Mag-log inSetelah puas melihat-lihat, ia memutuskan untuk minum teh. Dengan malu-malu duduk di sofa sementara Carter merokok di sudut dekat gazebo. Menyesap tehnya, Khaelia diam-diam menatap profil atasannya. Carter yang ketampanannya tidak seperti manusia pada normal ternyata mempunyai sikap yang ramah. Tidak seperti boss-boss besar pada umumnya yang cenderung menjaga jarak dan bersikap sangat dingin, laki-laki itu justru terlihat santai.
Apakah Khaelia berhalusinasi saat melihat Carter begitu berbeda dalam siraman cahaya bulan? Jangan-jangan memang matanya saja yang salah. Lagi pula ini pertama kalinya mereka berjumpa, apa yang berbeda pun tidak ada yang tahu.
“Enak tehnya?”
Carter yang baru selesai merokok, duduk di samping Khaelia, membuatnya tanpa sadar sedikit bergeser ke samping.
“Enak sekali, Tuan.”
“Kamu nggak ngopi? Biasanya kerja malam takut mengantuk.”
“Tidak, Tuan. Mungkin karena terbiasa malam tidak tidur.”
“Berarti ini bukan pertama kalinya kamu kerja malam?”
Khaelia mengangguk. “Pernah kerja di minimarket yang bukan 24 jam sebelumnya.”
“Kenapa berhenti?”
“Kena rampok dan akhirnya tutup.”
“Wow, apakah saat itu terjadi kamu sedang jaga?”
Sekali lagi Khaelia mengangguk, menahan napas saat teringat peristiwa yang mencekam itu. Ia sedang berjaga minimarket di sebuah jalanan yang cukup ramai tapi tidak menjamin keselamatan. Dua orang masuk dengan niat merampok. Setelah peristiwa itu, minimarket ditutup dan Khaelia kehilangan pekerjaannya. Padahal saat itu bisa dikatakan gajinya cukup bagus.
“Banyak juga pengalamanmu, Khaelia. Jadi sekretaris dan juga kasir minimarket. Tapi, aku yakinkan padamu kalau bekerja denganku tidak akan membahayakan keselamatamu meskipun kita bekerja saat malam.”
“Iya, Tuan.”
Carter menguap dan menutup mulutnya dengan tangan. Berikutnya ia mengernyit heran. “Tumben sekali aku menguap dan merasa sedikit mengantuk. Biasanya aku tidak pernah merasa mengantuk sama sekali, aneh.”
“Mungkin lelah, Tuan.”
“Mungkin. Bisa tolong buatkan aku kopi?”
“Baik, Tuan.”
Khaelia merasa heran karena baru kali ini ada orang bingung karena mengantuk. Bukankah menguap saat malam itu sebuah hal yang wajar? Kenapa Carter justru terlihat gundah? Khaelia tidak membantah, melakukan semua yang diminta bossnya. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda kalau darahnya akan dihisap, meskipun kalau Carter melakukannya sepertinya Khaelia tidak akan menolak.
Bagaimana bisa ia menolak saat melihat wajah tampan itu tersenyum padanya. Sesekali menggodanya dengan mengusap rambut, bahu, atau pun tangannya. Khaelia yang pengalamannya bersama laki-laki hanya sebatas kecupan serta berpegangan tangan, tidak bisa menahan perasaan aneh yang mengusik setiap kali Carter menyentuhnya. Beragam pikiran bermain di benaknya, tentang bagaimana kalau laki-laki itu akan sungguh-sungguh menciumnya? Bayangan tentang bibir mereka yang bertaut membuat dada Khaelia berdebar.
Saat bekerja Carter akan memperlakukannya selayaknya pekerja tapi kala bersantai, mereka akan mengobrol akrab tentang apa pun itu. Menginjak tiga Minggu bekerja Khaelia yang mulai terbiasa dengan ritme kerja Carter, menikmati waktu bergadang untuk menghasilkan uang.
“Khaelia, apa kamu pernah punya pacar?”
Pertanyaan tiba-tiba dari Carter membuat Khealia tersipu-sipu.
“Pernah, Tuan.”
“Oh, ya. Siapa laki-laki itu? Sekarang masih pacaran?”
Khaelia menggeleng. “Tidak lagi, Tuan. Hubungan kami hanya bertahan beberapa bulan saja. Dulu kami adalah teman sekantor.”
Carter duduk di tepi meja Khaelia dan mengernyit. “Kenapa putus?”
