Tiga bulan berlalu aku masih terus memantau gerak gerik Bang Amar, selama itu pula aku tak melihat ada yang aneh dari dirinya. Dia jauh lebih baik tak lagi mengigau saat malam. Juga Farhan ia sudah hilang seperti ditelan bumi. Meskipun begitu aku tetap saja memantau semua aktifitas Bang Amar, Nara yang merupakan mata-mataku selalu memberikan informasi tentang Bang Amar selama di kampus.Selain itu Amara juga selalu membantuku memantau semua kegiatan Bang Amar, bukan bermaksud apa-apa, aku hanya tidak ingin suamiku kembali ke jalan yang salah.Weekend pagi, kami berencana datang ke rumah umi, karena sudah satu minggu aku dan Bang Amar tak berkunjung. Umi sudah gencar menelpon jika kami tiga hari saja tak datang mengunjunginya.Aku mengemas beberapa kue khas sunda yang sudah kubuat, termasuk seblak kesukaan umi. Sejak ku kenalkan makanan itu pada umi ia begitu menyukai rasanya yang khas.Bang Amar membantuku mengemas semuanya. Karena aku putuskan tak lagi menyuruh Mbok Darmi untuk beker
“Loh kamu kenapa Dik?”tanya Bang Amar yang langsung menyusulku ke kamar mandi, ia memijat tengkukku.Terasa lemas sekali setelah berkali kali muntah, tapi hanya air sedikit yang keluar.Aku berjalan pelan di bantu oleh Bang Amar, tenaga terasa habis padahal tadi aku tidak kenapa-kenapa.“Minum coklat hangatnya dulu biar lenih enakan, Dik.”Bang Amar kembali menyodorkan secangkir coklat panas tepat di depanku. Lagi, perutku terasa mual aku segera berlari ke kamar mandi. Bang Amar semakin bingung dan ikut ke kamar mandi.“Sepertinya karena coklat itu Bang,” tebakku.“Ah, masa gara-gara coklat panas kamu mau muntah Dik, kayak Abang racun aja, biasanya juga minum ini,”protes Bang Amar.Aku mengedikan bahu, memilih segera berbaring karena tubuhku terasa sangat lemas.Bang Amar ikut berbaring di sampingku sambil terus memijat kepalaku karena memang sedikit pusing, hingga aku tak sadar telah terbuai dalam mimpi.Mimpi indah, aku dan Bang Amar menangkap dua burung yang begitu cantik, satu b
“Ya Allah Mbak, kenapa Mbak terus menangis? Ada apa? Ayo cerita sama Mara jangan buat bingung?”Amara terus memborong pertanyaan, tetapi aku tak bisa menjawabnya.Aku mencoba kuat, benar Bang Amar sama Farhan. Benarkah sekarang aku harus pergi? Aku kembali menunduk dengan air mata masih deras mengalir. Kuusap perlahan perutku, dimana ada janin yang akan mendapat imbasnya jika aku mengambil keputusan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi nanti.“Ya udah kalau Mbak Bulan belum mau cerita, Mara antar pulang, ya? Mbak istirahat saja dulu sudah malam. Besok telepon Mara kalau butuh teman.”aku mengangguk. Selama perjalanan air mata seolah tak berhenti menetes, ia selalu menunjukan eksistensinya seolah ingin dunia tahu bahwa Bulan tengah berduka, bahwa Bulan kini hatinya tengah berantakan. Ponsel berulang kali berdering, tetapi tak aku hiraukan pastilah dari Bang Amar. Apalagi yang ia inginkan? Dia sudah meluluhlantakan harapanku, menabur duri bukan sekedar duri kecil, apa selama ini dia
“Aku hanya bingung kenapa Abang mati-matian bersama lelaki itu, lelaki yang membawa Abang menuju kesesatan sementara ada aku disini yang siap meniti surga bersamamu. Izinkan aku pergi Bang, izinkan sejenak aku berpikir normal. Jika benar Abang tak melakukan apapun dengan Farhan, Allah pasti tunjukan jalan untuk Abang membuka semuanya, tetapi saat ini aku percaya pada mataku, percaya dengan apa yang aku lihat.”Setelah mengatakan itu aku pergi menyeret dua koper meninggalkan Bang Amar yang masih menatapku tak terima dengan keputusan yang telah kubuat.Bang Amar, dia menarikku dari tepian jurang, sejenak membawa ke jalur aman sebelum ia membawaku ke tepian jalan dan kemudian mendorongku dalam sebuah rasa sakit yang teramat sangat, lalu bagaimana aku bisa menerima ini semua? Haruskah aku berdamai dengan sisi lainya? Tidak, aku tak akan pernah bisa, aku lebih memilih pergi.Banyak hikmah yang dipetik dari setiap perjalanan hidupku, rasa sakit karena di kucilkan, rasa sakit karena dihina,
