Malcolm marah besar usai kedatangan The Midas ke ruang rapat yang tengah dipimpin olehnya. Ia memarahi semua orang yang kini berada di ruangan itu.
“Apa gedung ini tidak memiliki pengamanan sama sekali!? Sampai orang asing bisa bebas masuk kemari!” Malcolm membentak marah pada semua orang dengan mata melotot.
“Jika ada lagi yang berani masuk seenak di ruang rapat seperti tadi, kalian semua akan kupecat!” Malcolm menunjuk masih dengan kemarahannya. Pandangannya beralih pada Eleanor yang makin ketakutan.
“Masuk ke ruanganku! Aku harus bicara denganmu!” Malcolm memerintahkan Eleanor sekaligus masih membentaknya.
“Rapat selesai!” Malcolm keluar dari ruangan tersebut dan diikuti oleh adiknya Summer yang bersikap angkuh seperti biasa. Eleanor ingin jatuh di kakinya melihat keadaan yang sulit baginya tersebut. Bagaimana tidak? Gara-gara Angela, ia gagal menarik perhatian sang bos tampan tapi galak yaitu Malcolm Winston.
“Awas saja Angela. Aku pasti akan menghukummu!” Eleanor bergumam penuh kekesalan.
Sementara itu setelah penuh perjuangan, Angela berhasil mengirimkan file yang diminta oleh Malcolm ke beberapa email menggunakan laptop milik Jasmine. Angela menarik napas lega dan tersenyum di balik kacamata besarnya.
“Sudah berhasil?” tanya Jasmine dengan cangkir kopi untuk bosnya Michael Anderson yang sedang melakukan rapat dengan CEO mereka. Angela mengangkat wajahnya lalu tersenyum pada Jasmine.
“Sudah, terima kasih. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpamu!” balas Angela sambil menungkupkan tangan dan memasang raut wajah yang lucu. Jasmine hanya terkekeh pelan melihat tingkah sahabatnya yang menggemaskan.
“Itulah gunanya teman. Oh, aku letakkan kopinya dulu!” Angela mengangguk paham. Saat Jasmine hendak berbalik pergi, terdengar suara bosnya Michael Anderson yang memanggil Angela.
“Oh Angela, untung kamu di sini!” Michael berjalan cepat menghampiri Angela yang masih berada di meja kerja Jasmine. Jasmine bahkan menghentikan langkahnya saat atasan langsungnya itu memanggil Angela.
“Iya, Pak. Apa kamu mencariku?” Angela balik bertanya dengan raut polos seperti biasanya.
“CEO Winston mencarimu. Sebaiknya kamu ke ruangannya sekarang!” Michael berujar seraya masih menarik napas untuk menenangkan tubuhnya yang kelelahan karena separuh berlari.
“Bukannya rapatnya masih berlangsung, mengapa aku harus menemui CEO Winston di ruangannya?” tanya Angela dengan polosnya. Jasmine masih melongo tapi Michael Anderson malah berkacak pinggang pada Angela. Entah karena terlalu pintar, Angela kadang agak sedikit lambat mencerna keadaan. Ia selalu berpikiran positif dan menganggap jika tidak ada orang jahat di dunia ini.
“Jika Tuan Winston menyuruhmu untuk datang ke ruangannya, itu artinya rapatnya sudah selesai!” Michael melotot serta menggeram kesal pada Angela yang masih melongo dengan mulut sedikit terbuka.
“Apa kamu mengerti yang aku katakan, Angela?” Angela berpikir sejenak sambil memutar bola matanya.
“Uh ....”
“Apa lagi yang kamu tunggu! Ayo temui dia!” Michael menghardik lagi malah balik memarahi Angela. Angela mengangguk cepat lalu berdiri dan langsung berlari pergi.
“Ah, Angela ... flashdisk-mu!” panggil Jasmine dengan cepat menarik benda kecil itu dari laptopnya dan menyerahkannya pada Angela yang berbalik lagi ke mejanya.