Khelia menggigit bibir, kebingungan apakah harus mengungkapkan alasan yang sebenarnya atau tidak. Akhirnya memilih untuk bicara jujur meskipun malu. “Katanya saya ter—lalu lugu. Karena me—nolak saat diajak, itu ...”
Suara Khaelia tenggelam oleh rasa malu. Carter berdecak, meraih dagu Khelia dan mengangkat wajah si sekretaris.
“Aku tahu kenapa kamu menolaknya, karena hatimu tidak sreg untuk melakukan hubungan sex dengannya bukan?”
Khaelia meneguk ludah dan mengangguk. Tatapan mata Carter menghipnotisnya. Jemari laki-laki itu mengusap bibirnya dengan lembut.
“Merasa tidak yakin kalau dia mencintaimu atau tidak? Apa yang dilakukannya sampai membuatmu ragu-ragu?”
“Ehm, dia bersikap baik dan mesra ke semua perempuan.”
“Bajingan miskin kurang ajar! Pantas saja kamu menolaknya. Apakah kalian pernah berciuman?”
“Tiga kali.”
“Dia pandai melakukannya?”
“Eh, entahlah?”
Makin dekat bibir Carter ke bibirnya, makin gugup Khaelia dibuatnya. Entah apa yang diharapakannya tapi sepertinya ia terpikat. Pikiran konyol terlintas dalam benak Khaelia, tidak akan keberatan kalau semisalnya Carter menciumnya.
“Bibirmu ranum, merah, dan basah. Tidak heran kalau laki-laki itu suka menciummu. Apakah kamu tertarik denganku? Bagaimana kalau aku menciummu?”
Khaelia terbelalak, pesona Carter meluluh lantakkan pertahanannya dan tanpa sadar mengangguk. Ia bahkan belum sempat bernapas saat bibirnya dikulum lembut, jemari Carter mengusap dagu dan membuat Khaelia membukan mulut lebih lebar. Ia pernah berciuman sebelumnya tapi tidak seperti ini, panas, menuntut, dan membutakan mata hati.
Khaelia tenggelam dalam kursinya saat Carter menekan makin kuat. Bibir melumat, memagut, dengan lidah mengusap langit-langit mulut. Bibir yang dicium tapi jiwa yang terenggut musnah.
Semua pelayan yang bekerja di sini memakai seragam hitam dengan celemek dan penutup rambut putih. Mirip seperti pelayan yang dilihat dalam gambar-gambar komik. Rupanya dunia yang megah memang ada di Devil Town, hanya saja dirinya terlalu lugu, polos, dan kuper hingga kurangnya pengetahuan. Khaelia tidak akan kaget seandainya ada kebun binatang di belakang rumah. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tanpa sadar membuat Khaelia tersenyum. Ia menunggu nyaris sepuluh menit dan tidak ada tanda-tanda kemunculan Carter.Memutuskan untuk tetap berdiri karena takut mengotori sofa kalau duduk. Coba-coba mengamati lukisan jalanan di dinding, berlagak seakan tertarik padahal tidak mengerti apa pun soal lukisan. Ia mengernyit ke arah lukisan jalanan didominasi warna orange dan biru dengan obyek jalan, orang-orang, serta kafe. Entah kenapa lukisan yang terlihat sederhana diletakkan di ruang tengah? Khaelia merasa otaknya tidak cukup cemerlang untuk berpikir soal seni.Hampi
Di dalam kamar luas berdinding putih dengan parabot mewah dan mahal, Eiwa duduk di pinggir ranjang dengan cemas. Sesekali pandangannya tertuju pada ruang wardrobe di mana suaminya sedang berganti pakaian. Waktu makan malam hampir tiba, ia sudah rapi dengan gaun putih semata kaki tapi suaminya sampai sekarang belum beres juga.Sudah menjadi kebiasaan di rumah ini, setiap kali makan bersama akan memakai pakaian indah dan bagus. Semuanya demi meningkatkan nafsu makan agar menyantap hidangan lebih lezat. Kebiasaan ini sudah turun temurun dilakukan oleh keluarga Solitaire dan mereka meneruskannya hingga sekarang. Eiwa menggigit bibir bawah dengan cemas, menajamkan pendengaran seakan takut akan mendengar sesuatu padahal situasi sangat tenang. Meskipun ada suara angin ribut ataupun pertengkaran bisa dipastikan tidak akan terdengar sampai di kamar karena rumah mereka terlalu luas dan besar.Menghela napas berkali-kali hingga membuat dadanya turun naik. Ketidaksabaran membuat E
