Di hari ulang tahun pernikahan mereka, suami Tyas tidak pulang dan pria itu rupanya tengah berselingkuh dengan mantan kekasihnya saat SMA. Bahkan pria itu menduakan Tyas dengan menikahi mantan kekasihnya tersebut! Tyas menolak, tapi ia tidak ingin mundur dan membiarkan Iqbal menikmati segala kemewahan dan jabatan yang kini ia miliki bersama si istri kedua. Ia bertahan sembari menyusun rencana pembalalsan. Karena apa yang Iqbal miliki saat ini adalah berkat Tyas, yang diam-diam adalah pemilik dari perusahaan tempat Iqbal bekerja saat ini!
View MoreBab 1. Berkhianat.
[Tyas, ini Iqbal suamimu kan?] Sebuah pesan masuk dari Amel sahabatku, di susul satu pesan berikutnya sebuah foto. Aku langsung mengunduh foto yang dikirimkan Amel. Netra ini membeliak sempurna menatap foto yang Amel kirimkan, reflek aku membekap mulutku sendiri dengan telapak tangan karena terkejut. Sebuah foto yang menunjukkan Mas Iqbal tengah merangkul pundak seorang wanita di pelataran sebuah gedung. Gawaiku kembali berdering. Amelia menelpon. "Sudah lihat? Itu aku lihat mereka di depan hotel Cempaka kemarin sore. Tadinya aku pikir itu kamu, udah siap mau kupanggil lho! Eh, ternyata pas aku perhatikan itu bukan kamu, jadi aku nggak jadi manggil." Amel menjelaskan. Sedangkan aku masih terdiam, otakku sibuk mencerna, siapa wanita itu? Mas Iqbal jalan sama wanita lain? Ya Tuhan, apa suamiku selingkuh? "Yas! Kamu denger aku kan?!" "Hah, iya aku denger kok. Kamu tahu wanita itu siapa? Saudara atau kerabat Iqbal mungkin?" Aku menggeleng. Aku belum pernah melihat wanita sebelumnya. "Nggak. Kalau saudara Mas Iqbal aku rasa bukan, Aku belum pernah melihatnya sebelumnya." "Terus siapa dong? Apa jangan-jangan Iqbal selingkuh Yas?" Pertanyaan Amel membuatku tersentak. Bagai di tusuk belati tajam, rasanya sakit tak terkira, laki-laki yang amat kucintai ternyata diam-diam memiliki wanita lain. Melihat perubahan sikapnya sebulan belakangan ini ... Apa mungkin? Tidak. Tidak! Itu tidak mungkin! Mas Iqbal tidak mungkin nyakitin aku. Walau hati ini cemas dengan prasangka ke arah sana. Tapi otakku seakan tak terima dan berusaha menepis semua itu. "Nggak mungkin Mas Iqbal selingkuh Mel. Dia itu sayang banget sama aku." Aku mengelak. Lebih tepatnya aku seakan menghibur diriku sendiri. "Ya, bisa aja kan! Apalagi sekarang Iqbal bukan lagi Iqbal yang dulu, sekarang Iqbal sudah punya jabatan! Perempuan mana yang sanggup nolak pesona laki-laki mapan! Ya kan! Apalagi, pas kemarin aku lihat mereka jalan rangkulan gitu, mesra banget Yas! Suerr! Kalau hanya teman atau saudara aku rasa nggak akan semesra itu, Yas. Semalam Iqbal pulang jam berapa?" Aku meneguk saliva dengan susah payah. Semalam memang Mas Iqbal nggak pulang, itu artinya dia nginap di hotel sama perempuan itu? Hatiku sudah seperti di cabik-cabik, membayangkan apa yang dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan di dalam kamar hotel "Semalam dia nggak pulang Mel," sahutku dengan suara bergetar. "Nah kan! Pasti dia nginep di hotel Cempaka sama tuh cewek Yas!" Astaghfirullah! Mas benarkah kamu setega ini sama aku Mas? Aku menunggumu semalaman di rumah, tapi justru kamu enak-enakan sama perempuan lain. Aku pejamkan mataku erat, menahan sesaknya rasa menghimpit di dada. "Saran aku kamu selidiki dulu, aku tahu kamu orangnya seperti apa. Kamu itu kan nggak akan percaya kalau belum lihat sendiri buktinya." Aku mengangguk. Meski Amel di sana tak melihatku. "Entahlah Mel, aku bingung, antara percaya dan enggak, benarkah Mas Iqbal sejahat itu sama aku," ucapku parau. "Haissh, Tyas ! Nggak usah bingung-bingung! Gini aja, Hotel Cempaka itu tempat kerja Om Rudi, dia Manager di sana. Nanti aku minta tolong sama dia untuk cek apa benar Iqbal check in di sana apa nggak. Kalau iya, kamu bisa susulin dia kesana. Dan pergoki mereke secara langsung." Aku masih diam. Entahlah