“Terima kasih!” Angela langsung berlari keluar ruangan. Michael menarik napas panjang melihat tingkah Angela yang kadang menyebalkan.
“Oh Tuhan, anak itu!” Michael menggerutu pelan lalu menghadap Jasmine yang kemudian mendekat padanya.
“Paman, untuk apa si galak Winston memanggil Angela ke ruangannya?” selidik Jasmine mendekat pada Michael yang merupakan atasan sekaligus suami bibinya, Caroline. Michael mendengus lalu menggelengkan kepalanya.
“Kenapa kamu tidak urus pekerjaanmu saja? Mana kopiku?” Jasmine langsung cemberut dan menjauhkan cangkir kopi yang ia pegang dari Michael.
“Beritahu dulu apa yang terjadi!” Jasmine masih ngotot sambil membesarkan bola matanya. Michael makin mendengus kesal dan meminta Jasmine untuk masuk ke ruangannya agar mereka bisa bicara.
“Apa ini rahasia?” Jasmine lantas berbisik dengan raut wajah bersemangat siap menampung gosip.
“Ah, nanti saja di dalam!”
Angela yang polos dan tidak tahu menahu soal kedatangan The Midas, lantas buru-buru menemui Malcolm Winston yang memanggilnya. Ia melapor pada Isabella Hobaz yang menjadi sekretaris utama CEO tersebut.
“Bella, apa benar aku dipanggil oleh Tuan Winston?” tanya Angela pada Isabella yang tersenyum saat melihatnya.
“Iya, ayo ikut aku ke dalam,” ujar Isabella dengan ramah. Tidak seperti bosnya yang galak, executive secretary CEO yaitu Isabella adalah pribadi yang berbeda dan suka menolong. Angela juga berteman dengannya. Terlebih kakaknya yang seorang polisi juga sangat baik pada Angela.
“Pak, ini Nona Angela Terrel.” Isabella membawa Angela pada bosnya. Malcolm yang tengah menerima telepon lantas mengangguk pada Isabella.
“Ada yang kamu butuhkan lagi, Pak?” Isabella bertanya lagi sebelum ia keluar.
“Tidak ada, kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu.” Isabella pun mengangguk dan berbalik keluar meninggalkan Angela. Di ruangan itu juga ada Summer Winston yang sedang duduk di sofa dengan santainya membolak-balik majalah. Ia turut memicingkan mata pada Angela yang berdiri di depan meja kerja Winton yang mewah dengan kedua tangan terkait di depan.
“Apa kamu yang membuat seluruh proposal keuangan dan analisis untuk tender pembangunan hotel Red Diamond?” tanya Malcolm dengan suara lantang pada Angela. Angela langsung menunduk takut lalu menggeleng. Summer langsung melempar majalah yang ia pegang ke kursi di sebelahnya.
“Dasar pembohong!” Summer sontak tercetus sinis. Angela sempat menoleh sesaat lalu menunduk lagi.
“Apa kamu tahu jika aturan di perusahaan ini bahwa setiap karyawan harus melakukan pekerjaan sesuai deskripsinya?” Malcolm terus memandang Angela yang menunduk. Barulah Angela mengerti mengapa ia dipanggil. Ternyata Malcolm mengetahui jika dirinya yang mempersiapkan semua proposal pengajuannya.
“M-Maafkan aku, Pak. J-Jika ada yang salah, a-aku bisa memperbaikinya!” ujar Angela terbata-bata sambil menunduk ketakutan. Malcolm jadi makin kesal. Angela seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Ia selalu bersedia dilimpahi banyaknya pekerjaan dari orang lain yang berada di atasnya tanpa mau melawan.
“Apa kamu tahu kesalahanmu?” Malcolm kembali mulai emosi.
“Sudahlah, pecat saja dia! tunggu apa lagi?” Summer malah menyela. Angela jadi makin ketakutan. Bagaimana jika dia kehilangan pekerjaan?