Mengantri hampir dua jam untuk layanan yang tidak lebih dari dua puluh menit. Perutnya keroncongan dan memutuskan untuk makan di kedai yang menyediakan beragam olahan mi. Memesan mi bebek goreng dan segelas es teh. Ia sedang makan dengan lahap saat beberapa orang memasuki kedai. Khaelia tidak melihat mereka sampai salah satu dari orang itu meneriakkan namanya.“Khaelia? Ini kamu? Nggak nyangka ketemu di sini.”Khaelia mendongak, menatap terkejut pada dua laki-laki dan tiga perempuan yang mendatangi mejanya. Ia mengenal semua orang ini sebagai mantan teman sekantor dulu. Satu sosok laki-laki muda dengan kemeja biru tersenyum padanya.“Khaelia apa kabarmu?”Bagaimana ia harus bereksi saat bertemu dengan mantan kekasihnya. Yardan menarik kursi dan tanpa diundang duduk tepat di sampingnya.“Aku mendengar kamu sudah mendapatkan pekerjaan baru setelah minimarket tutup karena perampokan. Benar itu?”Khaelia menga
Jam kerja baru saja selesai, Khaelia bersiap untuk pulang saat Carter menyergapnya. Malam ini keduanya sangat sibuk sampai nyaris tidak mengobrol satu sama lain. Makan dan istirahat pun hanya sekedarnya karena diburu waktu. Begitu selesai, kelegaan melanda Khaelia. Ingin cepat memakai jaket karena merasa kedinginan. Sayangnya tidak mudah melakukan itu karena Carter yang memeluknya dan mengusap tubuhnya sembarangan.“Bulu kudukmu merinding, kamu kedinginan Cara?”“Iya, Tuan.”“Ternyata tubuhmu lemah juga, tanpa bra dan celana dalam merasa kedinginan. Bagaimana kalau aku hangatkan sekarang?”Khaelia sudah menduga cara yang digunakan untuk menghangatkan tubuh berupa bercinta dengan liar di atas meja. Carter mengangkatnya ke atas meja yang kosong, menarik roknya ke atas dan membuka kemejanya. Meremas dada, mengisap puting, dan menyatukan tubuh mereka dengan penuh hasrat.Selama beberapa jam, Khaelia yang sibuk melupa
Sekarang ini Carter bukan hanya merasa marah dan kesal tapi juga sangat geram. Karenia boleh saja beranggapan apa yang dilakukannya bukan hal buruk tapi bagi Carter sangat menganggu. Kalau tidak ingat hubungan mereka, ingin rasanya ia mendorong perempuan ini hingga terjengkang ke karpet.Saat ia dilanda kemarahan yang memuncak, penyelamat datang dalam bentuk adik bungsunya. Clovis menuruni tangga setengah berlari, berdiri di hadapannya dengan sedikit terengah.“Kak, Mama baru saja telepon katanya ada hal penting. Kakak harus meneleponnya sekarang.”Kata-kata Clovis membuat Karenia melepaskan pelukannya, menggunakan kesempatan itu Carter melesat pergi.“Thanks, aku akan telepon Mama di mobil.”Carter sungguh-sungguh berterima kasih pada adiknya yang sudah menyelamatkannya dari gangguan Karenia. Ia menstarter kendaraan dan melesat cepat mengitasi halaman menuju jalanan. Merasa lega terbebas dari kukungan rumah besar i
Khaelia berjalan melintasi lobi dari pintu samping dengan sedikit kikuk. Takut kalau akan terpergok orang lain. Bagaimana tidak, Carter memintanya datang ke kantor malam ini tanpa menggunakan bra dan celana dalam. Bagian atas kemeja putih dengan rok selutut. Terpaksa Khaelia menutupi tubuhnya dengan jaket abu-abu, agar putingnya yang menegang tidak terlihat. Untungnya Carter mengirim uang untuk ongkos taxi, kalau tidak pasti dirinya bangkrut karena tidak bisa lagi berhemat dengan berangkat kerja menggunakan angkutan umum.Ia memelankan langkah saat melihat tiga sosok perempuan dari pemasaran yang waktu itu pernah dilihatnya. Tidak ingin bertemu mereka apalagi berebut lift, ia memilih untuk berhenti di dekat pilar. Ketiga perempuan itu bicara sambil tertawa-tawa gembira. Khaelia mengamati mereka dalam diam, teringat akan beberapa temannya yang sekarang tidak pernah lagi mengubunginya.Saat di kantor yang lama, Khaelia dekat dengan beberapa teman kantor. Posisinya sebaga