belum apa-apa rasanya tubuhku sudah lemas, mencium bau-bau perselingkuhan Mas Iqbal dengan perempuan lain. Lagi kupejamkan mata ini erat-erat, mencoba menguatkan hati. Bersamaan dengan air mata yang luruh tanpa permisi. "Oke ya! Gitu aja ya! Dah kamu tenang. Nanti aku kabarin lagi kalau udah tahu informasi selanjutnya." "Makasih Mel!" Panggilan selesai. Aku duduk di kursi yang seharusnya kami duduki malam tadi untuk makan malam bersama Mas Iqbal. Niat hati hendak membereskan semua makanan ini, tapi tiba-tiba aku malas mengerjakan apapun. Tulang dan persendian rasanya lemas. "Benarkah kamu bermain api di belakangku Mas?" Aku bermonolog dengan suasana hati yang sulit tergambarkan. Apa kurangnya aku selama ini Mas? Aku berusaha mengimbangi kamu, aku sudah melakukan banyak hal hingga kamu berada di titik ini. Tapi apa ini balasannya untukku? Aku menggeleng cepat. Aku tak terima jika benar kamu selingkuh di belakangku, Mas! Aku akan buat perhitungan. Enak saja, saat masih jadi karyawan biasa kita jalani sama-sama sekarang kamu sudah punya jabatan mulai banyak tingkah! [Gimana Mel! Sudah kamu tanyakan sama Om kamu belum?] Aku mengirim pesan pada Amel, rasanya tak sabar menunggu informasi darinya. [Bentar ya. Ini lagi di cek.] Aku menunggu dengan gelisah. Beberapa menit berlalu begitu ada notifikasi pesan masuk dari Amel aku buru-buru membukanya. Amel. [Benar Yas. Iqbal menginap di sana. Ini datanya.] Sebuah pesan disertai foto layar komputer, yang berisi data tamu. Tertulis nama Mas Iqbal sudah check in di sana terhitung dari hari kemarin jam lima sore. Aku menggenggam erat ponselku, tanpa sadar telapak tangan kiriku terkepal sempurna hingga buku-buku jari ini memutih karena menahan gejolak emosi yang tiba-tiba memuncak. Keterlaluan kamu Mas Iqbal. Aku menunggu kamu di rumah sampai lumutan, ternyata kamu sedang bersenang-senang dengan gundikmu. Aku langsung menekan tombol panggil. Menelpon Amel. "Mel! Tolong bantu aku, supaya bisa punya akses masuk ke kamar hotel tempat Mas Iqbal menginap. Apakah Bisa?" "Bisa. Itu gampang. Om Rudi adalah orang kepercayaan sang pemilik hotel, jadi itu bisa di atur." Aku lega mendengarnya. "Oke. Kalau gitu aku siap-siap sekarang juga. Aku mau datangi mereka," ucapku tanpa ragu. Aku ingin lihat, apa Mas Iqbal masih bisa berkilah jika aku memergokinya secara langsung. Aku bergegas masuk ke kamar, mandi dan bersiap untuk ke Hotel Cempaka. Urusan membereskan makanan di belakang bisa kukerjakan nanti. Atau bisa meminta tolong Mbak Yanti, salah seorang tetangga yang kerap kali kumintai tolong untuk bantu-bantu jika aku memerlukan bantuan. Selesai bersiap aku langsung mengemudikan mobilku menuju ke hotel Cempaka. [Aku sudah di depan Mel] Sengaja aku mengajak Amel untuk ikut serta, biar ada saksi jika sewaktu-waktu dibutuhkan. [Sip. Tunggu bentar, aku sebentar lagi sampai.] Menunggu beberapa menit sampai Amel sampai, baru kemudian kami masuk ke dalam. "Om Rudi, ini Tyas, temenku yang tadi kuceritakan di telepon." Sampai di dalam area hotel, kami langsung masuk ke ruangan Om Rudi. "Oh. Saya Rudi." "Tyas." Kami berjabat tangan. "Saya sudah mendengar semuanya dari Amel, dan saya turut prihatin jika benar suamimu menginap di hotel ini bersama perempuan lain, padahal saat check-in mengakunya istrinya. Apa mau langsung menuju ke kamarnya? Tapi sebelumnya mohon maaf, saya mohon untuk tidak memantik keributan di area hotel. Bisa?" "Baik Om. Saya hanya ingin memastikan apa benar suami saya ada di dalam bersama wanita itu." "Iya saya mengerti. Kalau gitu mari ikut saya. Sebenarnya ini adalah hal privasi bagi tamu. Kalau saja Tyas bukan teman Amel, saya tak bisa bantu." "Sekali lagi terimakasih banyak Om Rudi, sudah berkenan bantu saya." "Iya sama-sama. Amel sudah seperti anak saya sendiri, jadi rasanya saya merasa bersalah kalau tak bisa membantu." "Makasih