Share

Lipstik Dalam Saku Celana

Aaron berdiri menatap ke arah jendela ruangannya. Kedua matanya menatap jauh ke arah langit yang begitu cerah pagi itu. Batin dan pikirannya melayang ke kejadian kemarin. Wajah cantik wanita yang tanpa sengaja ditabraknya kemarin begitu membekas diingatannya.

Lamunannya buyar begitu mendengar suara ketukan pada pintu ruangannya.

“Masuk!” perintah Aaron pada seseorang yang berada dibalik pintu ruangannya.

Aaron membalikkan tubuhya begitu mendegar suara langkah yang berjalan masuk ke arahnya.

“Sudah kamu temukan siapa wanita itu?” tanya Aaron dengan serius.

“Sudah, Pak. Ini semua identitas dan foto yang telah kami temukan.”

Aaron mengambil beberapa berkas dari tangan sekretarisnya itu.

“Kamu tidak salah orang kan? Sudah kamu periksa benar-benar nomor polisi mobil yang saya berikan kemarin?”

“Sudah, Pak.” Sekretarisnya menganggukkan kepalanya dengan yakin. “Silahkan bapak cek dulu foto yang ada di dalam, apakah benar dia yang bapak cari.”

Aaron membuka berkas itu dan mengambil lembaran foto wanita yang ada di dalam. Wajah seriusnya berubah sumringah begitu melihat wajah cantik yang begitu mirip dengan yang ada di pikirannya sejak tadi.

“Benar. Ini dia.” Aaron menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Dia seorang aktris dan juga model yang sedang naik daun saat ini.”

“Bagus! Segera hubungi managernya. Saya ingin dia yang menjadi pemeran utama film yang akan kita garap bulan ini.”

“Tapi kita sudah menghubungi artis lain untuk menjadi pemeran utamanya, Pak.”

“Ganti! Aku ingin dia yang menjadi pemeran utamanya bagaimanapun caranya!”

“Baik, Pak.”

“Silahkan kembali ke ruangan kamu. Lakukan perintah saya secepatnya.”

“Baik, Pak.”

Sekretaris Aaron menganggukkan kepalanya kemudian berjalan keluar dari ruangan Aaron.

“Film ini akan menjadi jalanu untuk bisa lebih dekat dengannya,” gumam Aaron dengan wajah yang sumringah.

Aaron segera mengambil ponselnya dan memasukkan kontak Dona yang di dapat oleh orang kepercayaannya itu ke dalam daftar kontak ponselnya.

***

Dona terbangun dari tidurnya. Dilihatnya Doni masih bergulung dalam selimut tanpa mengenakan sehelai benangpun disampingnya. Tatapan dingin Dona masih terus melekat pada tubuh lelaki yang semalam terus memuji dan memanjakannya. Tubuh lelaki itu tiba-tiba bergerak, membuat Dona tersadar dan dengan cepat berusaha beranjak dari tempat tidur itu. Namun sayang, gerakannya kalah cepat dengan tangan Doni yang sudah meraih lengan tangan Dona.

“Mau kemana sayang? Mana morning kissku?” ucap Doni manja dengan suara khas bangun tidurnya yang seksi.

“Aku mau ke kamar mandi dulu sayang. Sebentar ya nanti aku kembali lagi ke sini.” Dona dengan lembut menepis tangan Doni dari lengannya.

“Jangan lama, Oke?” Doni mengedipkan mata kanannya sambil tersenyum manis pada Dona.

Dona menganggukkan kepalanya kemudian segera beranjak menuju ke kamar mandi. Begitu pintu kamar mandi tertutup dan terkunci, Dona mengambil tisu toilet yang ada di dekatnya dengan membabi buta kemudian mengoyaknya sampai sangat kecil. Matanya telah basah dengan air mata yang tak bisa lagi di bendung.

Dona tergugu. Tubuhnya melemas seketika dan jatuh ke lantai. Di sandarkannya tubuhnya ke dinding.

“Maafin  Dona ya, Bu. Dona terpaksa melakukan hal ini. Dona akan balaskan semua sakit yang kita rasakan dulu, bu.” Dona menahan suaranya agar tidak keluar. Salah satu tangannya menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.

