แชร์

Bab 6 – Ujian Tak Masuk Akal

ผู้เขียน: Cahya Nirmala
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-18 16:17:14

Hari keduaku di kantor dimulai dengan perasaan campur aduk. Tubuhku masih terasa remuk karena kemarin harus menyelesaikan ringkasan kontrak tebal dalam waktu singkat. Tapi di sisi lain, ada percikan semangat aneh yang membuatku bangun lebih pagi, menyiapkan diri, dan berdiri di depan cermin lebih lama dari biasanya.

Ini bukan tentang Rayyan, batinku cepat-cepat menyangkal. Ini tentang aku yang harus bertahan di sini.

Setibanya di kantor, aku mendapati meja kerjaku sudah dipenuhi tumpukan berkas baru. Lebih banyak dari kemarin. Aku menatapnya dengan kening berkerut.

“Aisyah.” Suara berat itu datang dari belakangku.

Aku menoleh. Rayyan berdiri di sana dengan wajah setenang patung marmer, jas hitamnya rapi, dasinya sempurna, dan aura dinginnya langsung membuat ruangan terasa kecil.

“Selamat pagi, Pak,” sapaku hati-hati.

Rayyan tidak menjawab, hanya berjalan mendekat lalu menepuk-nepuk tumpukan berkas di mejaku.

“Kamu tahu ini apa?” tanyanya datar.

Aku menggeleng pelan. “Belum, Pak.”

“Ini adalah laporan divisi keuangan, pemasaran, dan HR selama enam bulan terakhir.” Ia melipat kedua tangannya di dada. “Aku ingin kamu membuat analisis komparatif, menemukan kesalahan sekecil apa pun, dan menyiapkan presentasi untuk rapat direksi besok pagi.”

Aku terdiam. Otakku langsung berhenti bekerja. Besok pagi? Analisis semua divisi? Itu pekerjaan yang biasanya ditangani tim besar dengan deadline berminggu-minggu, bukan satu orang dalam satu malam.

“Pak…” suaraku lirih. “Ini… terlalu banyak untuk satu orang.”

Rayyan menaikkan satu alis. “Oh? Jadi kamu menyerah?”

Aku menggigit bibir. Tatapan matanya begitu menantang, seolah sengaja ingin memaksaku berkata “tidak sanggup.”

“Saya tidak bilang menyerah, Pak,” sahutku akhirnya. “Saya hanya bilang ini tidak realistis.”

Rayyan tersenyum miring, senyum yang membuat darahku mendidih. “Kadang, dunia kerja memang tidak realistis, Aisyah. Kalau kamu tidak bisa menghadapinya, mungkin tempat ini bukan untukmu.”

Hatiku terasa diremas. Jadi memang benar, dia sengaja ingin menyingkirkanku.

Aku menatap tumpukan berkas itu lagi, lalu menarik napas panjang. “Baiklah. Saya akan berusaha kerjakan seoptimal mungkin.”

---

Sejak pukul sepuluh pagi, aku nyaris tidak beranjak dari kursi. Mata fokus pada angka-angka, grafik, dan kalimat panjang yang membingungkan. Jari-jariku mengetik cepat, menyalin data, lalu menyusun tabel perbandingan.

Beberapa rekan kerja lain sesekali menghampiri, menatap kasihan.

“Serius kamu disuruh ngerjain semua itu sendirian?” bisik salah satu staf pemasaran.

Aku hanya mengangguk tanpa menoleh, takut konsentrasiku pecah.

Jam makan siang, aku tetap di meja, hanya meneguk air mineral sambil terus mengetik. Perutku sudah protes, tapi pikiranku menolak berhenti.

Rayyan beberapa kali melintas di depan meja, sekilas menatap pekerjaanku, lalu berlalu tanpa komentar. Setiap tatapannya bagai cambuk seolah menyiratkan: kerjakan lebih cepat, lebih baik, jangan ada kesalahan.

---

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Kantor sudah sepi, hanya tinggal aku, satpam, dan lampu-lampu yang sengaja dibiarkan redup.

Kepalaku berat, mataku merah, tapi ringkasan dan analisis akhirnya hampir selesai. Aku menatap layar laptop dengan lelah bercampur lega.