banyak ya Om." Amel menyahuti. Kami berjalan menyusuri lorong hotel sambil berbincang. Hotel Cempaka tidak begitu besar, entah apa yang ada di pikiran Mas Iqbal menginap di hotel ini. Tapi sekarang aku tahu jawabannya. Karena kalau dia menginap di hotel besar yang berbintang, tentu dia tak bisa membawa selingkuhan masuk. Kami bertiga terus berjalan, seiring dengan degup jantungku yang berpacu cepat. Hingga kami sampai di depan kamar 201. Om Rudi menatap aku Amel, lalu mengangguk. Tok! Tok! Tok! Om Rudi mengetuk pintu kamar. Lalu memberi kode padaku dan Amel untuk tidak berdiri tepat di depan pintu. Karena dari lubang intip mereka bisa melihat kalau yang datang adalah aku. Setelah beberapa saat menunggu. Terdengar suara kunci di putar. Ceklek. Pintu terbuka. Mas Iqbal menyembul dari balik pintu. pintu hanya di buka sedikit selebar tubuhnya. Di saat yang sama aku bergeser menunjukkan diri ke hadapannya. Jantungku seakan berhenti beberapa saat, melihat penampilan Mas Iqbal saat ini, ia bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek, rambutnya acak-acakan. Cukup membuatku paham, akan aktivitas apa yang baru saja dilakukan. "Ty–Tyas!" Mas Iqbal terkejut melihatku, kedua netranya melebar sempurna melihatku kini berdiri di. Wajahnya pucat pasi seolah melihat suatu hal yang menakutkan. "Ya, ini aku Mas. Kenapa? Kaget?" tanyaku, sambil menerobos masuk. Mendorong tubuhnya, membuat pintu hotel itu terbuka lebar dan aku berhasil masuk ke dalam. Amel mengekor di belakangku. "Tyas! Tunggu dulu tunggu! Kamu nggak bisa asal langsung masuk gini dong! Tyas!" Bersambung."Pergi dari sini aku bilang! Pergi!" Sentak Iqbal dengan suara menggelegar."Oke, oke, aku tak akan mengambil Rayyan darimu. Tapi satu hal yang ingin aku sampaikan. Bagaimanapun aku ini adalah ayahnya. Jadi aku bisa sewaktu-waktu kemari untuk menengoknya. Kau tak bisa melarangku, kalau itu terjadi maka aku akan membawanya pergi jauh darimu."Ucapan Juna terdengar seperti ancaman bagi Iqbal."Oke! Tapi jangan pernah kau katakan kau adalah ayahnya. Tunggu sampai saatnya tiba. Saat dia bisa mengerti semua keadaan ini."Juna mengangguk kemudian pergi.Dalam keheningan malam, Iqbal duduk sendiri di kamar Rayyan, memandangi anak itu yang tertidur pulas. Sekarang Rayyan mulai mau menginap di rumah itu dan tidur bersama Iqbal. Tentu saja itu sesuatu yang sangat membahagiakan bagi Iqbal."Aku telah mencintaimu sejak hari pertama aku melihatmu di dunia ini," bisiknya lirih. "Sekarang dan sampai kapanpun ... tidak ada yang bisa mengubah itu." Iqbal mengelus pelan rambut lebat bocah yang tengah
Iqbal menunggu dengan penuh rasa penasaran. Jantungnya berdegup kencang.Dan Hasilnya ... TIDAK COCOK. Rayyan bukan darah dagingnya.Iqbal tercengang. Dunia seakan runtuh seketika. Hatinya hancur. Ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua yang selama ini ia kira adalah kenyataan hidupnya, ternyata hanyalah ilusi. Amanda–wanita yang ia nikahi, ternyata telah menipunya. Namun yang lebih menyakitkan lagi, Rayyan anak yang selama ini ia anggap sebagai bagian dari dirinya, anak itu ternyata bukan anak kandungnya.Wajah Iqbal mendadak pucat. Ia masih seperti mimpi. Mimpi buruk yang membuatnya seperti kehilangan sebagian dari hidupnya.Meski ia berpisah lama dengan Rayyan karena dia di penjara, tapi dalam hatinya selalu menyakini bahwa Rayyan adalah permata hatinya. Dan sampai kapanpun dia tak merasa sendiri sebab ia punya anak. Tapi ternyata kenyataan berkata lain. Iqbal menggeleng, beberapa kali ia mengusap kasar wajahnya. Masih tak bisa terima dengan apa yang dikatakan dokter, tapi