“Diamlah, Summer! Aku tidak bicara padamu.” Malcolm menegur adiknya yang langsung bersungut membuang muka.
“T-Tolong j-jangan pecat a-aku ....” Angela hampir menangis. Ia bahkan tidak tahu apa kesalahannya. Bukankah tender itu sudah dimenangkan oleh Winston?
“Angela, aku hanya minta kamu menjawab pertanyaanku. Mengapa kamu yang melakukan analisis itu? Apa kamu tidak punya pekerjaan lain?” Malcolm makin memarahi Angela. Angela mengangguk dengan air mata yang menetes ke lantai karena ia menunduk.
“Kalau begitu lakukan pekerjaanmu saja. Jangan ikut campur urusan orang lain, mengerti?” Angela mengangguk lagi. Malcolm menarik napas panjang lalu mendekat pada Angela dan tetap menatapnya dingin.
“Meskipun kamu adalah anak dari simpanan Ayahku, bukan berarti aku tidak bisa memecatmu. Jadi jangan pernah lakukan kesalahan seperti ini lagi, mengerti?” Angela pun mengangguk lagi.
Malcolm mengira jika adiknya Summer pulang semalam. Saat ia masuk ke kamar Summer dan ia tidak ada, Malcolm kini mulai panik.“Mana Summer?” tanya Malcolm pada salah satu pelayan.“Nona Summer belum pulang dari semalam, Tuan.”“Apa?”Malcolm mendengus kesal lalu menyuruh pelayan itu pergi. Ia turun sambil membawa ponselnya. Malcolm segera menelepon Summer tapi ponselnya mati.“Ke mana dia?” Malcolm menggerutu pelan. Ia turun ke bawah dan melihat Angela baru saja keluar kamar hendak berangkat bekerja. Malcolm segera menghampiri Angela saat ia masih sibuk melihat isi tasnya.“Kamu mau ke mana?”Angela terkesiap kaget dan menaikkan pandangan pada Malcolm. Ia tersenyum canggung. “Aku mau pergi ke kantor, Tuan.”“Kantor apa? Pengacara Dirk Hoffman?” Angela masih tertegun lalu ia mengangguk.“Kalau begitu kamu bisa mengundurkan diri dari
Enrique menemani Summer yang memilih check in di sebuah hotel dari pada pulang ke rumah. Ia belum bertanya apa pun termasuk hal yang membuat Summer menangis.“Kamu akan menginap kan?” Summer langsung bertanya tanpa basa-basi. Seolah ia dan Enrique adalah teman baik, Summer seperti bebas bicara apa saja pada detektif itu.Enrique terkesiap mendengar pertanyaan seperti itu. Ia terkekeh aneh dan menggeleng. “Aku harus kembali bekerja. Aku harus lembur.”Summer langsung memajukan bibirnya. Ia berubah kesal saat Enrique tidak mau menemaninya.“Lalu untuk apa kamu mengantarkan aku?” hardiknya kesal.“Bukankah kamu yang meminta?” Enrique dengan polosnya bertanya.“Bukan berarti kamu bisa pergi seenaknya!” Summer langsung mengambek pada Enrique yang tidak mengerti. Enrique berkacak pinggang dengan perasaan dongkol. Summer sering kali membuatnya kesal tapi belakangan ia malah akrab dengan ga
Summer dengan kesal berjalan sendiri mencari taksi. Mobilnya sudah dibawa pulang oleh pengawal Malcolm saat kakaknya itu datang menjemput. Dengan kesal dan air mata yang menggantung, Summer masuk ke dalam taksi.“Nona ....”“Jalan saja, nanti akan kuberitahu berhenti di mana!” ucap Summer langsung memotong. Sopir taksi itu pun menjalankan mobilnya. Sedangkan Summer hanya memandang ke arah luar seraya menyeka air matanya. ia sangat kecewa pada Malcolm yang hanya bisa membuatnya merasa tak berguna sama sekali. Bahkan seumur hidupnya, Summer hanya akan dianggap seperti anak kecil manja yang tidak memiliki kemampuan apa pun selain menghabiskan kekayaan orang tuanya.“Memangnya siapa yang peduli padaku?” gumamnya pelan dengan rasa sedih.Belum ada beberapa menit, Summer lantas mengambil ponselnya lalu menelepon Enrique. Entah mengapa, hanya polisi itu yang terlintas di kepalanya.Enrique hampir sampai ke kantor Polisi
