เข้าสู่ระบบHari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Anya datang lebih pagi ke perusahaan besar yang ada di pusat kota. Ia melangkah memasuki area perusahaan dan di sana ia melihat Ayu sudah menunggu dirinya.
Ia tersenyum dan semakin mempercepat langkahnya. “Aku kira kamu akan datang lebih lambat dariku,” ucap Anya begitu sampai menghampiri Ayu. “Tentu saja tidak. Aku sengaja berangkat pagi saat tahu kamu hari ini masuk bekerja.” “Setelah ini apakah aku akan langsung melakukan tugasku?” “Tentu saja, biasanya setiap tugas akan diatur oleh leader yang akan mengawasi pekerjaan kita. Kamu tenang saja, pekerjaannya tidak berat.” Anya mengangguk. Mereka berdua pun masuk ke dalam perusahaan yang mulai ramai oleh karyawan yang berdatangan. Ketika Ayu menggiringnya memasuki lobi langkahnya terhenti ketika dua orang laki-laki melewati mereka berdua. Ayu membungkuk singkat pada dua laki-laki itu. Melihat itu, sejenak Anya memandangi wajah dua lelaki itu yang melangkah dengan ekspresi tegas dan datar. Hanya anggukan kecil membalas sapaan para karyawan. “Anya, kenapa diam?” tegur Ayu, membuat Anya tersentak. “Tidak apa-apa. Tadi siapa?” tanyanya sedikit penasaran. “Ah, itu Pak Rayden. Presdir di perusahaan ini. Kenapa memangnya? Terpesona?” kelakar Ayu terkekeh kecil. Anya diam. Ia merasa tidak asing dengan wajah laki-laki itu. Seperti pernah melihatnya, tapi di mana? “Tapi kamu harus hati-hati dan jangan sampai membuat kesalahan sekecil apa pun di depannya,” bisik Ayu, nadanya merendah seakan takut seseorang mendengar. Anya langsung menatap heran. “Memangnya kenapa?” “Bos kita itu otoriter. Cara bicaranya tajam, dan dia tidak pernah mengulang dua kali kalau sudah memberi instruksi. Kemarin, ada karyawan baru langsung disuruh pulang dan tidak pernah kembali hanya gara-gara minuman tumpah sedikit ke sepatunya. Sederhananya, dia akan menyingkirkan siapapun yang melenceng dari standarnya. Dan katanya, itu bukan yang terburuk yang pernah dia lakukan pada karyawan. Ada yang lebih buruk lagi.” Anya menelan ludahnya mendengar itu. Ia kembali melirik laki-laki itu yang telah menghilang dari pandangan matanya. “Sebaiknya kita segera ke ruang kerja, pasti Bu Lidia sudah menunggu.” Ayu menarik pergelangan tangan Anya. Begitu sampai di ruangan tempat para pegawai cleaning servis berkumpul, Anya dan Ayu meletakkan tas mereka di loker yang disediakan. Terlihat tatapan tegas dan tajam seorang perempuan berumur. “Baik, semuanya sudah berkumpul?” Perempuan bernama Lidia menatap para pegawai baru di sini dengan sikap tegas, namun tetap ramah. “Saya akan menjelaskan tugas dan aturan selama kalian bekerja di sini.” “Tanggung jawab utama kalian adalah menjaga kebersihan area perusahaan,” lanjutnya, “dan bila diperlukan, kalian juga akan menjalankan job desk tambahan bila dibutuhkan.” Ia menyapu ruangan dengan pandangan serius.