Setelah menjalani masa hukuman di penjara selama beberapa tahun, Iqbal kembali ke dunia luar dengan segunung tantangan yang menantinya. Fauzan yang telah menjamin kebebasan untuk Iqbal. Iqbal tak pernah menyangka, orang yang dulu ia tolong, kini telah sukses dan bahkan bisa menolongnya keluar dari penjara. Iqbal sangat berterimakasih pada Fauzan.Bayangan suram masa lalunya membayang-bayangi langkahnya, tapi ia mencoba menghapus semuanya, memulai lembaran baru. Fauzan menjemput Iqbal dengan mobil miliknya. Begitu sampai di halaman rumah Iqbal terkejut Hasna tengah sibuk melayani beberapa pembeli."Hasna," ucap Iqbal dengan senyum tersungging di bibirnya.Bergegas ia turun dari mobil untuk menemui ibunya. Beberapa langkah sebelum sampai di teras toko, ia melirik ke arah pintu rumahnya. Harusnya ada ibunya yang menyambut kepulangannya di sana. Mendadak hatinya gerimis, mengingat kini ibunya sudah tidak ada lagi.Dulu ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu ada mendukungnya. Wala
Amanda duduk duduk di tepi ranjang kecil yang suram, memandangi jendela yang menghadap ke gang sempit di sudut kota Semarang.Diluar kehidupan kota samar-samar terdengar, namun jiwa wanita itu terasa hampa. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat dengan tatapan matanya kosong. Sisa kehidupan yang dulu penuh hingar bingar kini hanya menyisakan sebuah penyesalan yang tak tertahankan."Aku muak dengan semua kelakuanmu! Kamu hadapi semua ini sendiri! Aku nggak mau tahu! Ini kan buah dari semua perbuatanmu!" sentak Yusuf sore itu sebelum memutuskan untuk pergi ke Jakarta.Yusuf yang menjadi kakak tiri Amanda, merasa sudah capek menghadapi berbagai model orang yang datang menagih hutang pada Amanda.Yusuf seolah menjadi ATM bagi Amanda, seenaknya dia meminta kakaknya untuk membayar hutang-hutangnya.Yusuf pun merasa capek. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi dan berusaha bersikap masa bodoh dengan Amanda. Karena semakin di turuti keinginannya, Amanda semakin menjadi. Seolah makin banyak saja orang
Salah satu perawat yang tinggal tak begitu njauh dari rumah Hasna datang tergopoh, ia langsung mengecek kondisi tubuh Bu Wina yang dingin."Maaf, Ibu Wina sudah tidak ada," ucap perempuan itu lirih."Innalilahi wa Inna ilaihi Roji'un." Beberapa orang tetangga yang sudah datang turut berduka.Sedangkan Hasna masih tak sadarkan diri."Panggilkan Bapakya Hasna, cepat!" seru salah satu tetangga memberi titah pada tetangga lainnya. Laki-laki yang diberi perintah itu pun bergegas lari ke rumah Bapaknya Hasna, yang tinggal tak jauh dari rumah itu bersama Bu Maryam."Astaghfirullah, ada apa, Hasna! Hasna!" Laki-laki paruh baya itu datang, ia syok melihat Wina istri pertamanya telah berpulang. Dan Hasna masih terbaring pingsan.Dalam hati kecilnya ia sangat sedih, meski semasa hidup dan tinggal bersama Wina ia kerap kali berbeda pendapat, kerap kali bertengkar, tapi perjalanan waktu yang di lalui bersama, tentu menyimpan sejuta kenangan bersama juga bersama anak-anak mereka."Yang sabar Pak! I
Pagi-pagi sekali Hasna sudah bersiap untuk pergi menemui Iqbal."Mbak Santi, tolong titip Ibu sebentar ya. Akan saya usahakan cepat pulang." Hasna meminta bantuan tetangga untuk menjaga ibunya sebentar, selama dia pergi."Iya Hasna, tenang aja. Saya akan di sini sampai kamu pulang.""Terimakasih banyak Mbak Santi.Hasna pun berangkat dengan memakai motor matic second yang dibelinya, untuk di pakai setiap kali berbelanja mengisi tokonya.Saat tiba di Lapas, seketika Hasna merasakan atmosfer yang berat. Rasa rindu, marah, kecewa, dan kesedihan bercampur aduk menjadi satu di dalam dadanya. Saat Iqbal muncul di ruang kunjungan, Hasna melihat perubahan besar dalam diri kakaknya. Wajahnya tirus, tubuhnya semakin kurus, rambutnya sedikit berantakan, dan ada bayangan kelam di matanya."Hasna ..." Iqbal memanggil namanya dengan suara serak, seakan-akan ia tak percaya adiknya benar-benar datang.Hasna duduk di depannya, diam sejenak. Suasana canggung terasa di antara mereka. "Aku datang karen
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments