Kirana duduk di tepi ranjang, memikirkan foto USG yang baru saja dilihat di dompet Dewan itu. Dadanya berdebar keras, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.
Apakah janin itu milik Yora? Namun dirinya masih belum percaya sebelum mendapati bukti yang lebih. Tetapi tidak mungkin kebetulan jika dia menemukan dokumen atas nama Yora di rumah sakit, lalu sekarang ada foto janin di rumah ini. Semakin Kirana mencoba mengabaikannya, semakin kuat perasaannya bahwa ada sesuatu yang besar sedang disembunyikan. Tangannya mengepal. Dia harus mencari tahu. Kirana berdiri dengan cepat, meninggalkan foto itu di atas meja sebelum melangkah keluar dari kamarnya. Ia berjalan dengan hati-hati, memastikan tak ada seorang pun yang memperhatikannya saat ia menuju kamar Yora. Kamar itu masih dibiarkan sama seperti saat Yora menghilang. Seolah keluarganya masih berharap Yora akan kembali kapan saja. Namun kini, bagi Kirana, ruangan ini bukan sekadar kamar kosong—melainkan tempat yang mungkin menyimpan kebenaran. Dengan hati-hati, Kirana membuka pintu dan masuk ke dalam. Aroma lembut lavender langsung menyerbu hidungnya, aroma khas kakaknya. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa memberinya petunjuk. Tatapannya terhenti pada meja kerja di sudut ruangan. Laptop. Jantungnya berdebar lebih cepat. Jika ada jawaban, kemungkinan besar ada di sana. Kirana melangkah cepat dan menyalakan laptop itu. Namun, layarnya menampilkan kotak password. Kirana menghela napas, lalu mencoba beberapa kombinasi yang terpikir olehnya. Tanggal lahir Yora? Salah. Tanggal lahir ayah dan ibu? Salah. Ia mengetik dengan frustasi. Semua kombinasi yang terpikir olehnya gagal. Kirana mengusap wajahnya. Otot-ototnya menegang karena rasa frustrasi. Jika saja dia tahu lebih banyak tentang kakaknya… Namun tiba-tiba, sebuah ingatan melintas di kepalanya. Dulu, saat Yora masih sering mengajaknya ke acara pesta, ia pernah membawa Kirana ke perayaan ulang tahun Dewan. Kirana tidak begitu tertarik dengan acara itu, tapi dia ingat melihat tanggal ulang tahun Dewan terpampang di dekorasi besar di dalam ruangan. 2 Desember. Tangannya gemetar saat ia mengetik 0212. Dan layar laptop itu terbuka. Kirana menahan napasnya. Dengan napas tertahan, ia mengklik folder galeri. Matanya melebar saat melihat isinya. Puluhan foto Yora dan Dewan. Foto-foto itu diambil di berbagai tempat—di kafe, di mobil, di pantai, bahkan di sebuah apartemen yang tidak dikenalnya. Kirana menelan ludah. Setiap foto memiliki satu kesamaan. Tatapan Dewan terhadap Yora penuh kasih sayang. Tidak seperti bersamanya yang selalu datar dan dingin. Mata Kirana terus bergerak, menggulir layar ke bawah. Foto-foto itu membuatnya bingung dan semakin bertanya-tanya tentang hubungan Dewan dan Yora yang sebenarnya. Sampai akhirnya… Ia berhenti pada satu foto yang membuat napasnya tercekat. Yora menangis. Namun, bukan tangisan kesedihan. Kakaknya tampak tersenyum bahagia sambil menunjukkan sesuatu ke arah kamera. Sebuah tespack dengan dua garis merah. Mata Kirana membesar. Dadanya terasa sesak. Jadi benar Yora hamil? Kirana tidak tahu berapa lama dia duduk di sana, menatap foto itu. Hari ini ia menemukan terlalu banyak fakta mengejutkan, dan otaknya berusaha mengolah semuanya dengan cepat. Jika Yora benar-benar hamil, apakah itu alasan dia menghilang? Dan jika benar… Sudah dipastikan anak itu adalah anak Dewan. Sebelum