“Selama bekerja di sini, tidak ada yang boleh melanggar aturan. Disiplin adalah hal utama. Apa kalian mengerti?” “Mengerti, Bu!” Serentak semua orang menyahut. Anya terlihat bersemangat dan tampak siap dengan pekerjaan di hari pertamanya. Ia menyapu pandangan ke sekitar, memperhatikan beberapa pegawai baru lainnya. Dari cara mereka diterima tanpa banyak proses, ia bisa menebak perusahaan ini memang sedang sangat membutuhkan tenaga cleaning servis. Setelah pembagian tugas untuk para pekerja baru selesai, Anya mendapat jatah membersihkan lantai lima, tepatnya ruang rapat utama. Ia langsung ke sana bersama seorang cleaning service senior yang sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan itu. Baru beberapa menit mengepel, tubuhnya tiba-tiba terasa tidak nyaman, entah karna lelah, gugup, atau udara ruangan yang pengap. Tapi ia tetap bergerak, menyelesaikan bagian demi bagian. Sesekali matanya melirik ke arah Amel. Perempuan itu duduk santai di kursi pojok, memainkan ponselnya seakan shift hari ini bukan urusannya. Tidak ada sedikitpun niat membantu, padahal tugasnya jelas sama. “Kenapa melihatku seperti itu, huh?” Teguran tajam Amel membuat Anya tersentak, ia buru-buru kembali melanjutkan pekerjaannya. “Kamu di sini pekerja baru, jadi kerjakan semuanya dengan benar. Aku di sini cukup mengawasimu saja,” lanjutnya. Anya menghela napas pelan. Ia berusaha fokus dengan pekerjaannya tanpa memperdulikan perempuan itu yang bersantai-santai, sampai akhirnya ia selesai. Senyuman lega terpatri di wajahnya, setidaknya ia bisa istirahat setelah ini. Ketika Anya merasa pekerjaannya selesai dan ia bisa keluar dari ruangan itu, langkahnya tertahan. Amel berdiri di depan pintu, memandangnya dengan tatapan yang membuat kening Anya otomatis mengernyit. “Sekarang kamu turun dan bersihkan toilet karyawan di lantai bawah,” ucap Amel memerintah seperti bos. “Bukannya bu Lidia bilang tugasku hanya ruangan ini?” Anya mencoba memastikan. Amel mendengus kasar.“Denger, kamu itu anak baru. Jadi tugasmu ya ikut saja apa yang aku bilang. Bersihkan toilet itu sekarang. Cepat! Sebelum jam makan siang selesai.” Anya ingin protes tapi ia tak mampu melakukannya, karna sadar ia baru bekerja di sini. Sebisa mungkin untuk tidak mencari masalah yang bisa saja membahayakan posisinya. Pada akhirnya ia hanya bisa menurut, membuat Amel tersenyum puas. Anya keluar dari ruangan itu dengan napas berat, bergegas menuju lift. Ia mencoba masuk ke lift pertama, tapi ruangannya sudah penuh. Beberapa karyawan langsung menunduk atau pura-pura sibuk, dan pintu lift tertutup begitu cepat seakan mereka sengaja tak memberikan ruang untuknya. Anya menelan rasa tidak nyaman itu dan beralih ke lift satunya. Begitu ia menekan tombol tutup, pintu yang hampir mengatup itu tiba-tiba tertahan. Seorang laki-laki masuk, gerakannya tegas, auranya kuat, dan jelas bukan karyawan biasa. Tubuh Anya langsung kaku. Ia melirik laki-laki itu sekilas, dan menangkap tatapan heran dari laki-laki itu seakan ia baru saja melakukan pelanggaran besar. “Ini lift khusus, kenapa kamu memakai lift ini?” Suara berat nan tajam itu membuat Anya mendongak menatap laki-laki itu yang juga memandangnya. Presdir. Laki-laki yang ia lihat di lobi tadi. Seketika perkataan Ayu langsung berdegung di telinganya, membuat rasa gugup dan takut menghimpit dadanya. Tamatlah dirinya. “Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau ini lift khusus.” Anya menundukkan kepalanya dan perlahan mundur ke belakang seakan menjaga jarak. Tetapi ia merasa laki-laki itu masih menatapnya, membuatnya semakin gugup dan tertekan dengan situasi mereka hanya