Pagi itu, aku datang ke kantor lebih awal dari siapa pun. Mata masih berat karena hanya tidur dua jam, tapi tubuhku dipaksa bergerak oleh rasa panik. Di tanganku ada flashdisk kecil yang berisi presentasi semalaman, hasil lembur panjang yang membuatku hampir kehilangan akal.
Aku berdiri di depan lift, menatap pantulan wajahku di pintu logam. Wajah pucat, mata sembab, tapi ada tekad di baliknya. “Aisyah, kamu bisa,” bisikku sendiri. “Kamu sudah sejauh ini. Jangan mundur.” Begitu lift terbuka, aku melangkah mantap ke lantai rapat direksi. Dari kejauhan, suara langkah-langkah sepatu formal dan obrolan rendah terdengar. Detak jantungku seolah menyalip ritme jam dinding. --- Ruang rapat perusahaan itu megah. Dinding kaca besar memperlihatkan pemandangan kota yang masih diselimuti kabut pagi. Meja panjang kayu cokelat tua dipenuhi para pria dan wanita paruh baya dengan jas mewah, ekspresi serius, dan aura yang membuatku ingin bersembunyi di bawah kursi. Rayyan duduk di ujung meja, kursi kepala. Wajahnya datar, tatapannya menusuk saat matanya bertemu denganku. Ia memberi isyarat dengan tangan. “Silakan, Aisyah. Waktu dan tempat kami persilakan,” katanya tenang, seolah yang diminta hanyalah laporan sederhana, bukan ujian hidup-mati. Tanganku sedikit gemetar saat menyalakan proyektor. Slide pertama muncul dengan judul besar: Analisis Komparatif Laporan Keuangan, Pemasaran, dan HR – Semester 1 Beberapa direksi saling pandang. Aku bisa merasakan sebagian dari mereka meremehkan—siapa aku, staf baru, berani-beraninya bicara di depan orang-orang yang mungkin sudah bekerja sejak sebelum aku lahir. Aku menarik napas panjang, menegakkan punggung, dan memulai. “Selamat pagi, Bapak dan Ibu Direksi,” suaraku terdengar sedikit bergetar, tapi aku segera mengatur napas. “Nama saya Aisyah, staf baru di perusahaan ini. Hari ini saya akan menyampaikan hasil analisis terhadap laporan dari tiga divisi utama.” Aku menekan remote, slide kedua muncul dengan grafik. “Divisi keuangan menunjukkan tren positif dalam arus kas, namun ada beberapa pengeluaran tidak tercatat detail di bulan Maret dan April. Saya menandai ini sebagai potensi risiko yang perlu segera ditindaklanjuti.” Beberapa direksi keuangan terperangah, menunduk melihat catatan mereka. Salah satu dari mereka berbisik dengan ekspresi heran. Aku melanjutkan dengan lebih percaya diri. “Sementara itu, divisi pemasaran mencatat kenaikan anggaran promosi sebesar 25%, tetapi hasil penjualan hanya meningkat 10%. Ini menunjukkan efisiensi rendah dalam penggunaan dana. Saya sarankan audit strategi pemasaran digital.” Direktur pemasaran langsung terbatuk kecil, wajahnya memerah. Aku menahan senyum. Bingo. Slide demi slide bergulir, aku menjelaskan dengan runtut. Setiap temuan kujelaskan dengan data yang jelas, setiap kelemahan kutawarkan solusi. Meskipun suaraku sempat bergetar di awal, kini aku terdengar lebih mantap. Aku bisa merasakan tatapan para direksi yang awalnya acuh dan meremehkan, kini berubah jadi fokus dan mendengarkan. --- Akhir presentasi tiba. Aku menutup dengan kesimpulan: “Jika ketiga divisi ini berkoordinasi lebih efektif, perusahaan bisa menghemat biaya operasional hingga 15% dalam enam bulan ke depan. Itu bukan angka kecil, melainkan peluang besar untuk meningkatkan profitabilitas.” Ruangan hening. Tak ada yang bergerak. Aku menelan ludah, menunggu komentar. Lalu salah satu direksi keuangan berdeham. “Luar biasa… detail sekali untuk ukuran staf baru.” Direktur pemasaran yang tadi memerah wajahnya akhirnya mengangguk pelan. “Ya, bahkan tim kami sendiri belum membuat analisis sejernih ini.” Beberapa direksi lain ikut berkomentar positif. Ruangan yang tadinya penuh tekanan berubah jadi ruang diskusi serius. Mereka membicarakan beberapa rekomendasiku seolah itu memang harus segera