Matthew tiba lebih awal di kantor pagi itu. Matanya terlihat sayu arena semalaman ia tidak benar-benar tidur. Bayangan Sara yang makan sendirian di meja makan rumah terus mengganggu pikirannya, tapi egonya menahannya untuk meminta maaf.Ia berdiri di depan jendela besar ruangannya, menatap gedung-gedung tinggi San Francisco dengan pikiran yang bercampur aduk.Pintu ruangannya tiba-tiba diketuk. Matthew berteriak, mengizinkan siapapun yang ada di balik pintu untuk masuk. “Pagi, Kak Matthew.” Suara Celine terdengar. Perempuan itu melangkah masuk ke dalam dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Matthew menoleh dan melihat Celine sudah berdiri di dekat meja kerjanya dengan senyum ramah, perempuan itu meletakkan dua cangkir kopi panas di meja.“Aku bawakan kopi. Kau pasti butuh sesuatu untuk membuat pagi ini lebih baik,” kata Celine ramah. Matthew menghela napas, melihat gelagat yang tak bisa, tetapi kemudian mengangguk singkat. “Terima kasih. Tapi kau tak perlu repot-repot,” ka
Rumah terasa lebih dingin dari biasanya malam itu. Sara dan Matthew baru saja tiba setelah melewati hari yang panjang di kantor. Biasanya, setelah bekerja, mereka akan berbincang ringan di ruang tamu atau makan malam bersama sambil saling bertukar cerita. Namun kali ini, hanya ada keheningan yang menari-nari di antara mereka."Aku masih memiliki pekerjaan," kata Matthew, tanpa melihat ke arah Sara. Matthew meletakkan jasnya di gantungan, lalu berjalan langsung ke ruang kerjanya tanpa menatap Sara. Wajahnya masih sama seperti saat di kantor, tegang dan terkesan marah. Sara berdiri mematung di kamar mereka dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Matanya mengikuti punggung suaminya yang menjauh. Ada perasaan perih dan sesak yang menyelinap di dadanya. "Jadi, begitu sikapmu padaku sekarang? Kau bilang, kau akan mempercayaiku, apa pun yang terjadi. Tetapi satu gosip kecil saja sudah cukup untuk meruntuhkan keyakinanmu padaku?" gumam Sara, pedih. "Bukankah aku sudah mengatakan yan
Matthew sedang sibuk menandatangani beberapa dokumen di ruangannya ketika pintu diketuk. Salah seorang staff masuk dengan membawa dokumen untuk ditandatangani oleh Matthew. “Maaf, Sir. Bolehkah saya bertanya sesuatu? Tetapi ini menyangkut hal pribadi," tanya staff itu setengah berbisik. Entah keberanian dari mana ia bisa berani menanyakan hal seperti itu. Pertanyaan itu, membuat tangan Matthew yang hendak membubuhkan tanda tangan, terhenti seketika. Matthew menaikkan pandangan dan menatap staff itu dengan tatapan penuh tanya. "Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Matthew pada akhirnya, mulai mencium sesuatu yang tidak beres, jika melihat mimik muka karyawannya itu. "Di kantor, ada gosip baru yang beredar mengenai Nyonya Sara. Apakah benar Nyonya dekat dengan sahabat An—" Darah Matthew seolah berhenti mengalir sejenak. Matanya terangkat tajam. “Apa maksudmu?” potongnya langsung, tak suka. Staff itu terlihat gugup dan tersenyum kaku, merasa sudah kebablasan. “Ma-maaf, Sir. Saya han
Sara berjalan ke pantry dengan langkah pelan, seolah menimbang setiap pijakan. Kepalanya penuh dengan suara-suara sumbang tadi, membuat dadanya terasa sesak. Kemudian, ia membuka lemari kecil, mengambil gelas, lalu menuangkan kopi instan. Aroma pahit itu setidaknya bisa sedikit menenangkan pikirannya.Tangannya bergetar tipis ketika ia menuangkan air panas. "Aku harus kuat. Aku tidak boleh terlihat rapuh. Tapi, kenapa rasanya semua orang berbalik melawan aku?" Ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Saat itulah suara langkah terdengar dari arah pintu. Sara menoleh, Ia mendapati David masuk ke pantry dengan membawa beberapa berkas.“Oh, Sara.” David tersenyum kecil, meski matanya memantau wajah Sara yang pucat. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya basa-basi. Sara tersenyum getir lalu menyahut singkat, "Begitulah. Kau tahu jelas apa yang terjadi bukan?" David pun mengangguk. Memahami dengan jelas perasaan perempuan di depannya itu. "Hei, jangan berkecil hati. Tidak usah dengarkan gosip-gos
Celine berdiri di balik pintu, tubuhnya sedikit condong agar bisa mengintip ke dalam kamar tempat Matthew dan Sara berada. Dari celah kecil itu, Celine bisa melihat bagaimana Matthew dengan hati-hati membalut tangan Sara yang hanya bisa menunduk, wajahnya penuh rasa bersalah.Senyum sinis terbit di bibir Celine. Ia tidak mendengar semua percakapan mereka, tapi ekspresi Sara sudah cukup baginya untuk menebak bahwa Sara pasti merasa bersalah.“Begitulah kau, Sara,” gumamnya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan. “Selalu menanggung beban yang bukan salahmu. Selalu ingin terlihat sebagai malaikat yang penuh pengertian. Itu kelemahanmu.”Tatapannya semakin tajam ketika melihat Matthew mengangkat dagu Sara dan menatapnya dengan penuh kasih sayang. Hatinya kembali teriris, perasaan cemburu bercampur amarah mendidih. Celine mengepalkan tangan hingga kukunya menancap ke telapak.“Aku tidak akan membiarkanmu terus berada di sisinya. Kau terlalu mudah dipatahkan, Sara. Terlalu rapuh. Dan aku
Celine menatap punggung Matthew dan Sara yang berjalan beriringan menuju kamar. Pandangan itu seperti bara api yang membakar seluruh dadanya. Tangannya mengepal erat, kuku-kuku tajamnya hampir menembus kulit telapak. Nafasnya memburu, seakan setiap helaan adalah cambuk pada harga dirinya yang terus-menerus diinjak. Lagi-lagi perempuan itu yang mendapat perhatian. Lagi-lagi Sara yang dipilih. Padahal, semua rencananya sudah ia atur dengan matang. Kenapa hasilnya selalu berbalik melawan dirinya?"Kenapa harus dia? Kenapa Matthew selalu membelanya? Padahal dia hanya seorang wanita biasa yang tak pantas berada di sisinya!" batinnya berteriak penuh amarah.Air matanya hampir menetes, tapi buru-buru ia tahan. Tidak, ia tidak boleh terlihat lemah. Ia tidak boleh kalah. Kalau tadi ia berpura-pura rapuh, itu hanya topeng. Yang sebenarnya, di balik senyumnya, api dendam semakin menyala."Sara, kau pikir kau menang kali ini? Kau pikir Matthew akan terus mengagumimu hanya karena wajahmu yang pol