berdua di sini. Anya mengusap matanya merasa pandangannya buram dan tubuhnya yang gemetar, tiba-tiba ia hilang kesadaran dan langsung jatuh pingsan ke lantai. Laki-laki itu tampak terkejut melihat Anya terbaring di lantai. Ia tidak langsung menolong melainkan menendang kecil sepatu yang perempuan itu kenakan. Seakan memastikan. “Bangun, jangan pura-pura pingsan di depan saya,” ucap Rayden, seakan menganggapnya hanya akting. Tetapi perempuan itu tak merespon apapun.Suara berisik yang mengganggu membuat Kevin yang tengah tertidur terbangun. Ia melirik ke kamar mandi dan melihat Anya baru keluar dari sana dengan wajah yang tampak pucat.Meskipun begitu ia memilih untuk kembali melanjutkan tidurnya, namun sentuhan lembut di lengannya membuatnya berdecak dan kembali membuka matanya.“Mas, kepalaku pusing. Bisa tolong pijat kepalaku sebentar. Aku juga muntah-muntah sejak tadi,” adu Anya dengan rengekan manja.“Tinggal minum obat kalau pusing, kenapa manja sekali!” Anya tampak terkejut dengan bentakan suaminya.”Mas, aku sedang hamil.”“Lalu, aku harus memanjakanmu begitu karna hamil?”Kevin memilih kembali tidur dan mengeratkan selimut di tubuhnya. Anya terdiam sambil menahan pedih dalam benaknya. Ia bangkit dan melangkah keluar sambil memegangi perutnya yang masih terasa bergejolak.“Kenapa Mas Kevin masih kasar padaku? Apa kehamilan ini tidak membuatnya bahagia?” gumamnya pilu. Anya berusaha menenangkan perasaannya dan segera melakukan kegiatan da
“Mas Kevin.” Suara Anya terdengar lirih dan hampir tak terdengar. Senyuman getir terbit di bibirnya yang pucat.“Aku datang ke sini bukan untuk pulang,” ucap Kevin sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Ia meletakkan map di tangannya ke meja.“Kamu harus tanda tangani surat cerai ini agar perceraian kita cepat diproses,” tekannya.“Mas… berapa kali aku bilang, aku tidak mau cerai. Mas, kan, tahu, aku hanya punya kamu. Aku tidak punya siapa-siapa selain Mas.”“Aku tidak peduli. Kamu tidak bisa memberikan apa yang aku inginkan, jadi lebih baik kita cerai. Ibuku pun mendukung keputusanku ini.”Anya tertunduk, tangannya menyentuh perutnya dan sesuatu terbesit dalam pikirannya.“Kalau aku bisa hamil, apa Mas tidak akan menceraikanku?” tanya Anya dengan suara gemetar.Kevin tersenyum meremehkan.”Yakin bisa hamil?”Anya berbalik dan melangkah masuk ke dalam toilet membuat Kevin mengernyit keningnya. Tidak lama perempuan itu kembali dan menyodorkan dua benda pipih yang dengan ragu Kevin ambi
Kelopak mata perempuan itu perlahan terbuka, samar-samar ia melihat bayangan dua orang yang tengah memperhatikannya. Begitu matanya terbuka sempurna, ia terkejut melihat dua laki-laki yang menatapnya dengan pandangan yang berbeda. Salah satunya laki-laki yang terakhir kali bersamanya di lift sampai akhirnya ia pingsan.Anya bangun dari pembaringannya di sofa, tapi tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Karna ia merasa lemas dan pusing.Ia kembali menatap laki-laki di hadapannya dan ruangan yang tampak asing baginya. Perlahan ia menundukkan kepalanya, tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Tapi ia ingin keluar dari tempat ini.“Kamu hamil.”Mata Anya membesar dan kembali mendongak menatap laki-laki bermata grey green itu.“Apa Anda sudah merasa gejala kehamilan ini sebelumnya? Atau dari minggu belakangan ini?” tanya laki-laki satunya, yang diyakini seorang dokter yang dipanggil datang ke sini.Anya memegang perutnya dan menggeleng lemah.”Saya tidak hamil.” Suara pelan dan hati-ha