Kirana sempat berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Ia tersentak, buru-buru menutup laptop dan berdiri. Suara langkah kaki itu semakin mendekat. Dari nada suara beratnya, Kirana bisa menebak siapa itu. Dewan. Ia mendengar pria itu berbicara entah dengan siapa. “Jangan bertindak gila!” “…” “Kamu pikir semuanya akan berjalan dengan lancar?!” “…” “Kenapa selalu menyalahkanku?” Suara Dewan terdengar jelas dan penuh kemarahan. Kirana menahan napas. “Dia marah sama siapa?” Hanya terdengar suara Dewan saja, Kirana menduga pria itu sedang berbicara dengan seseorang di ponselnya. Ia melangkah pelan ke arah pintu, menempelkan telinganya untuk mendengar lebih jelas. “Dengarkan aku, Yora.” Kirana membeku di tempatnya. Jantungnya berdetak kencang. Jadi, Dewan sedang berbicara dengan Yora?!Semua orang langsung kaget melihat foto-foto Dewan bermesraan dengan seorang perempuan yang muncul di layar proyektor. Ruangan yang tadi dipenuhi suara obrolan kini berubah sunyi. Tatapan para tamu undangan terpaku pada layar yang masih menampilkan beberapa foto dengan sudut yang berbeda. Beberapa orang mulai berbisik. “Loh kenapa ada foto Alana sama Mas Dewan?” “Mana segala meluk tangan Mas Dewan lagi…” “Alana emang terlalu manja sampai lupa Masnya mau nikah, nggak baik sedeket itu. Semua ada batasannya,” celetuk salah satu Tantenya. Suara itu terdengar cukup jelas di telinga Kirana, membuatnya mengernyit bingung. Alana? Apa gadis yang ada di foto itu bernama Alana? Ia menoleh ke arah Dewan, mencari reaksi pria itu. Dan benar saja, ekspresi Dewan berubah drastis. Sorot matanya tajam dan rahangnya mengatup rapat. Dewan dengan cepat memanggil panitia acara. Dengan suara yang dalam dan dingin, ia bertanya, “Siapa yang mengganti tampilan di layar?” EO yang mengatu
Kirana masih terpaku di tempatnya, menatap ke sekeliling lantai mall dengan mata nanar. Dia yakin tadi melihat sosok yang sangat mirip dengan Yora. Rambut panjang yang diikat rendah, postur tubuh yang tidak asing, bahkan caranya berjalan sekilas mengingatkannya pada sang kakak. Tapi sekarang, sosok itu menghilang, seakan tertelan keramaian mall. Jantung Kirana berdegup kencang. Bisa jadi itu hanya bayangan semata, tapi nalurinya berkata lain. Dia tidak mungkin salah lihat. Kakaknya yang sudah lama menghilang, tiba-tiba muncul begitu saja di tengah keramaian mall? Atau ini hanya kebetulan? Kirana menggigit bibirnya, lalu dengan tekad bulat ia mulai berjalan cepat, menelusuri setiap sudut mall. Mungkin Yora masuk ke salah satu toko? Atau naik ke lantai lain? Tanpa membuang waktu, ia menaiki eskalator dengan langkah tergesa-gesa, menyisir tiap sudut dengan saksama. Berkali-kali ia mengamati wajah-wajah orang yang lewat, berharap menemukan sosok yang tadi dilihatny
Keesokan harinya, Kirana terbangun dengan rasa pening yang menggelayuti kepalanya. Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul 11 pagi. Matanya sejenak terbelalak, menyadari sudah seharian lewat. Rasa kantuk masih menyerangnya karena semalam ia begadang menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk. Ia menghela napas pelan dan dengan malas bangkit dari tempat tidur. Meskipun hari itu libur, Kirana merasa tidak bisa menikmati waktu untuk dirinya sendiri. Ia melangkah ke kamar mandi dan mencuci wajahnya, mencoba menyegarkan diri. Namun begitu ia turun ke ruang tamu, sebuah suara sinis langsung menyapanya. “Kamu baru bangun?” suara Tatie terdengar tajam, seakan menghakimi. Kirana menahan napas dan mengusap matanya, sedikit merasa terganggu. Di hadapannya, Tatie duduk di sofa dengan tatapan tajam, menilai penampilannya. Rambut Kirana masih acak-acakan, dan wajahnya jelas masih lelah karena begadang semalam. Sial. Kirana tidak menyangka kedatangan Tatie, ibunya Dewa! “Kenap