“Ya Allah, tolong lancarkan,” gumamku sambil meregangkan punggung.

Aku tahu Rayyan menunggu aku gagal. Tapi anehnya, rasa ingin membuktikan diriku jauh lebih besar daripada rasa takutku.

---

Saat sedang menumpuk hasil print-out di meja, suara langkah kaki membuatku menoleh. Aku terperangah.

Rayyan berdiri di pintu ruang kerja, kedua tangannya di saku celana, wajahnya tetap tenang meski jam sudah larut.

“Masih di sini?” tanyanya.

Aku menahan diri untuk tidak menjawab sinis. “Tentu saja, Pak. Tugas Bapak belum selesai saya kerjakan.”

Rayyan masuk, mendekat ke meja, lalu menatap tumpukan kertas di hadapanku. Tangannya mengambil salah satu lembar, meneliti isinya.

Beberapa detik hening.

“Tidak buruk,” katanya akhirnya. “Bahkan cukup detail untuk ukuran waktu sesingkat ini.”

Aku menegakkan punggung. “Jadi, saya bisa dianggap lulus ujian Bapak?” tanyaku, nada suaraku sedikit menantang.

Rayyan menoleh, menatapku lama. Tatapannya sulit diartikan, antara kagum dan masih menyimpan keraguan.

“Kamu belum lulus apa pun, Aisyah,” jawabnya pelan. “Tapi kamu… membuatku penasaran.”

Aku tertegun. Kata-kata itu meluncur begitu saja darinya, membuat dadaku terasa sesak.

Rayyan lalu menaruh kembali berkas itu dan berbalik. “Jangan terlalu percaya diri. Besok pagi aku ingin kamu presentasikan sendiri di depan direksi. Kalau kamu bisa bertahan dari evaluasi mereka… mungkin aku akan mulai menganggapmu serius.”

Aku menelan ludah. Presentasi di depan direksi? Itu berarti para eksekutif senior dengan pengalaman puluhan tahun!

“Tapi…” suaraku tercekat. “Saya hanya staf baru.”

“Persis.” Rayyan menoleh sekilas, senyumnya samar. “Kita lihat apakah staf baru bisa membuat ruang rapat terdiam.”

Setelah itu, ia melangkah keluar, meninggalkanku dengan jantung berdegup kencang.

---

Aku menatap pintu yang baru saja tertutup. Kelegaanku seolah lenyap digantikan kecemasan baru. Presentasi di depan direksi? Itu bukan sekadar ujian. Itu bisa jadi penentu apakah aku diterima sepenuhnya di perusahaan ini… atau diusir dengan cara paling memalukan.

Namun satu hal pasti: aku tidak akan membiarkan Rayyan terus meremehkanku begitu saja.

Aku mengepalkan tangan, berbisik pada diriku sendiri.

“Kalau dia ingin menjatuhkanku, aku akan tunjukkan kalau aku bisa lebih baik dari yang dia kira.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 45: Suara Hati yang Bercabang

    Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 44 - Langkah Rayyan

    Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 43 - Jarak yang Menipis

    Sejak namanya makin dikenal di luar perusahaan, Aisyah merasakan perubahan nyata dalam cara orang-orang memperlakukannya. Rekan kerja yang dulu sempat meremehkan kini mulai menghargai, bahkan beberapa manajer senior yang biasanya hanya berurusan langsung dengan Rayyan, kini juga mengajaknya berdiskusi.Namun, perubahan terbesar justru terasa dalam hubungannya dengan Rayyan.--Suatu pagi, mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat. Biasanya, Aisyah akan berjalan setengah langkah di belakang, membiarkan Rayyan memimpin. Tapi kali ini, seorang klien menyalami Aisyah lebih dulu.“Presentasi Anda minggu lalu benar-benar mengesankan. Saya jarang melihat seseorang bisa begitu lugas sekaligus meyakinkan.”Aisyah menunduk sopan. “Terima kasih, Pak. Semua itu juga berkat arahan Pak Rayyan.”Rayyan melirik sekilas, ekspresi wajahnya nyaris tak terbaca. Tapi di balik tatapan datarnya, ada percikan hangat yang ia sembunyikan. Aisyah tidak sekadar menerima pujian itu untuk dirinya sendiri, ia

