“Ah, kepalaku sakit.” Brianna bangun dari tidurnya sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit.
'Apa yang terjadi denganku?'Wanita itu terbangun dengan rasa sakit di kepalanya. Tenggorokannya kering dan perutnya juga tidak nyaman. Dia terkejut menemukan dirinya sedang berbaring di ruangan VIP di kelab tempatnya bekerja.Malam itu dia minum lebih banyak daripada malam-malam sebelumnya. Brianna ke kamar mandi dan muntah. Dia merasa sangat tidak nyaman, perutnya bergejolak dan pandangannya berbayang, dan terakhir dia tidak sadarkan diri.Dia tidak ingat lagi apa yang terjadi dengannya, kemudian dia bangun dan berada di ruangan ini. Sebelum dia tidak sadarkan diri tadi, samar-samar dia melihat bayangan seseorang."Kamu sudah sadar?" Tiba-tiba terdengar suara pria di dekatnya. Suaranya dalam dan dingin, suara yang sudah lama tidak dia dengar.'Suara itu...'Brianna mendongakkan kepalanya dan menemukan seorang pria duduk disana menatapnya tajam. Pria itu...'Steven...'Pria yang pernah singgah di hatinya empat tahun lalu... Brianna terkejut, dia duduk membatu dan tdak bisa menemukan suaranya.Steven berjalan mendekatinya dan memberikan sebuah botol kecil kepada Brianna, "Pereda mabuk, minumlah."Brianna mengambil minuman itu dari tangan Steven. "Terima kasih." Ucapnya parau sambil menatap botol yang ada di tangannya. Matanya tidak berani melihat pria itu.Kemudian Steven duduk di sofa lain di seberang dari tempat Brianna duduk. Brianna meminum minumannya sambil melirik mencuri pandang ke arah Steven.'Apakah aku sedang bermimpi?'Melihat sosok laki-laki yang pernah hadir dalam hidupnya empat tahun lalu membuat pikirannya kembali ke masa lalu. Empat tahun lalu, saat mereka duduk di bangku SMA, Steven yang menjadi pujaan para gadis selalu menjadi pusat perhatian. Gadis-gadis selalu mengikuti kemanapun Steven pergi. Steven bagaikan artis idola yang dikejar-kejar penggemar dan juga paparazi.Steven tidak berubah, tetap menawan dan sangat tampan. Namun sekarang dia terlihat lebih dewasa. Pakaiannya, gaya rambutnya, rahangnya yang semakin tajam, membuatnya semakin seksi dan maskulin.Steven berdeham dan membuyarkan lamunan Brianna."Apakah kamu merasa lebih baik?" tanya Steven.Brianna tidak berani menatap Steven. Dia hanya perlahan mengangguk dan menjawab pertanyaannya, "Ya, aku merasa lebih baik. Terima kasih.. untuk ini." Kata Brianna sambil mengangkat minuman pereda mabuknya.Melihat Brianna yang tidak memandangnya, Steven menghela nafas dan bertanya dengan suara berat, "Kenapa kamu harus minum kalau kamu tidak bisa minum?""Aku tidak bisa menolaknya." Dia menjawab sambil menunjuk mengangkat kedua bahunya."Tidak bisa menolak atau tidak mau menolak?" Steven melayangkan senyuman sinis kepadanya.Brianna menggenggam botol kosongnya dengan kuat, namun dia tetap diam tidak menjawab Steven.“Aku tahu wanita seperti apa kamu, Brie.. Kenapa tidak sekalian jual tubuhmu? Atau cari pria kaya yang bisa menyokongmu? " Tanya Steven dengan nada cemooh. Dia berdiri dihadapan Brianna dengan tangan di saku celananya. Membuat Brianna semakin menciut.Tangan Brianna bergetar karena marah. Tidak dia sangka orang yang pernah dia cintai menganggapnya sebagai wanita murahan hanya karena dia bekerja di kelab dan minum-minum. Dia menggertakkan gigi dan mengangkat kepalanya."Aku disini bekerja, bukan menjual tubuh. Siapa yang