi meja makan yang sama seperti kemarin. Kursi di seberang kosong. Terlalu kosong.

Ponselku bergetar.

Pesan dari Ravindra.

> Aku akan pulang terlambat. Kita bicara nanti.

Tidak ada emotikon. Tidak ada penjelasan. Hanya kalimat yang terasa seperti perintah.

Aku membalas singkat.

> Baik.

Hari berjalan lambat. Aku mencoba menyibukkan diri membaca, berjalan di taman, mengatur napas, tapi pikiranku terus kembali pada malam tadi. Pada cara ia meminta izin. Pada caranya menarik diri pagi ini. Pada satu kata yang ia pilih: kesalahan.

Menjelang sore, aku memutuskan keluar rumah. Sopir mengantar ke sebuah kafe kecil yang tenang. Aku duduk di sudut, memesan teh hangat, mencoba terlihat seperti wanita yang tidak membawa beban apa pun.

Namun beban itu ada.

Aku sadar betul: malam tadi bukan hanya tentang emosi. Itu tentang celah. Tentang Ravindra yang mulai melihatku bukan sebagai peran, tapi sebagai seseorang yang terlalu familiar.

Dan itu berbahaya.

Saat aku kembali ke rumah, langit sudah gelap. Lampu-lampu menyala, tapi suasana tetap dingin. Ravindra belum pulang.

Aku menunggu.

Jam sembilan. Sepuluh. Sebelas.

Pintu akhirnya terbuka mendekati tengah malam. Ravindra masuk dengan langkah mantap, jasnya dilepas, wajahnya lelah. Ia berhenti ketika melihatku duduk di ruang keluarga.

“Kamu menunggu,” katanya.

“Iya.”

Ia mengangguk, lalu duduk berseberangan. Jarak di antara kami terasa seperti tembok yang baru dibangun.

“Kita perlu bicara,” katanya.

“Aku tahu.”

Ia menghela napas pelan. “Malam tadi… tidak boleh terulang.”

Aku menatapnya. “Karena itu kesalahan?”

Ia mengatupkan rahang. “Karena itu mengaburkan batas.”

“Batas apa?” tanyaku pelan. “Kita menikah, Ravindra.”

“Pernikahan ini kontrak,” balasnya cepat. “Bukan alasan untuk kehilangan kendali.”

Kata-katanya menusuk, tapi aku menahannya. “Lalu kenapa kamu membiarkannya terjadi?”

Ia terdiam.

“Karena kamu terlalu tenang,” katanya akhirnya. “Terlalu nyaman. Dan itu membuatku lengah.”

Aku tersenyum pahit. “Atau mungkin karena kamu ingin berhenti berpura-pura.”

Tatapannya mengeras. “Aku tidak ingin membicarakan ini sebagai perasaan.”

“Lalu sebagai apa?”

“Sebagai kesalahan strategis,” jawabnya datar. “Dan aku tidak mengulang kesalahan.”

Keheningan jatuh di antara kami.

“Ada hal lain,” katanya kemudian. “Pagi ini, aku menemukan sesuatu.”

Dadaku menegang. “Apa?”

“Caramu mengikat rambut,” katanya perlahan. “Itu kebiasaan lama. Aku pernah melihatnya… entah di mana.”

Aku menahan napas.

“Kamu juga tahu jenis teh yang ada di rumah ini tanpa bertanya,” lanjutnya. “Dan kamu menyebut nama pengurus rumah dengan panggilan yang hanya dipakai keluarga.”

Aku menggenggam tangan sendiri di pangkuan.

“Itu detail kecil,” kataku. “Mungkin kamu terlalu mencurigai.”

“Mungkin,” katanya. “Atau mungkin aku mulai mengingat.”

Kata itu menggema di kepalaku.

“Apa yang kamu ingat?” tanyaku pelan.

Ia menatapku tajam. “Perasaan familiar. Dan aku tidak suka itu.”

Ia berdiri. “Mulai sekarang, kita jaga jarak. Tidak ada lagi malam seperti itu. Tidak ada lagi celah.”

Aku mengangguk, meski dadaku terasa sesak. “Baik.”