Keesokan harinya, Kirana masih teringat jelas percakapan malam sebelumnya. Suara Dewan yang marah dan kata-katanya yang penuh amarah membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Kenapa Dewan bisa berbicara dengan Yora? Bukankah ia mengatakan bahwa ia tidak tahu apa-apa soal hilangnya Yora? Kirana merasa semakin bingung dan curiga. Apa yang sebenarnya terjadi antara Dewan dan kakaknya? Pagi itu, mereka duduk di restoran Cina yang cukup ramai, tapi Kirana hanya bisa melamun, berusaha mengusir rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Dewan tampak tenang, namun ia tahu pria itu sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Kirana sesekali melirik pria itu, mencoba mencari tanda-tanda atau petunjuk dari gerak-gerik Dewan. Namun, tak ada yang mencurigakan. Dewan hanya sibuk dengan ponselnya, menikmati makanan dengan sikap yang sama sekali tidak mengindikasikan sesuatu yang mencurigakan. Namun, ketika ponsel Dewan berdering, Kirana langsung memperhatikan. Pria itu menatap layar ponselnya
Kirana duduk di tepi ranjang, memikirkan foto USG yang baru saja dilihat di dompet Dewan itu. Dadanya berdebar keras, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban. Apakah janin itu milik Yora? Namun dirinya masih belum percaya sebelum mendapati bukti yang lebih. Tetapi tidak mungkin kebetulan jika dia menemukan dokumen atas nama Yora di rumah sakit, lalu sekarang ada foto janin di rumah ini. Semakin Kirana mencoba mengabaikannya, semakin kuat perasaannya bahwa ada sesuatu yang besar sedang disembunyikan. Tangannya mengepal. Dia harus mencari tahu. Kirana berdiri dengan cepat, meninggalkan foto itu di atas meja sebelum melangkah keluar dari kamarnya. Ia berjalan dengan hati-hati, memastikan tak ada seorang pun yang memperhatikannya saat ia menuju kamar Yora. Kamar itu masih dibiarkan sama seperti saat Yora menghilang. Seolah keluarganya masih berharap Yora akan kembali kapan saja. Namun kini, bagi Kirana, ruangan ini bukan sekadar kamar kosong—melain
Kirana berjalan melewati lorong rumah sakit dengan pikiran yang berantakan. Kata-kata Arya terus terngiang di kepalanya. Pikirannya terus melayang memikirkan, anatara Yora dan Dewan. Potongan-potongan itu seperti puzzle yang belum tersusun dengan jelas di kepalanya. Yora menghilang tanpa jejak, dan kini tiba-tiba muncul fakta bahwa ia pernah berada di rumah sakit bersama Dewan. Apa hubungan mereka sebenarnya? Kirana mencoba mengabaikan pikirannya dan tetap berjalan, tapi langkahnya terhenti ketika tubuhnya menabrak seseorang. Bruk! Seorang suster yang membawa kardus penuh dokumen terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan. Dokumen-dokumen yang berada di dalam kardus itu berhamburan ke lantai. “Astaga, maaf!” Kirana buru-buru berjongkok, membantu suster itu mengumpulkan dokumen-dokumen yang berserakan. Suster itu tampak terburu-buru, tapi ia tetap tersenyum ramah. “Tidak apa-apa.” Kirana sedang meraih beberapa dokumen ketika matanya menangkap sesuatu yang membuatny