Terbentang jeda panjang saat kuputuskan pergi meninggalkan rumah Bang Amar, membawa bayi yang ada dalam perutku. Meski kami belum resmi bercerai, aku tetap tidak ingin kembali dalam pelukan Bang Amar.Dua minggu sudah aku berdiam diri mengurung dalam rumah besar ini, mematikan telepon dan tak ingin diganggu oleh siapapun. Tidak tahu bagaimana kabar Bang Amar, apa yang ia lakukan dan sedang bersama siapa sekarang dia.Aku terhanyut dalam kesepian seorang diri, berteman tangis pilu menahan rindu, entah sampai kapan aku akan seperti ini. Aku kira move on semudah mengucapkannya, nyatanya aku salah, ini tak semudah mengucapkan dua kata tersebut, terlalu besar peperangan yang terjadi dalam otak dan perasaanku.Pagi ini aku putuskan untuk berjalan-jalan sekedar menghirup udara segar, sudah dua minggu aku mengurung diri, udara yang terasa sesak tidak memberikan sedikitpun kelegaan dalam hatiku.Aku berjalan pelan menyusuri kompleks elit yang sekarang terasa lenggang karena mungkin penghuninya
Ayah beranjak pergi, tetapi tidak dengan Bang Amar, kenapa ia tak ikut pergi?Aku turun perlahan dan memanggil Bi Ijah yang sedang di dapur,“Bi, apa Bibi yang memanggil ayah?”tanyaku.“Iya Mbak, tadi Mbak Bulan pingsan lama sekali, Bibi takut. Badan Mbak Bulan gemetar dan menggigil dan terus mengigau memanggil nama Bang Amar jadi saya menelpon Pak Yusuf agar membawa dokter buat periksa Mbak Bulan," terang Bi Ijah.Bahkan ketika tidak sadar saja aku memanggil nama Bang Amar? Kenapa susah sekali memberitahukan kepada hati ini agar tidak berharap lagi kepada sosok Amar.Bang Amar mendekatiku dan menyuruh Bi Ijah kembali mengerjakan pekerjaannya.“Kenapa tak jujur dengan Abang, Dik?”tanya Bang Amar, ia menunjukan tiga buah testpack yang pernah kugunakan dulu, tatapannya begitu sendu. Aku memalingkan wajah tak ingin menatap matanya yang mulai mengembun terlebih aku tidak ingin ia melihat masih ada cinta dalam hatiku.“Aku bisa mengurusnya seorang diri Bang, lebih baik Abang silahkan pe
Panjang waktu yang kulalui, hari-hariku berlalu begitu saja, seolah waktu begitu cepat berputar dan hari ini tepat dua bulan kepergianku dari rumah Bang Amar, meski dia masih mencukupi nafkah untukku juga keperluanku dan kebutuhan calon anak kami, sampai saat ini aku masih menunggu dalam sepi fakta yang akan dia berikan untukku, aku masih setia menantinya.Hari ini aku berencana untuk memeriksakan kehamilanku, Bang Amar sudah menunggu di luar sementara aku masih ragu untuk sekadar pergi denganya, aku tak ingin bermasalah dengan Farhan, ia berkali-kali mengancamku untuk meninggalkan Bang Amar, aku hanya menurut dan tak berniat bertengkar dengannya.“Sudah siap Dik?” tanya Bang Amar.Aku hanya mengangguk dan masuk mobil begitu saja, malas sekali berbicara denganya.“Abang udah gak sabar pengen lihat anak kita,”Aku tak menjawab atau merespon ucapanya, aku lebih memilih menatap kendaraan yang berlalu lalang. Banyak yang berputar putar di dalam otakku. Bagaimana hubungan ini? Akankah sela
Aku tersadar saat kurasakan air mengguyur wajahku dengan keras. Perlahan aku membuka mata, menyadarkan otak agar segera berfungsi kembali dan melihat keadaan sekelilingku, tangan dan kaki terasa sakit dan tak dapat digerakkan. Rupanya mereka mengikatku seperti hewan.“Siapa kalian kenapa membawaku ke tempat seperti ini? Lepaskan saya?”Aku mulai gemetar saat kulihat di depanku berjajar empat orang laki-laki berbadan besar dan berpakaian hitam, wajah mereka benar-benar menakutkan.“Tolong jangan sakiti saya dan anak saya,”ucapku memohon.“Mau kita apakan wanita ini?”tanya seorang laki laki yang berdiri paling ujung kepada rekannya. Kumis tebal dengan banyak goresan luka di wajah membuat penampilan semakin garang.“Kita tunggu saja sampai Mr. Black datang,”jawab salah seorang dari mereka.“Siapa bos kalian? Mengapa membawaku kemari? Lepaskan aku!”seruku sambil terus berusaha melepaskan ikatan di tanganku.“Sudah jangan banyak omong!” bentak laki-laki dengan banyak goresan luka itu.