Ia melangkah pergi, lalu berhenti di pintu. “Dan satu hal lagi.”

Aku menoleh.

“Jika kamu menyembunyikan sesuatu,” katanya tanpa emosi, “aku akan menemukannya.”

Pintu tertutup.

Aku duduk sendirian di ruang keluarga, menatap bayangan sendiri di kaca jendela. Tangan kananku gemetar pelan. Bukan karena takut semata, tapi karena aku tahu, ia benar.

Ia akan menemukan sesuatu.

Dan malam tadi hanya mempercepat proses itu.

Aku menutup mata, menarik napas panjang.

Jika jarak adalah pilihan Ravindra,

maka aku harus memastikan,

ketika kebenaran muncul, aku sudah siap menanggung akibatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   SETENGAH KEBENARAN

    Malam datang tanpa aba-aba. Lampu ruang keluarga menyala terang, terlalu terang untuk percakapan yang akan terjadi. Aku duduk di sofa dengan punggung tegak, telapak tangan dingin. Jam dinding berdetak seperti palu kecil yang memukul kesabaranku. Pintu terbuka tepat pukul delapan. Ravindra masuk tanpa kata. Jasnya tergantung rapi, rambutnya masih basah oleh hujan. Ia menutup pintu, menguncinya, lalu berdiri beberapa langkah dariku. “Sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia tidak duduk. Ia berdiri seperti hakim yang belum memutuskan apakah ia akan menghukum atau membebaskan. Di tangannya ada map yang sama, kini lebih tebal. “Kamu berjanji,” katanya. “Aku menepati bagianku. Ini hasil lengkap.” Ia meletakkan map di meja. Aku tidak langsung membukanya. “Aku ingin kamu dengar dulu,” kataku. Ia mengangkat alis. “Aku mendengar sejak awal. Sekara

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   BUKTI YANG TIDAK BISA DIABAIKAN

    Hujan berhenti menjelang subuh. Aku terbangun dengan perasaan tidak enak, jenis perasaan yang datang sebelum sesuatu runtuh. Rumah masih sunyi. Tidak ada suara langkah Ravindra, tidak ada aroma kopi dari dapur. Aku tahu ia bangun lebih awal. Ia selalu begitu saat pikirannya bekerja terlalu keras. Aku bersiap tanpa terburu-buru, memilih pakaian yang rapi dan netral. Ketika keluar kamar, pintu ruang kerjanya tertutup rapat. Lampu di dalam menyala. Ia sudah mulai. Aku membuat teh dan duduk di meja makan, mencoba mengatur napas. Jam dinding berdetak pelan. Setiap detik terasa seperti langkah mendekat ke tepi jurang. Pukul tujuh lewat lima, pintu ruang kerja terbuka. Ravindra keluar dengan kemeja abu-abu, lengan digulung, ekspresinya tenang, tenang yang berbahaya. Ia meletakkan sebuah map tipis di meja, tepat di hadapanku. “Kita bicara sekarang,” katanya. Aku mengangguk. Ia duduk berseberangan. “Aku tidak akan berputar-putar.” “Baik.” “Aku menemukan dua catatan yang t

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   PERTEMUAN YANG TAK BOLEH TERLIHAT

    Aku menatap layar ponsel terlalu lama. Pesan itu masih terbuka, seolah menunggu keberanianku untuk menjawab. Tanganku dingin. Dadaku terasa sempit. Ravindra sudah mulai menyelidiki dan pesan ini berarti satu hal: lingkaran aman yang selama ini kujaga mulai runtuh. Aku membalas singkat. > Di mana? Balasan datang cepat. > Kafe lama di Jalan Seruni. Satu jam lagi. Jangan bawa siapa pun. Aku menutup mata sejenak. Jalan Seruni terlalu dekat dengan pusat kota. Terlalu berisiko. Tapi menunda bukan pilihan. Aku bersiap tanpa menarik perhatian. Gaun sederhana, sepatu datar, rambut dibiarkan terurai. Aku meminta sopir mengantar ke toko buku, lalu turun dua blok sebelum tujuan. Sisanya kutempuh dengan berjalan kaki di bawah gerimis tipis. Kafe itu kecil dan redup, nyaris tak berubah sejak terakhir kali aku mengingatnya. Aroma kopi tua dan kayu basah menyambutku. Aku memilih meja di sudut, membelakangi jendela. Ia datang lima menit kemudian. Wajahnya lebih tirus dari ingatanku