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 42 - Antara Bangga dan Takut

    Di ruang kerja Rayyan, Aisyah memberanikan diri menyampaikan undangan itu. Ia agak ragu, takut Rayyan merasa ia melangkahi batas.“Pak, ini… ada undangan dari asosiasi bisnis. Mereka meminta saya jadi salah satu pembicara panel.”Rayyan yang tengah membaca laporan berhenti, menatapnya. Ada sekilas cahaya tak terduga di matanya.“Bagus.”“B-bagus?” Aisyah tergagap.“Ya. Kamu layak dapat kesempatan itu. Ambil saja,” jawab Rayyan singkat.Aisyah menatapnya, menunggu komentar tambahan. Tapi Rayyan tidak menambahkan apa-apa, hanya kembali fokus pada dokumen. Namun dari gerak bibir yang sedikit menahan senyum, Aisyah bisa menangkap sesuatu: Rayyan bangga.---Hari panel tiba. Aula hotel berbintang dipenuhi para pebisnis muda, investor, dan jurnalis. Aisyah mengenakan blazer sederhana, kerudungnya ditata rapi. Ia masih merasa grogi, tapi mencoba mengingat kata-kata Rayyan: “Kamu layak dapat kesempatan itu.”Ketika namanya dipanggil, ia melangkah ke panggung bersama beberapa panelis lain. Lam

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 41- Mulai Dikenal

    Pagi itu, Rayyan sudah duduk di ruang kerjanya lebih awal dari biasanya. Layar laptop terbuka, menampilkan draft strategi baru untuk tim pemasaran. Tapi pikirannya melayang kembali pada percakapan dengan Aisyah kemarin."Saya hanya tidak ingin… terlalu bergantung pada Bapak."Kalimat itu terus terngiang. Bagi Rayyan, itu seperti cambuk halus. Ia terbiasa mengambil alih kendali, menyelesaikan masalah, dan memastikan semua berjalan sesuai kehendaknya. Namun, ia menyadari bahwa sikapnya bisa membuat seseorang merasa kecil.Dan itu adalah Aisyah—orang yang diam-diam sudah mengisi ruang di benaknya lebih dari siapapun.---Ketika Aisyah masuk membawa map berisi laporan mingguan, Rayyan menahan diri. Biasanya ia akan langsung memberi catatan detail, bahkan tak jarang mengganti beberapa keputusan. Tapi kali ini ia hanya menatapnya singkat.“Letakkan saja di meja. Nanti saya baca,” ucapnya tenang.Aisyah mengangguk, agak bingung. Biasanya Rayyan akan langsung memberi komentar panjang.Beberap

  • Ketika yang Kubenci Menjadi Takdirku    Bab 40: Takut Bergantung

    Kabar Rayyan melaporkan Fadlan ke polisi menyebar cepat. Media menyorotinya, warganet ramai membicarakan. Jika sebelumnya gosip soal dirinya dan Aisyah menguasai headline, kini pemberitaan beralih: “Rayyan Alfarizi Gugat Rival Bisnis Terkait Fitnah dan Pencemaran Nama Baik.”Aisyah membaca berita itu di layar ponselnya dengan tangan bergetar. Di satu sisi ia lega, karena akhirnya ada langkah tegas yang bisa melindungi namanya. Namun di sisi lain, ia khawatir. “Kalau ini malah memicu perang besar?” pikirnya.Di kantor, beberapa rekan kerja mendekatinya.“Wah, hebat ya. Pak Rayyan cepet banget lawan Fadlan di jalur hukum.”“Syukurlah, jadi nama kamu juga ikut bersih, Sya.”Aisyah hanya bisa tersenyum kaku, sementara hatinya berdesir setiap kali nama Rayyan disebut dalam kaitan melindunginya.---Sementara itu, Fadlan tidak tinggal diam. Di ruang kantornya, ia membanting koran dengan kesal.“Dasar brengsek! Dia pikir bisa menang dengan hukum?!” teriaknya.Salah satu asistennya mencoba me

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status