diterapkan. Aku berdiri di depan, tubuh gemetar, tapi kali ini bukan karena takut. Melainkan karena lega—aku berhasil. --- Aku melirik ke arah Rayyan. Ia duduk dengan tangan terlipat di dada, wajahnya tetap dingin, tapi matanya… berbeda. Ada sesuatu di sana, semacam pengakuan yang enggan ia ucapkan. Ketika diskusi selesai, Rayyan akhirnya angkat bicara. “Terima kasih, Aisyah,” katanya datar. “Presentasimu… informatif.” Hanya itu. Tidak ada pujian besar, tidak ada tepuk tangan. Tapi aku tahu, dari sorot matanya, kata “informatif” itu berarti lebih dari sekadar basa-basi. Aku menunduk sopan. “Terima kasih, Pak.” --- Begitu rapat bubar, aku bergegas membereskan laptop dan berkas. Kakiku masih gemetar, tapi hatiku melompat-lompat bahagia. Di luar ruang rapat, beberapa karyawan senior menepuk bahuku. “Hebat sekali, Aisyah.” “Kamu bikin kami terkesan. Jarang ada staf baru bisa tampil sebaik itu.” Aku tersenyum kikuk, masih sulit percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Saat hendak kembali ke meja, langkahku terhenti. Rayyan berdiri di koridor, menungguku. “Pak…” sapaku ragu. Ia menatapku beberapa detik, lalu berkata pelan, “Jangan terlalu senang dulu. Ini baru permulaan. Dunia kerja lebih keras dari yang kamu bayangkan.” Nada suaranya masih dingin, tapi aku melihat sesuatu di matanya—pengakuan, meski setengah hati. Aku mengangkat dagu, tersenyum tipis. “Saya siap, Pak. Apapun tantangan berikutnya.” Rayyan menatapku lebih lama, lalu berbalik meninggalkanku. Aku menghela napas panjang, lalu berjalan kembali ke meja kerjaku dengan langkah ringan. Meski ujiannya berat, aku tahu satu hal pasti: aku telah menancapkan pijakan pertama yang kuat di tempat ini. Dan yang lebih penting, aku berhasil membuat Rayyan, si bos dingin yang arogan itu, terpaksa mengakui kemampuanku.Aisyah duduk lama di pantry kantor, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Pikiran masih berputar—email tawaran luar negeri di satu sisi, surat penugasan dari Rayyan di sisi lain.Hana, yang baru masuk membawa camilan, langsung mendeteksi keganjilan itu. “Hey, kamu dari tadi bengong terus. Ada apa, Sya?”Aisyah mengangkat wajah, tersenyum samar. “Aku lagi bingung, Han. Ada tawaran kerja baru.”Hana duduk di kursi seberang, mencondongkan badan dengan antusias. “Serius? Dari perusahaan luar? Itu kan mimpimu sejak dulu!”Aisyah mengangguk pelan. “Iya. Jonny, yang dulu pernah presentasi bareng Pak Rayyan, mengajakku bergabung. Gajinya besar, fasilitas lengkap. Aku bisa dapat exposure internasional.”“Lalu kenapa bingung? Bukankah itu kesempatan emas?”Aisyah menghela napas panjang. “Karena di saat yang sama, Pak Rayyan memberiku kepercayaan besar juga. Dia menunjukku memimpin tim ekspansi kerja sama dengan firma Dubai. Itu setara, bahkan mungkin lebih menantang… hanya saja, aku tetap
Hari itu, kantor masih ramai ketika Aisyah baru saja menyelesaikan serangkaian rapat. Tubuhnya lelah, tapi hatinya hangat. Sejak proyek besar terakhir sukses, ia sering mendapat ucapan selamat dari berbagai pihak.Namun, sore itu berbeda. Seorang tamu dari perusahaan konsultan internasional datang. Namanya Jonny, seorang ekspatriat ramah dengan senyum percaya diri. Ia sengaja menemuinya setelah rapat bersama direksi selesai.“Miss Aisyah, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang cukup fasih.Aisyah menoleh, sedikit kaget. “Tentu, Pak.”Mereka pun berbincang di lobi. Jonny langsung menyampaikan maksud kedatangannya. “Kami sudah lama memperhatikan presentasi dan kontribusi Anda. Perusahaan kami sedang mencari konsultan muda untuk proyek besar di Singapura. Anda punya kualifikasi yang cocok.”Kata-kata itu membuat Aisyah terdiam. Ia hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tawaran internasional? Itu kesempatan yang sulit ditolak oleh siapa pun di posisinya.
