"Memangnya kita tidak boleh melakukannya lagi? Lily 'kan tidur sama kita. Sudah beberapa hari aku tidak bisa tidur nyenyak tiap malam. Kenapa memangnya kalau dia tidak bisa tidur juga di siang hari?" Erick merengut kesal. "Memangnya kamu tega?" Kae memutar tubuhnya melirik sang suami di belakang sambil memegangi tangannya yang melingkar di pinggang rampingnya."Ya, enggak ... tapi kapan?" Pria itu menunduk. "Bagaimana kalau Abang buat kamar bayi? Mungkin Abang harus merelakan ruang kamar yang di sebelah untuk dipasang interkom.""Mmh, benar juga ya? Jadi kita bisa punya privasi lagi. Kamu juga butuh babysitter, Sayang. Aku gak mau kamu kecapean ngurusin Lily dan tetap bisa terus penulis."Kae mengangguk. Sang pria mengeratkan pelukan. "Kae, terima kasih. Kau mau mengurus Lily." Pria itu menempelkan wajahnya di samping wajah sang istri sambil memeluk bahunya mesra. Kae bersandar dengan nyaman di da da bidang sang suami. Begitu hangat. Ia kini tak mau terlalu meributkan bagaimana hid
Wanita itu belum juga bicara. Erick pun tak bisa berkonsentrasi karena Lily menarik-narik bajunya. "Aduh anak papa. Coba dengerin dulu, Mama mau bicara."Entah kenapa, bayi Lily berhenti menarik baju sang ayah. Ia kini menatap ke arah ibu angkatnya. Erick dibuat heran. "Tuh, lihat! Anakmu sedang mendengarkan.""Eh ...." Dari wajah sang istri, terlihat ia berat untuk menceritakan. "Katakan saja, Sayang. Kalau pun ini sulit, kita hadapi ini sama-sama."Kae akhirnya mulai bercerita. "Dua tahun lalu, seharusnya aku menikah. Ayah sudah menjodohkan aku dengan anak teman bisnisnya. Saat itu aku bilang aku ingin menikah dengan pilihanku, tapi waktu itu aku tidak punya calon sama sekali. Ayah meledek, kalau aku takkan sanggup mencari sendiri bahkan sampai dua tahun ke depan karena ia tahu, aku introvert. Aku sangat jarang ke luar rumah atau bahkan bergaul dengan teman-temanku. Bukan berarti aku tidak bisa bergaul tapi aku lebih nyaman di rumah. Mendengar tantangan itu, aku menyambutnya. Aku
"Amin."Sebentar kemudian mereka ramai melihat bayi Lily minum sussu botol. Erick pun juga mulai mengobrol dengan ayah tiri Kae. Mereka bahkan melanjutkannya hingga makan siang. "Kenapa ibu memanggil Kae 'Mila'? Kenapa Imam tidak?" tanya Erick pada istrinya. "Karena itu hanya panggilan dari orang tuaku saja." Terang Kae sambil mengunyah. "Oh, Imam tetangga kita di Lampung?" Ibu ikut bicara."Iya. Aku ketemu Imam di rumah sakit. Dia ikut dosennya dan ketemu Abang juga di sana.""Oh, dia belum lulus kuliah?""Belum, Bu. 'Kan ambil kedokteran.""Oh, begitu." Ibu melihat Kae lekat. "Kapan kamu akan bilang pada ayahmu?"Kae terlihat bingung. Ia memutar kepalanya menatap sang suami yang duduk di sampingnya. Ia tak bisa memutuskan. "Secepatnya," sahut Erick mantap. Setelah beberapa saat, Kae pamit. Ibu dan keluarga kecilnya mengantarkan tamunya keluar. Erick sempat bersalaman dengan Yudhi yang masih malu-malu padanya. Pria itu mengusap kepala adik istrinya itu dengan lembut. "Cepat besa
Erick menoleh ke dalam rumah. Ia melihat Kae berada di lantai atas bersama dua pria yang menculiknya tadi. "Kae ...." Pria itu memutar kepalanya kembali ke arah ayah Kae. "Pak, sebenarnya kami mau ke sini setelah berkunjung ke rumah ibu Mila tapi Bapak langsung membawa lari Kae ... eh, Mila ke sini, jadi terpaksa kami menyusul.""Kenapa kalian menikah tanpa restuku? Apa yang kalian sembunyikan?" Pandangan ayah Kae terlihat sinis. "Itulah kenapa kami mendatangi kalian berdua. Ibu dan Bapak.""Maksudmu?" Mukid mengerutkan keningnya. "Mantan istriku juga tidak tahu?""Bisakah kita masuk ke dalam dan bicara baik-baik?"Pria paruh baya itu kini mengerut alias, tanda tidak senang. 'Berani-beraninya dia menyuruhku masuk ke dalam rumah. Apa dia tidak takut pada wajahku yang galak ini? Mmh, hebat juga Mila memilih laki-laki. Dia punya jiwa kepemimpinan, tapi sayang ... dia hanya setan! Iblis yang menggoda keimanan keluargaku!'Walau begitu Mukid masuk ke dalam bersama dengan Erick dan babysit
