Share

Part8

Canggung juga rasanya berada dalam satu mobil bersama Mas Raka. Laki-laki yang menjadi suamiku, namun jarang sekali berbicara hal-hal tidak penting padaku. Padahal kalau sama Mbak Silvi dan keluarga lainnya, Mas Raka terlihat sangat ramah dan juga banyak bicara. Mungkin memang dia benar-benar merasa tidak nyaman saat bersamaku.

Perjalanan kami terasa sangat kaku. Aku yang baru kali ini duduk sejajar dengannya di kursi depan, tak berani melihat. Hanya bersandar, dan membuang pandangan ke arah jendela.

"Kamu ngantuk, Delima?" Tiba-tiba saja suara Mas Raka menegurku. Aku yang sama sekali tidak menyangka langsung mengangkat kepala dan menoleh ke arahnya.

"Eh, enggak kok, Mas. Delima nggak ngantuk. Ada apa, Mas?"

"Nggak apa-apa kalau memang ngantuk. Hari ini kan kita semua memang capek. Nanti kamu tinggal aja di rumah. Biar Mas sendiri yang jagain Mbakmu."

Ini adalah kalimat terpanjang yang aku dengar saat dia berbicara padaku. 

"Nggak usah, Mas. Delima ikut aja. Nanti selesai mandi, dan mengambil keperluan Mbak Silvi, kita langsung berangkat aja, ya," pintaku, seperti perintah Mbak Silvi tadi.

"Memang kamu nggak capek? Besok aja Mas jemput kamu. Lagian di sana udah ada Mama dan juga Deni. Besok baru gantian."

"Enggak usah, Mas. Delima ikut aja." Aku tetap bersikeras.

"Atau jangan-jangan kamu nggak berani ya, tidur sendiri di rumah?" Mas Raka seperti sedang menggodaku. Atau itu hanya perasaanku saja.

"Delima nggak takut, kok. Cuman kasihan, nanti kalau Mbak Silvi butuh apa-apa, gimana?"

"Wah, kamu baik banget," ucapnya. "Makasih ya, udah perhatian. Mas senang kalau hubungan kalian baik-baik aja." Dia terlihat tulus saat mengucapkannya.

Bukankah seharusnya kata cerailah yang akan dia ucapkan padaku malam ini. Ternyata Allah masih melindungiku. Setidaknya sampai Mbak Silvi benar-benar pulih. 

Aku juga tak menyangka, kalau Mas Raka benar-benar bicara banyak padaku malam ini. Dan tiba-tiba saja hal ini membuatku merasa nyaman berada dekat dengannya. Aku takut sekali jika benar-benar akan jatuh cinta padanya suatu hari nanti.

Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku. Sementara Mas Raka masuk ke kamar Mbak Silvi. Ya, tentu saja. Untuk apa dia berada di kamarku. Meskipun kami sudah sah menjadi suami istri, tapi tetap saja Mas Raka tidak memiliki pikiran yang sama denganku.

Saat aku sudah tertidur pun, dia yang tadinya tidur di sebelahku, bisa pindah ke kamar Mbak Silvi. Lalu apa yang bisa kuharapkan dari malam ini. Memberi tahukannya bahwa aku sudah suci, dan meminta dia untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami? 

Mana mungkin. Dia pasti tak akan pernah menggubrisku. Aku yang hanya gadis kampung ini, pasti tak sesuai dengan seleranya. Tak Seperti Mbak Silvi yang selalu tampil modis dan juga modern. 

Aku keluar dari kamar mandi dengan balutan handuk sebatas paha, dan juga handuk menutupi kepala. Rasanya begitu segar satelah mandi dan keramas. Namun tiba-tiba saja Mas Raka muncul tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Aku yang sebelumnya tak pernah berpakaian seminim ini di hadapannya, sontak kelabakan dan langsung bersembunyi di balik pintu lemari yang baru saja aku buka. Mas Raka juga tak kalah terkejut, lalu membalikkan badan agar tak melihatku dalam kondisi seperti ini.

Tidakkah sikap kami terlihat sama-sama aneh? Pernikahan macam apa ini.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status