tidak butuh uang? Semua orang membutuhkan uang. Tapi kamu tidak berhak mencemoohku." Mata Brianna berkilauan menatap Steven.Steven tidak menjawabnya. Mereka berdua saling memandang. Jantung Brianna berdegup kencang karena tatapan mata Steven seperti menghisap jiwanya.Setelah beberapa saat, Brianna menarik napas panjang dan menghembuskannya. Setelah merasa tenang dia melanjutkan. "Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan. Biar kutraktir Anda dengan segelas minuman. Aku permisi."Pria itu menyilangkan kakinya dan menyenderkan badannya ke sofa, dan bibirnya membentuk senyum dingin, "Oh, jadi kamu bekerja ditempat ini.. Beginikah caramu melayani tamu?""Apa maksudmu?" Tanya Brianna sambil memicingkan matanya."Aku sudah menolongmu saat kamu tidak sadarkan diri tadi, dan aku tamu VIP disini, tapi kamu melayani dengan cara yang sangat tidak profesional." Steven menyilangkan tangannya di dada."Aku bisa membuatmu berhenti dari pekerjaanmu dengan sikapmu ini. Ngomong-ngomong, pemilik kelab ini adalah teman baikku." Kata Steven sambil mengangkat sebelah alisnya. "Apakah kamu bisa terus bekerja di sini atau tidak...."Brianna tercengang mendengar ancaman Steven. 'Mengapa pria ini harus menyusahkanku?'"Jadi apa maumu, Tuan?""Mudah saja. Pertama, jangan panggil aku tuan, panggil aku Steven. Kedua, aku tidak ingin lagi melihatmu mabuk lagi seperti hari ini. Ketiga, kamu mau uang? Aku akan memberikannya padamu. Mulai besok kamu harus menemaniku minum."Perkataan Steven membuat Brianna sedikit lega. Dia mengira Steven akan mempersulitnya dan memecatnya. Tapi berada di dekatnya juga akan sulit untuknya. 'Setidaknya aku masih bisa bekerja disini. Tapi menemaninya minum setiap hari, sepertinya bukan ide bagus. Tapi aku bisa berbuat apa lagi?'"Terserah kau saja." Brianna berkata sambil bangkit berdiri. "Aku permisi." Brianna kemudian berjalan menuju pintu keluar ruangan itu.Setelah ragu sejenak, dia berbalik dan ingin mengatakan sesuatu. Tapi kata-kata itu tercekik di tenggorokannya. Dia menelan kata-kata itu dan berbalik, membuka pintu dan pergi.Setelah Brianna pergi, Steven menelepon asisten pribadinya. "Aku ingin kau menyelidiki seseorang, Brianna Hart."Keesokkan paginya, Steven sedang berada di kantornya sambil mendengarkan informasi dari asisten pribadinya."Jam 10 anda ada meeting dengan kantor pusat di New York. Jam 1 siang ada pertemuan dengan para pemegang saham, untuk memperkenalkan kepemimpinan anda secara resmi. Jam 7 ada makan malam dengan para direksi.""Lewatkan makan malamnya." Kata Steven tegas. Matanya melihat pemandangan gedung-gedung tinggi dari balik jendela besar di ruangannya."Baik, Tuan." Balas asisten pribadinya."Kamu sudah mendapatkan informasi yang kuminta?" Tanya Steven mengganti topik.Empat tahun lalu, Steven dan Brianna adalah pasangan kekasih yang saling mencintai. Namun Brianna memutuskan hubungan mereka di malam pesta perpisahan hanya melalui pesan singkat. Lalu Steven meninggalkan negaranya. Kini dia kembali dan dipertemukan kembali dengan Brianna."Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda minta, Tuan Pierce." Kemudian asisten pribadinya memberi tahu Steven semua informasi tentang Brianna."Brianna Hart, usia 21 tahun. Setiap pagi dia bekerja di restoran, siang dia bekerja di sebuah butik, dan sejak beberapa hari yang lalu, dia bekerja di Golden Sky pada malam hari. Orang tuanya berpisah empat tahun lalu, dan Nona Brianna ikut bersama ibunya. Tapi Nona Brianna tidak tinggal bersama ibunya, dia tinggal sendiri di sebuah kontrakan kecil di pinggiran kota.""Selidiki lagi lebih lanjut!" Steven sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di senderan tangan kursinya."Baik, Tuan." Jawab James tanpa ragu."Oh ya Tuan, ada pesan penting dari kakek Anda. Beliau berpesan, Anda mempunyai waktu satu minggu untuk menikah. Tapi Nona Selena... ""Jangan sebut nama itu lagi!" Steven berkata dingin."Maaf Tuan." James menjawab sambil menundukkan kepalanya."Keluarlah!" Perintah Steven.'Brianna...' Bibirnya melengkung menampilkan senyum penuh makna.Seorang wanita muda menyeret kopernya berjalan di sepanjang lorong kedatangan bandara menuju pintu keluar. Angin segar segera menyapa dan menerpa wajahnya, menyibakkan rambut bergelombang yang menutupi wajahnya yang mempesona. Dia mengenakan celana hitam yang ketat dan jaket kulit berwarna senada, memamerkan postur tubuhnya yang sempurna. Beberapa orang melirik terpana akan kecantikan dan kemolekan wanita itu. Bukan hanya pria, wanita pun berdecak kagum akan dirinya.Dengan sebelah tangannya yang bebas, wanita itu menyisir rambutnya, yang berantakan dengan jari-jarinya yang panjang dan lentik. Dia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara Old Coast untuk pertama kalinya, sebelum kemudian menghembuskannya lagi perlahan. Perasaan hangat menyebar mengisi hatinya, namun sesaat kemudian jantungnya berdebar kencang! Ini adalah kali pertamanya menginjakkan kaki di negara ini, rasa semangat menjalar di tubuhnya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung mengembangkan senyuman tipis.Netranya yang t
Lima tahun kemudian. Dua orang pria berdiri diatas ring tinju, saling menyerang dan bertahan. Sudah satu jam mereka berada disana. James mulai kewalahan menghadapi serangan pukulan Steven yang sedang melampiaskan emosinya. Ya... Sejak kehilangan Brianna, pria itu selalu menjadikan James sebagai 'sak tinju' nya saat dia merasa sedih dan merindukan wanita itu. "Sudah berlalu lima tahun, mengapa sangat sulit mencari seorang wanita??" Seru Steven sambil melayangkan pukulannya ke arah James, dan berhasil mengenai perut asistennya itu. James pun bukan pria lemah. Dia sudah terbiasa bertarung dengan Steven, terlebih lima tahun belakangan ini. Pria itu dengan cepat membalas menendang Steven. Steven terpental dan menabrak tali pembatas arena tinju, lalu terjatuh. "Karena kau tidak bisa menerima kenyataan! Brianna sudah mati, Steven! Dan kau harus bisa menerima kenyataan!" Kata James dengan suara menggeram. Di dalam kantor, James adalah asisten pribadi Steven. Namun di luar pekerja
"Bagaimana keadaan keponakanku, dokter?" Tanya Sonya cemas saat melihat dokter keluar dari ruang operasi. "Operasi berjalan dengan baik. Pendarahan di otaknya berhasil ditangani. Kami juga sudah mengeluarkan cairan di parunya dan mengobati semua luka-lukanya. Namun pasien masih dalam kondisi koma." "Oh..." Sonya menutup mulutnya dengan tangan, tenggorokannya tercekat tidak dapat menemukan suaranya. Timothy meremas lembut bahu istrinya dan berterima kasih kepada dokter. Brianna dipindahkan ke ruang VIP dan Sonya dengan setia menjaganya. Sudah beberapa hari berlalu sejak Brianna keluar dari kamar operasi, namun wanita itu belum kunjung sadar. Tidak hentinya Sonya berdoa agar keponakan yang baru ditemuinya itu segera sadar. Di satu sisi, Sonya ingin keponakannya sadar, sehingga mereka berkesempatan mengenal satu sama lain. Di sisi yang lain, dia ingin keponakannya segera sadar, karena hanya melalui keponakannya itulah harapan satu-satunya untuk dia dapat bertemu dengan Sophia
"Berarti wanita ini sungguh anak dari Sophia..." suara Sonya bergetar dan matanya berkaca-kaca melihat Brianna yang terbaring. Dia berjalan mendekat dan menggenggam tangan Brianna. "Dua puluh tiga tahun aku dan Sophia berpisah, dan kini aku dapat melihat keponakanku... Tapi dimana Sophia?" Air mata akhirnya jatuh mengalir di pipinya. Sanders mendekati Sonya, dan meletakkan tangannya pada bahu istrinya, dan membelainya dengan lembut, mencoba menenangkan wanita itu. "Mari kita pikirkan keselamatannya terlebih dahulu.. Kau akan ada kesempatan bertanya langsung padanya saat dia sadar." Mendengar kata-kata suaminya, Sonya menghapus air matanya dengan cepat. "Benar! Keselamatannya lebih penting. Tunggu apa lagi? Segera lakukan operasi padanya, dokter! Tolong selamatkan keponakanku..." "Kami akan berusaha melakukan yang terbaik." Brianna segera di dorong ke ruangan operasi. Tim dokter berusaha yang terbaik untuk menolongnya. Sementara itu di sisi sungai Valca, di Old Coast, Steven mas
"Kalung ini..."Letnan Sanders mengambil kalung itu dan memperhatikannya dengan seksama. Dia merasa akrab dengan benda itu. Kemudian netra pria paruh baya itu membesar melihat liontin giok berwarna hitam yang bentuknya menyerupai koin.Pria itu kemudian berjalan mendekati tempat tidur dimana Brianna terbaring dan melihat wajah Brianna dengan seksama. Wajah wanita itu tampak pucat dan dipenuhi dengan luka. Bahkan hampir separuh wajah sebelah kirinya terluka parah. Pandangan Letnan Sanders beralih ke daerah wajah yang hanya terdapat luka kecil. Beberapa saat kemudian Letnan Sanders terperajat!"Wanita ini...""Ada apa dengan wanita ini Tuan? Apa anda mengenalnya?" Tanya ajudan Lee yang heran melihat ekspresi Letnan Sanders.Letnan Sanders tidak menjawabnya, melainkan meminta ponselnya dari ajudan Lee, kemudian menelepon istrinya, Sonya Lewis."Halo..." Terdengar suara lembut wanita menyahut diujung telepon."Sonya, apa kamu kehilangan kalungmu?" Tanya Sanders namun tatapannya tidak pern
"Steven.." Terdengar suara Brianna yang panik dan ketakutan."Steven tolong aku..." Brianna berteriak dari dalam sebuah mobil.Tiba-tiba mobil itu meledak dan api menelan tubuh Brianna. "Aaahhh..." Teriakan Brianna membuat Steven tersentak membuka matanya. Steven menemukan dirinya terbaring di sebuah kamar rumah sakit. "Brianna!" Sontak pria itu bangun dari ranjang, namun tangan James menahan bahunya."Dimana Briana? Sudah ada kabar tentang Brianna?" Tanya Steven dengan penuh kecemasan."Belum." Jawab James. "Polisi sudah mengevakuasi tempat kejadian. Selena ditemukan di salam mobil, sedangkan Roy ditemukan satu kilometer dari tempat kejadian. Tapi Brianna... masih belum ditemukan..." "Mengapa belum ketemu?? Cari terus!" Perintah Steven."Tim khusus sudah di kerahkan untuk mencari Brianna, dan Jo juga mengerahkan anak buahnya mencari Brianna. Kami akan terus mencarinya sampai ketemu, kau tenang saja.""Bagaimana aku bisa tenang?" Steven berkata lirih."Sial! Mengapa aku disini?" St