"Hasilnya nanti akan keluar 10 hari lagi ya, Pak," sahut suster yang tersipu-sipu melihat ketampanan aktor yang sudah lama tidak terdengar kabarnya ini. "Oh, iya. Terima kasih, Sus.""Sama-sama." Suster itu melirik Kae yang tengah diambil sampel darahnya. Ia juga melirik Lily. "Eh, itu istrinya ya, Pak?""Iya, itu istri Saya.""Oh, Bapak sudah nikah ya?"Tiba-tiba ayah Kae mendekat. Ia terganggu melihat Erick beramah tamah dengan suster itu. Ia berdehem sedikit keras membuat suster itu ketakutan. Apalagi melihat wajah sangar Mukid. Setelah itu Erick mengajak makan di kantin. Namun Mukid terlihat tidak senang karena melihat pria bule itu santai saja bersamanya, seakan-akan ia telah menerima bule itu sebagai menantunya. "Hei, kenapa kamu seakan tidak merasa ada masalah di antara kita!" ucapnya kesal. "Oh, jadi aku harus bagaimana?" tanya Erick bingung. "Aku lapar.""Huh, benar-benar tamu tak tahu malu! Lain kali, kau tanyakan dulu padaku karena aku adalah tuan rumahnya!" "Oh, begitu
"Ini 'kan kamar putriku!" Mukid tak kalah sewot. "Tapi putrimu sudah menikah, Pak. Tolong, lain kali ketuk pintu kalau mau masuk.""Ini rumahku sendiri, kenapa aku harus mengikuti peraturanmu, heh!" Pria paruh baya itu gemas sendiri. Ia bergerak ke pintu tapi kemudian kembali. "Aku sebenarnya ingin mengajak kalian sholat Subuh berjamaah di bawah tapi sudahlah ...." Ia kembali pergi. "Eh, Pak!" panggil Erick. "Kami akan turun. Kita akan sholat berjamaah bersama. Tunggu saja."Mukid yang mendengar itu kemudian keluar dan menutup pintu. Ia dongkol karena sempat melihat tubuh atletis pria muda itu. 'Tubuhnya membuatku merasa semakin tua saja. Huh!'Hampir setengah jam pria paruh baya itu menunggu dan akhirnya keduanya menyusul turun. "Ini sudah hampir terang, ya!" sindirnya. "Maafkan kami, Pak." Erick melirik istrinya yang menunduk. Ia sudah selesai mandi dari tadi tapi karena menunggu Kae mengeringkan rambut .... "Eh, biar aku yang jadi imam di depan.""Apa kau bisa?" Mukid menatap
Mobil mendatangi kerumunan pegawai yang sedang mengumpulkan kelapa sawit yang sudah dipottong. Mereka memasukkannya ke dalam truk bak terbuka di bagian belakang. Truknya lumayan besar tapi isi di bak terbuka itu sudah penuh hingga membumbung tinggi ke atas. Mukid dan Erick turun sedang bodyguard pria paruh baya itu menepikan mobilnya di samping. Ayah Kae berdiri di belakang truk dan memeriksa muatan. "Hei, ini tutupnya gak bener ini! Coba betulin lagi. Nanti kalau lepas bisa membahayakan orang lain."Baru saja pria itu bicara, seorang pegawai yang berpakaian santai, mencoba membetulkan penutup bak belakang dari samping. Namun alih-alih terkunci, penutup itu malah terbuka karena terdorong isinya yang banyak, sehingga tumpukan kelapa sawit itu menimpa Mukid. "Ah!!"Erick yang berada dekat situ sempat menghindari tapi ia tak sempat menyelamatkan sang mertua. "Pak!"Para pekerja yang berada di sana terkejut. Mereka semua berusaha menolong pemilik kebun itu dengan menepikan kelapa sawit
"Tidak apa-apa, Sayang. Bapak hanya luka ringan saja, tapi ternyata dia juga punya darah tinggi. Jadi dokter menyarankan untuk istirahat di rumah sakit sampai darah tingginya turun. Itu saja." Erick berusaha meredakan ketakutan sang istri. "Bener Ayah gak papa, Bang?" tanya Kae memastikan. Ia masih meletakkan ponselnya di samping telinga dan menoleh pada bayi Lily dalam gendongan babysitter yang sedikit rewel. "Lily dari tadi gelisah terus. Badannya panas. Biar aku bawa ke rumah sakit saja sekalian tengok Ayah.""Eh, Kae ...." Pria bule itu menegakkan tubuhnya, tapi sambungan telepon telah ditutup. Ia segera mematikan ponselnya dan menatap asisten sang mertua. "Maaf, Diki. Istri Saya mau ke rumah sakit. Aku harus mendampinginya di sana.""Oh, baik, Pak."Erick berdiri dan segera keluar dari ruangan. Ia bergegas ke rumah sakit dan masuk ruang perawatan Mukid, di mana Kae telah duduk di sana sambil meratapi sang ayah yang sedang sakit. Mukid diam membisu. Ia bingung menghadapi sang ana