Sejak namanya makin dikenal di luar perusahaan, Aisyah merasakan perubahan nyata dalam cara orang-orang memperlakukannya. Rekan kerja yang dulu sempat meremehkan kini mulai menghargai, bahkan beberapa manajer senior yang biasanya hanya berurusan langsung dengan Rayyan, kini juga mengajaknya berdiskusi.Namun, perubahan terbesar justru terasa dalam hubungannya dengan Rayyan.--Suatu pagi, mereka berjalan berdampingan menuju ruang rapat. Biasanya, Aisyah akan berjalan setengah langkah di belakang, membiarkan Rayyan memimpin. Tapi kali ini, seorang klien menyalami Aisyah lebih dulu.“Presentasi Anda minggu lalu benar-benar mengesankan. Saya jarang melihat seseorang bisa begitu lugas sekaligus meyakinkan.”Aisyah menunduk sopan. “Terima kasih, Pak. Semua itu juga berkat arahan Pak Rayyan.”Rayyan melirik sekilas, ekspresi wajahnya nyaris tak terbaca. Tapi di balik tatapan datarnya, ada percikan hangat yang ia sembunyikan. Aisyah tidak sekadar menerima pujian itu untuk dirinya sendiri, ia
Di ruang kerja Rayyan, Aisyah memberanikan diri menyampaikan undangan itu. Ia agak ragu, takut Rayyan merasa ia melangkahi batas.“Pak, ini… ada undangan dari asosiasi bisnis. Mereka meminta saya jadi salah satu pembicara panel.”Rayyan yang tengah membaca laporan berhenti, menatapnya. Ada sekilas cahaya tak terduga di matanya.“Bagus.”“B-bagus?” Aisyah tergagap.“Ya. Kamu layak dapat kesempatan itu. Ambil saja,” jawab Rayyan singkat.Aisyah menatapnya, menunggu komentar tambahan. Tapi Rayyan tidak menambahkan apa-apa, hanya kembali fokus pada dokumen. Namun dari gerak bibir yang sedikit menahan senyum, Aisyah bisa menangkap sesuatu: Rayyan bangga.---Hari panel tiba. Aula hotel berbintang dipenuhi para pebisnis muda, investor, dan jurnalis. Aisyah mengenakan blazer sederhana, kerudungnya ditata rapi. Ia masih merasa grogi, tapi mencoba mengingat kata-kata Rayyan: “Kamu layak dapat kesempatan itu.”Ketika namanya dipanggil, ia melangkah ke panggung bersama beberapa panelis lain. Lam
Pagi itu, Rayyan sudah duduk di ruang kerjanya lebih awal dari biasanya. Layar laptop terbuka, menampilkan draft strategi baru untuk tim pemasaran. Tapi pikirannya melayang kembali pada percakapan dengan Aisyah kemarin."Saya hanya tidak ingin… terlalu bergantung pada Bapak."Kalimat itu terus terngiang. Bagi Rayyan, itu seperti cambuk halus. Ia terbiasa mengambil alih kendali, menyelesaikan masalah, dan memastikan semua berjalan sesuai kehendaknya. Namun, ia menyadari bahwa sikapnya bisa membuat seseorang merasa kecil.Dan itu adalah Aisyah—orang yang diam-diam sudah mengisi ruang di benaknya lebih dari siapapun.---Ketika Aisyah masuk membawa map berisi laporan mingguan, Rayyan menahan diri. Biasanya ia akan langsung memberi catatan detail, bahkan tak jarang mengganti beberapa keputusan. Tapi kali ini ia hanya menatapnya singkat.“Letakkan saja di meja. Nanti saya baca,” ucapnya tenang.Aisyah mengangguk, agak bingung. Biasanya Rayyan akan langsung memberi komentar panjang.Beberap
Kabar Rayyan melaporkan Fadlan ke polisi menyebar cepat. Media menyorotinya, warganet ramai membicarakan. Jika sebelumnya gosip soal dirinya dan Aisyah menguasai headline, kini pemberitaan beralih: “Rayyan Alfarizi Gugat Rival Bisnis Terkait Fitnah dan Pencemaran Nama Baik.”Aisyah membaca berita itu di layar ponselnya dengan tangan bergetar. Di satu sisi ia lega, karena akhirnya ada langkah tegas yang bisa melindungi namanya. Namun di sisi lain, ia khawatir. “Kalau ini malah memicu perang besar?” pikirnya.Di kantor, beberapa rekan kerja mendekatinya.“Wah, hebat ya. Pak Rayyan cepet banget lawan Fadlan di jalur hukum.”“Syukurlah, jadi nama kamu juga ikut bersih, Sya.”Aisyah hanya bisa tersenyum kaku, sementara hatinya berdesir setiap kali nama Rayyan disebut dalam kaitan melindunginya.---Sementara itu, Fadlan tidak tinggal diam. Di ruang kantornya, ia membanting koran dengan kesal.“Dasar brengsek! Dia pikir bisa menang dengan hukum?!” teriaknya.Salah satu asistennya mencoba me