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   JEJAK YANG TERTINGGAL

    Pagi datang tanpa suara. Aku bangun dengan perasaan diawasi, meski kamar terasa kosong. Tirai tertutup rapi, ranjang di sisi Ravindra tak tersentuh. Jarak yang ia ciptakan semalam masih terasa, seperti garis tak kasatmata yang memisahkan kami, jelas, tegas, dan dingin. Aku bersiap dalam diam. Memilih pakaian sederhana, mengikat rambut seadanya. Setiap gerakan terasa terukur. Aku harus berhati-hati. Terlalu hati-hati. Di dapur, pengurus rumah menyapaku dengan senyum kecil. “Tuan Ravindra sudah berangkat.” Aku mengangguk. “Terima kasih.” “Beliau minta berkas dikirim ke ruang kerjanya,” tambahnya, seolah itu informasi biasa. Ruang kerja. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Aku tidak pernah masuk ke sana tanpa diundang. Hari itu berjalan lambat. Aku mencoba mengalihkan pikiran, membaca, menata bunga, berjalan di taman, namun setiap langkah terasa seperti di atas kaca. Ravindra sudah mulai menyelidiki. Aku tahu caranya bekerja: tenang, sistematis, dan tak pernah bergera

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   PAGI YANG TERLALU SUNYI

    Pagi itu terasa terlalu terang. Cahaya matahari menembus tirai tanpa izin, seolah ingin membuka semua hal yang seharusnya tetap tersembunyi. Aku duduk di tepi ranjang, menatap lantai marmer yang dingin, mencoba menyusun napas agar terdengar normal. Rumah ini kembali sunyi, sunyi yang berbeda dari pagi kemarin. Lebih kosong. Lebih jujur. Ravindra sudah pergi. Aku tahu dari sisi ranjang yang rapi, dari aroma parfumnya yang masih tertinggal samar, dari keheningan yang terasa seperti keputusan. Ia memilih jarak. Memilih kendali. Aku bangkit dan mandi lebih lama dari biasanya, berharap air hangat bisa menghapus sisa-sisa perasaan yang terlalu rumit untuk dinamai. Ketika keluar, aku memilih pakaian yang lebih tertutup. Seolah lapisan kain bisa mengembalikan batas yang semalam runtuh. Di dapur, pengurus rumah menyiapkan sarapan. Ia tersenyum seperti biasa, tapi matanya meneliti wajahku lebih lama. “Tuan Ravindra berangkat pagi sekali,” katanya ringan. “Oh,” jawabku singkat. “Kopi ata

  • Istri Kontrak CEO yang Menyembunyikan Anak Kandungnya   MALAM YANG TAK SEHARUSNYA TERJADI

    Malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu taman menyala redup, memantulkan bayangan panjang di lantai teras. Ravindra masih bersandar di pagar, satu tangan menggenggam gelas anggur yang hampir kosong. Aku berdiri beberapa langkah di belakangnya, ragu untuk mendekat, ragu untuk pergi. “Aku jarang minum sebanyak ini,” katanya pelan, tanpa menoleh. “Kelihatan,” jawabku. Ia tersenyum kecil. “Ibu selalu berhasil membuatku lupa batas.” Aku tidak menanggapi. Angin malam berembus, membawa aroma tanah basah. Keheningan itu tidak canggung, justru berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di antara kami, menunggu untuk diakui. “Kamu tidak takut?” tanyanya tiba-tiba. “Takut apa?” “Padaku. Pada situasi ini.” Ia akhirnya menoleh. Tatapannya tidak setajam biasanya. Ada kelelahan di sana. Jujur. Aku menghela napas. “Takut tidak selalu berarti harus lari.” Ia menatapku lama. “Kamu selalu menjawab seperti orang yang sudah belajar kehilangan.” Kata-katanya menusuk terlalu dek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status