Matahari mulai meninggi.Keringat menetes di pelipis Arya, membasahi selembar kertas yang dipegangnya. Itu adalah foto Maudy yang tersenyum manis.Sudah lebih dari satu jam Arya dan Jason menyebarkan selembaran foto Maudy di sepanjang jalan.“Udah Habis nih!” Ucap Jason, sambil menunjuk selembaran terakhir yang tersisa di tangannya.“Ya udah, kita lanjut ke tempat lain aja,” Jawab Arya.Keduanya beranjak pergi, melanjutkan pencarian di tempat lain. Mereka menyusuri gang-gang sempit, menyapa setiap orang yang mereka temui.“Kita udah nyari ke mana-mana, Arya. Tapi gak ada satupun yang tau Maudy!” Ucap Jason.“Sabar, Jason. Kita pasti bisa nemuin istriku!!” Jawab Arya, tak ingin menyerah.Keduanya terus berjalan, hingga kaki terasa pegal, dan lelah. Namun, semangat mereka tidak padam.“Arya kita istirahat dulu ya? Kita udah jalan dari pagi.” Pinta Jason, sambil menunjuk sebuah warung makan di pinggir jalan.“Iya, Jason. Kita makan dulu!!” Jawab Arya.Mereka masuk ke dalam warung makan,
Mobil yang Arya dan Jason tumpangi melaju kencang di jalan tol. Di balik kemudi, Jason terlihat fokus, sesekali melirik Arya yang duduk di sampingnya.Arya dengan raut wajah yang muram, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya melayang jauh.Kota Bandung yang menjadi tujuan mereka, Arya berharap bisa menemukan jejak Maudy, istrinya yang kabur tanpa kabar selama berbulan-bulan.Setiap kali Jason mencoba memecahkan keheningan dengan obrolan ringan, Arya hanya menjawab dengan gumaman singkat.“Arya, kamu baik-baik aja?” Tanya Jason, sedikit khawatir melihat raut wajah Arya.Arya hanya mengangguk lemah. “Aku cuman gak sabar pengen cepat sampai di sana,” Jawabnya.Jason mengerti perasaan Arya. la pun merasakan ketegangan yang sama, meski tak seberat Arya. la tahu, pencarian ini bukan hanya tentang menemukan Maudy, tapi juga tentang menemukan kembali Arya yang dulu, pria yang penuh semangat dan optimis.Tak berselang lama,Mobil mereka berhenti di depan hotel bintang lima.Arya dan Jason
Pukul 16.30 wib, ~Dirgantara Group~ Arya dengan raut wajah serius, tengah fokus meneliti dokumen. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, sesekali ia mengerutkan kening, merenungkan angka-angka yang tertera di layar komputer. Drrt... Suara getaran ponsel tiba-tiba memecah konsentrasi Arya. la mendengus pelan, merasa terganggu. “Ada apa?” Tanyanya dingin, saat panggilan terhubung. [Aku dapat kabar tentang dimana Maudy sekarang. Aku sedang menuju kantormu, kita bahas ini di sana saja!] Deg! Jantung Arya berdegup kencang, tak terasa bibirnya langsung tersenyum. Rasa gugup dan bahagia bercampur aduk dalam dadanya. “Kamu serius? Kamu tau dimana istriku sekarang?” Tanya Arya memastikan. [Iya. Aku akan ceritakan semuanya saat aku tiba di sana] Arya langsung berdiri, tubuhnya gemetar karena rasa gugup dan bahagia yang tak tertahankan. la tak sabar untuk mendengar kabar tentang Maudy, istrinya yang telah menghilang selama tiga bulan lamanya. “Cepatlah! Aku tunggu!” Desak Arya,
Perut Maudy yang tadinya rata kini mulai sedikit membuncit. Seiring dengan pertumbuhan janin dalam kandungannya, bisnis yang dirintisnya bersama Feby pun semakin berkembang. Kini mereka merasakan manisnya hasil kerja keras. Pesanan demi pesanan terus berdatangan, memenuhi rumah mereka dengan tumpukan bungkusan sambal yang siap dikirim. “Maudy, besok kita libur produksi dulu, udah dua bulan kamu gak priksa kandungan kan?!” Ucap Feby, tangannya dengan sigap mengemas sambal untuk dikirim. Maudy mengerutkan kening. “Bukannya lagi banyak pesenan? Emang kalau libur sehari gak apa-apa?” “Cuman libur sehari mah gak apa-apa, lagian kita masih ada stok dikit. Kandunganmu jauh lebih penting!! Kamu harus jaga kesehatan, Bayimu butuh kamu sehat!!” Tegas Feby. Maudy terdiam, matanya tertuju pada perutnya yang membuncit. Kata-kata Feby menyentuh hatinya, mengingatkannya bahwa ada tanggung jawab baru yang harus ia perhatikan. “Oke, besok aku akan periksa kandungan!!” Ujar Maudy, tersenyum tipis
Tiga bulan berlalu, “Aku udah bayar kalian mahal-mahal, tapi cari istriku aja gak bisa!!” Bentak Arya. “Maaf Pak Arya, tapi kami masih berusaha mencari. Semua transaksi atas nama istri Anda belum terdeteksi, kami juga sudah memeriksa semua rumah sakit dan klinik di kota ini, tapi belum ada yang menemukan jejak istri anda, Pak!” Jelas salah satu detektif, tak berani menatap Arya. “Belum terdeteksi?! Apa kalian buta?! Istriku lagi hamil, masa gak ada jejaknya sama sekali! Kalian bisa kerja gak sih?!!” Arya menggebrak meja, membuat para detektif itu tersentak. “Pak Arya, kami mengerti kekhawatiran Anda. Tapi kami mohon, beri kami waktu. Kami akan terus mencari, kami tidak akan berhenti sampai menemukan Ibu Maudy!” Ujar detektif itu, meyakinkan sang Bos. “Waktu?! Waktu apa lagi?! Sudah tiga bulan kalian mencari, tapi belum juga menemukan istriku!! Setiap hari aku terbayang wajahnya, bayangin dia kesakitan, sendirian, tanpa siapapun! Kalian tahu bagaimana rasanya?!” Arya mengusap kasa
“Apa-apaan ini?!” Teriak Arya dengan suara keras yang menggema di ruangan. “Ini bukan hasil yang saya inginkan! Semua salah, tidak ada yang benar!!” bentaknya penuh amarah. CEO Dirgantara Group itu mengepalkan tangannya dengan kuat saat menatap tumpukan dokumen di meja rapat. Wajahnya yang kusut tampak merah padam, tatapannya tajam ke arah para manager yang duduk bersebelahan dengan ekspresi tegang. Para manager saling pandang, takut dan bingung. Mereka berusaha menjelaskan apa yang telah mereka kerjakan, namun Arya tak memberi kesempatan. Pria itu terus menghujani mereka dengan kata-kata yang keras dan menyakitkan, membuat beberapa para manager menundukkan kepala karena gugup dan ketar-ketir. Hari ini suasana di Dirgantara Group terasa mencekam. Semua karyawan berbisik-bisik ketakutan karena Arya Dirgantara, CEO mereka, Sudah beberapa hari ini sedang berada dalam mood yang sangat buruk. Tampak semua manager keluar dari ruang rapat dengan wajah tegang. Mereka sepertinya ke