Enrique segera pulang setelah menahan The Midas di kantor polisi. Entah mengapa, ia jadi cemas pada Summer. Gadis itu berencana untuk kembali ke rumahnya setelah beberapa hari menginap di apartemen Enrique dan Isabella. Saat mengetuk pintu, Isabella yang membuka pintunya.“Hei, kamu sudah pulang?”“Iya. Mana Summer?” Enrique langsung bertanya pada Isabella begitu ia melangkah masuk.“Dia sudah pergi.”“Apa!” Enrique menyahut dengan kaget. Isabella hanya mengedikkan bahunya lalu mendekat pada kakaknya itu dan masuk ke ruang tengah yang juga merupakan ruang tamu mereka. Enriwue pun mengekori Isabella yang duduk di sofa.“Iya, Tuan Malcolm menjemputnya satu jam yang lalu.”Kening Enrique mengernyit mendengar hal tersebut. Hari sudah cukup malam dan Summer pergi tanpa mengatakan apa pun pada Enrique.“Ada apa, Erik?” Isabella bertanya dengan sedikit penasaran. Enrique
Setelah memeluk Nina, Angela langsung keluar dari mobil ibunya. Ia tidak menoleh lagi ke belakang. Sedangkan di dalam mobil, Nina menggenggam erat setir sambil berusaha menenangkan detak jantungnya. Pertemuan dengan Angela dengan Gabriel akan membuatnya memiliki alasan mengakhiri keterlibatan Angela pada permusuhan perusahaan Winston dengan Gabriel Leon.Saat Angela masuk ke dalam, seorang pelayan yang membukakan pintu baginya. “Terima kasih,” ucap Angela sambil tersenyum.Begitu langkah kakinya menginjak ruang tengah, seseorang datang. Sosok tinggi dan berwibawa berdiri di ambang pintu, tubuhnya tegak dalam setelan jas gelap yang terlalu formal untuk sekadar menyambut seseorang pulang."Angela," panggil Alexander itu. Suaranya dalam dan dingin, seolah tak menyiratkan kerinduan seorang ayah.Angela menghentikan langkahnya. Raut wajahnya tetap tenang, nyaris beku. Ia menundukkan kepala sekilas, cukup untuk memberi kesan hormat, tapi tak sedikit
Knight mengawal Gabriel dengan santai keluar dari rumah sakit setelah bertemu dengan Angela. Saat Langkah mereka bergema pelan di area parkir bawah tanah rumah sakit. Knight dan Gabriel baru saja tidak lagi membicarakan Angela setelah mereka keluar. Namun, suasana tenang itu segera terusik saat Knight tiba-tiba menghentikan langkahnya.“Tunggu sebentar,” ucap Knight dengan nada rendah.Gabriel menghentikan langkahnya, lalu berbalik dengan kening mengernyit. “Ada apa?”Knight menunjuk ke arah sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di beberapa meter dari mereka. Matanya tajam mengamati pelat nomor dan bodi kendaraan itu.“Aku rasa aku tahu mobil itu,” katanya pelan. Gabriel ikut memperhatikan lalu menoleh pada sekitarnya. Parkiran cukup sepi meski beberapa paramedis berlalu lalang.Gabriel mengikuti arah pandangnya. “Menurutmu ini milik siapa? Rasanya tidak ada yang aneh.”“Mobil itu milik Malcolm Winston, kurasa,” ujar Knight tegas. “Aku yakin. Aku pernah melihatnya beberapa kali di W