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Anya datang lebih pagi ke perusahaan besar yang ada di pusat kota. Ia melangkah memasuki area perusahaan dan di sana ia melihat Ayu sudah menunggu dirinya.Ia tersenyum dan semakin mempercepat langkahnya.“Aku kira kamu akan datang lebih lambat dariku,” ucap Anya begitu sampai menghampiri Ayu.“Tentu saja tidak. Aku sengaja berangkat pagi saat tahu kamu hari ini masuk bekerja.”“Setelah ini apakah aku akan langsung melakukan tugasku?”“Tentu saja, biasanya setiap tugas akan diatur oleh leader yang akan mengawasi pekerjaan kita. Kamu tenang saja, pekerjaannya tidak berat.”Anya mengangguk. Mereka berdua pun masuk ke dalam perusahaan yang mulai ramai oleh karyawan yang berdatangan. Ketika Ayu menggiringnya memasuki lobi langkahnya terhenti ketika dua orang laki-laki melewati mereka berdua. Ayu membungkuk singkat pada dua laki-laki itu.Melihat itu, sejenak Anya memandangi wajah dua lelaki itu yang melangkah dengan ekspresi tegas dan datar. Hanya
Satu bulan kemudian…Anya dibuat gelisah dan semakin digantung oleh suaminya sendiri yang jarang pulang ke rumah, bahkan suaminya sudah menghentikan kiriman uang ke rekeningnya. Bagaimana bisa ia memenuhi kebutuhannya bila suaminya sendiri hilang entah ke mana.Untuk kesekian kalinya ia menelpon suaminya yang selalu tidak mengangkat. Ia menggigit ujung jarinya. “Mas, tolong angkat sebentar saja,” gumam Anya lirih.Semuanya sia-sia, beberapa kali ia menelpon, namun telponnya tidak pernah diangkat. Ia duduk di kursi dengan hati yang resah. “Aku harus bagaimana? Kenapa mas Kevin bersikap seperti ini padaku? Apa dia memang tidak ingin bersamamu lagi?”Anya menelungkupkan wajahnya di lipatan tangannya. Antara menangisi nasib dirinya dan sikap suaminya yang kejam.Bahkan uang simpanannya sudah mulai menipis, ia tidak mungkin hanya mengharapkan uang pemberian suaminya yang belum tentu akan memberikan uang bulan ini. Suaminya benar-benar berubah dan tentu setelah berhubungan dengan perempu
Alis laki-laki itu berkerut, tidak mengerti dengan keberanian perempuan di depannya. Namun, sebelum ia memulainya, bibir lembut itu tiba-tiba menyentuh bibirnya lebih dulu. Seketika darahnya berdesir, sensasi panas menjalar cepat ke seluruh tubuhnya.Ia terdiam, menahan gejolak yang mulai menguasai dirinya. Ada pergulatan di matanya antara menolak dan menjauh. Tapi pada akhirnya, godaan itu terlalu kuat. Ia menunduk, membalas kecupan itu dengan dalam, sementara Anya memejamkan mata, membiarkan pikirannya melayang membayangkan suaminya, lah, yang saat ini tengah mencumbu dan mengecupi lehernya.Kedua tangan Anya langsung membuka kancing laki-laki itu yang sibuk mencumbu dadanya. Ada rasa bahagia dalam benaknya seakan ia termakan mentah-mentah dengan halusinasinya sendiri. Ia terlalu merindukan sentuhan suaminya dan kenikmatan seperti ini.Sampai suara desahan keras tidak bisa Anya rendam ketika milik laki-laki itu menembus liangnya, besar dan sangat sesak dalam tubuhnya. Rasanya Anya