Tidak lama kemudian terdengar seseorang membuka kenop pintu kamar mandi, membuat Dona terkejut. Dengan segera di bersihkannya potongan-potongan tisu yang ada di lantai dan memasukkannya ke dalam tempat sampah. Segera dibukanya pakaiannya dan memakai kimono mandinya.

“Sayang, are you okay?”

Terdengar suara Doni dari sisi luar pintu kamar mandi.

Fine, Honey,” teriak Dona dari dalam.

Setelah mengusap wajahnya dengan air agar memanipulasi sisa tangis di wajahnya tadi, Dona segera membuka pintu kamar mandi.

“Baru juga mau mandi,” jawab Dona sambil bersedekap di depan kamar mandi.

“Mandi? Barengan yuk.” Doni memeluk Dona sambil terus mencium leher jenjang nan Indah milik istri keduanya itu.

“Gak. Aku gak mau masuk angin terus. Kalau mandi bareng mas itu bakalan gak mandi-mandi.” Dona mendorong pelan Doni.

“Mas janji ini gak akan lama. Kali ini kita mainnya cepet.” Doni kembali memeluk Dona dengan erat.

“Janji?” Dona menatap Doni.

“Janji.”

Dengan cepat Doni menggendong Dona masuk ke dalam kamar mandi. Teriakan yang diikuti tawa renyah terdengar dari mulut Dona begitu tubuhnya diangkat oleh tubuh tinggi nan atletis Doni. Beberapa menit kemudian terdengar suara desahan yang bersahut-sahutan dari dalam kamar mandi diikuti bunyi air dan peraduan yang bertubi-tubi.

Sejam kemudian, Dona dan Doni keluar dari dalam kamar mandi dengan memakai handuk dan kimono mandi mereka masing-masing.

Dona duduk di depan meja riasnya dan mulai mengeringkan rambutnya yang basah.

“Kenapa, Mas?” tanya Dona yang bingung melihat ekspresi serius di wajah Doni dari pantulan cermin meja riasnya.

“Jihan nelpon rupanya dari tadi. Sampai 20 panggilan tak terjawab,” jawab Doni.

“Telpon balik aja, Mas,” ucap Dona sambil terus mengeringkan rambutnya yang basah dengan alat pengering rambut.

“Sayang, boleh gak mas minta tolong pengering  rambutnya dimatikan dulu sebentar? Hanya selama mas menelpon Jihan saja,” pinta Doni.

“Oke.” Dona mematikan alat pengeringnya dan meletakkannya di atas meja.

Thank you Honey,” ucap Doni.

Doni segera menghubungi Jihan. Belum selesai satu deringan, Jihan sudah mengangkat panggilan teleponnya.

“Halo sayang, tadi kamu menelpon ya? ada apa?” tanya Doni lembut pada istri pertamanya itu.

Terdengar suara jawaban dari dalam ponsel Doni. Walaupun terdengar tidak jelas, namun Dona sudah bisa menebak topik apa yang sedang di bicarakan oleh Jihan pada suaminya.

“Baik sayang. Kamu tunggu ya, sebentar lagi mas pasti pulang,” ucap Doni setelah mendengarkan Jihan bicara panjang lebar di telepon.

Ponsel Doni menyala, pertanda panggilan telepon sudah diputuskan oleh Jihan. Doni menarik napas dengan kasar.

“Mbak Jihan marah lagi?” tanya Dona.

“Ya begitulah. Entah kenapa dia selalu menuntut dan marah-marah. Beruntungnya mas punya istri sebaik dan sesabar kamu sayang.” Doni memeluk Dona dari belakang.

“Dulu Mas juga begitu tergila-gila kan dengan mbak Jihan?”

“Itu dulu. Jihan yang mas kenal dulu begitu berbeda dengan Jihan yang bersama mas sekarang. Sangat bertolak belakang,” Ucap Doni tepat di ssamping telinga Dona.

“Jadi aku hanya pelampiasan kekecewaan Mas terhadap mbak Jihan?” Dona dengan cepat mendorong Doni agar menjauh darinya kemudian berdiri menjauh.

“Bukan begitu sayang. Mas mencintaimu setulusnya. Sejak awal kita bertemu, mas sudah merasa kalau kamulah yang selama ini mas cari. Kamu memang takdir yang tepat untuk mas.” Doni kembali mendekati Dona.

Dona membalikkan tubuhnya dan tersenyum sinis.

“Kamu percayakan dengan Mas?” Doni memeluk Dona dari belakang.

Dona menganggukkan kepalanya membuat Doni menghelakan napas lega sambil tersenyum dan memeluk tubuh Dona dengan erat.

“Oh iya mas, kalau tidak salah tadi aku lihat cincin mas di kamar mandi. Mbak Jihan bisa marah kalau tahu mas tidak memakainya nanti,” ucap Dona.

“Astaga iya.” Doni melihat ke arah tangannya.

“Sana ambil. Nanti kelupaan loh.”

Doni dengan segera berjalan menuju kamar mandi. Selagi Doni di kamar mandi, dengan cepat Dona memasukkan lipstiknya ke dalam kantong celana yang akan di pakai oleh Doni. Bertepatan dengan itu, Doni keluar dari kamar mandi dan berjalan mendekati Dona.

“Kok cincinnya gak ada sih? Sudah mas cariin tadi.”

“Ah masa? Perasaan tadi ada kok disana,” jawab Dona.

“Kamu ngapain pegang celana, Mas?”

“Tadi gak sengaja aku duduki, Mas. Terus aku ngecek apa celananya kusut atau gak. Kan mas itu publik figur yang sanagt terkenal. Kalau ada yang lihat mas pakai pakaian yang kusut di luar kan bisa merusak citra keartisan mas.”

“Kamu memang istri yang sangat perhatian.” Doni menyentuh pelan ujung hidung Dona.

“Mas pakai dulu celananya, biar aku lihat cincinnya di kamar mandi.” Dona menyerahkan celana yang sedang di pegangnya pada Doni.

Setelah memastikan Doni memakai celana itu barulah Dona berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

“Kok gak ada ya mas? Perasaan tadi ada disana deh,” ucap Dona sambil keluar kembali dari kamar mandi.

“Gak ada kan? Mas juga tadi nyari loh. Dimana ya cincin itu? Bahaya kalau mas pulang tanpa cincin itu di jari mas.”

“Oh itu mas.” Dona menunjuk ke atas meja nakas yang ada di dekat tempat tidur.

“Kok bisa ada disana ya?”

“Mas lupa kali. Nih buruan pakai.”

Doni mengambil cincin itu dari tangan Dona kemudian memakainya.

“Untunglah ketemu. Terima kasih ya sayang.” Doni mencium puncak kepala Dona.

Dona menatap Doni sambil tersenyum.

“Besok Mas akan ke Singapura selama tiga hari. Mas ada pertemuan kerjasama pembuatan drama asia di sana,” ucap Doni sambil mengelus lembut rambut hitam nan halus Dona. Menyingkirkan setiap anak rambut yang menutupi kening putih nan mulus Dona.

“Mas pemeran di drama itu?”

“Nggak. Mas produsernya, Sayang. Kalau Mas pemerannya, sudah pasti kamu lawan main Mas di sana.”

“Kenapa aku nggak didapuk menjadi pemeran film itu sih mas? Aku kan juga ingin merambah ke film internasional.”

“Mas nggak ikhlas kalau kamu main dengan aktor selain Mas, Dona. Mas nggak sanggup melihat bibir lembut nan ranum ini dikecup oleh pria lain.” Doni mendekatkan wajahnya hendak mencium Dona.

Dengan cepat Dona memundurkan tubuhnya, menolak bibir yang mendekat hendak meraup bibirnya itu

“Jangan mulai lagi, Mas. Mbak Jihan sudah menunggu. Aku tidak ingin ada cakaran lagi di tubuh Mas karena amarah Mbak Jihan.”

Doni terkekeh mendengar ucapan Dona sambil menganggukkan kepalanya.

“Baiklah kalau begitu. Mas pulang dulu ya, Sayang. Kamu baik-baik di sini. Jangan coba-coba nakal!”

Dona hanya menyunggingkan sebuah senyuman sambil mengantarkan Doni keluar dari dalam apartemennya.

“Selamat overthinking malam ini, Jihan. Hidup dalam kecurigaan dan rasa khawatir itu benar-benar menyiksa,” gumam Dona sambil tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status