Mag-log inWaktu berlalu dengan cepat dan tanpa terasa sudah satu bulan Khaelia bekerja dengan Carter. Setiap hari melalui rutinitas yang sama. Membuat kopi, menyusun berkas, melakukan penjadwalan, dan setiap pukul 12 malam keduanya beristirahat 30 menit. Sesekali Carter memanggil pelayan untuk membawa cemilan dan mengajak Khaelia mencicipinya.
Dengan senang hati Khaelia memakan semua yang disuguhkan, selain karena gratis semua makanan berkualitas tinggi dengan rasa yang luar biasa lezat. Ia tidak makan camilan dengan aroma mentega yang begitu menggugah. Tidak lupa, berciuman dengan hangat sambil berbagi kopi.
Khaelia tidak pernah tahu kalau ciuman bisa memabukkan dan membuat candu. Ia pernah melakukannya dengan kekasihnya yang dulu, tapi rasanya sungguh berbeda. Dengan Carter ada kehangatan, mendamba, dan gairah yang tersembunyi. Sering kali ia membayangkan bagaimana kalau jadinya tidak hanya berciuman tapi hal lain?
Hal Iain seperti apa? Bercumbu? Setelah pertemuan hari pertama di mana Carter dengan berani menyentuh lehernya, tidak pernah ada lagi sentuhan. Mereka berciuman dengan tubuh saling mendekat, tapi seolah ada yang kurang? Apakah karena tidak pelukan? Khaelia mendesah, menyadari kalau pikirannya bergerak dengan liar.
“Fokus saja sebagai sekretaris. Jangan pikir hal lain. Ingat, besok terima gaji pertama.”
Terlepas dari ciuman yang selalu mereka lakukan, Carter memperlakukannya dengan baik, begitu pula Bosman yang belakangan diketahui adalah asisten pribadi. Satu hal yang tidak boleh dilanggar oleh Khaelia adalah merahasiakan pekerjaannya.
“Kamu boleh bilang kerja di sini, tapi jangan katakan kamu adalah sekretaris Tuan Carter. Ini rahasia antara kita saja,” ucap Bosman suatu hari saat menemui Khaelia yang baru naik lift.
“Iya, Pak. Pasti akan saya jaga rahasianya.” Bukankah dari hari pertama peringatan itu sudah diberikana? Kenapa Bosman mengulanginya?
“Pegawai di sini tahunya kamu kerja di atas itu bersih-bersih. Jangan tersinggung Khaelia tapi banyak yang tidak tahu keberadaan Tuan Carter.”
Kali ini Khelia terbelalak, tergelitik untuk bertanya lebih banyak soal Carter. “Hah, kenapa begitu, Pak? Bukankah Tuan Carter adalah pemilik? Maaf, hanya tanya saja.”
Khaelia menggigit bibir, merasa sudah salah kata. Tidak seharusnya bertanya hal yang bukan urusannya. Untungnya Bosman hanya tersenyum dan justru menjawab pertanyaannya.
“Suatu saat kamu akan mengerti alasannya. Sekarang ini yang harus kamu lakukan adalah tetap berada di samping Tuan Carter, apa pun yang terjadi.”
Memangnya apa yang bisa terjadi pada Carter yang kaya raya dan berkuasa? Bosman mengatakan seolah-olah Carter berada dalam bahaya. Padahal hampir setiap hari mereka bersama dan sejauh ini tidak ada masalah yang mengganggu keselamatan Carter. Setidaknya itu yang diketahui oleh Khaelia. Namun, semua pesan dari Bosman diterima dengan baik tanpa ada bantahan darinya.
Sebentar lagi ia akan menerima gaji dan menurutnya menyembunyikan pekerjaannya dari orang luar bukan hal sulit. Lagi pula keluarga bibinya bukan tipe orang yang suka ikut campur urusannya kecuali sepupunya. Kalau itu memang sudah sedari dulu mereka bersaing. Setidaknya dalam bayangan sepupunya yang bernama Mila.
“Baik, Pak. Saya mengerti sepenuhnya.”
Setiap malam Khaelia masuk kerja secara diam-diam tanpa banyak pegawai lain tahu. Ia diberi akses khusus dari pintu samping. Saat datang, masih banyak pegawai yang belum pulang dan demi menghindari bertemu mereka, ia datang secara sembunyi-sembunyi. Apakah Khaelia penasaran kenapa cara bekerjanya begitu rahasia? Tentu saja ia ingin tahu tapi demi menghormati privacy Carter, memilih untuk menyimpan semua pertanyaan dalam hati. Laki-laki tampan biasanya suka memperlihatkan keberadaan mereka pada orang-orang, tapi Carter memang berbeda.
“Khaelia, apa kamu punya paspor?” tanya Carter suatu malam.
“Tidak ada, Tuan.”
“Sebaiknya kamu mulai membuat dari sekarang.”
Khaelia mengagguk, menuruti apa kata Carter dan saat senggang menyiapkan dokumen pribadi untuk membuat paspor. Hampir setiap hari rutinitasnya sama,berangkat kerja saat senja dan pulang menjelang matahari terbit. Setelah tidur cukup, bangun untuk merawat ibunya. Ia tidak segan mengeluarkan uang untuk perawat yang datang bekerja setengah hari kalau dirinya terlalu lelah. Jam kerjanya selalu melewati waktu dan siangnya ia nyaris tidur sepanjang hari.
“Pekerjaan kamu apa, sih? Kasir minimarket lagi?” celetuk Mila saat mendapati Khaelia sedang makan siang.
Khaelia menjawab tanpa kata, hanya menggeleng kecil dengan mulut mengunyah makan sayur sop. Ada telur ceplok sebagai lauk. Bukan makanan istimewa tapi cukup mengganjal perutnya.
“Bukan kasir? Tumben. Kerja apa kalau gitu? Biasnya kerja malam kalau nggak minimarket ya bar. Jangan-jangan kerja di diskotik?”
Lagi-lagi Khaelia menggeleng. “Bukan di bar, hanya admin gudang.”
Mila adalah gadis berambut ikal sebahu dengan bibir tebal. Mendengkus keras lalu menarik kursi di depan Khaelia. “Padahal sarjana tapi malah suka kerja jadi buruh begitu. Nggak sayang ijazah?”
Semua pelayan yang bekerja di sini memakai seragam hitam dengan celemek dan penutup rambut putih. Mirip seperti pelayan yang dilihat dalam gambar-gambar komik. Rupanya dunia yang megah memang ada di Devil Town, hanya saja dirinya terlalu lugu, polos, dan kuper hingga kurangnya pengetahuan. Khaelia tidak akan kaget seandainya ada kebun binatang di belakang rumah. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tanpa sadar membuat Khaelia tersenyum. Ia menunggu nyaris sepuluh menit dan tidak ada tanda-tanda kemunculan Carter.Memutuskan untuk tetap berdiri karena takut mengotori sofa kalau duduk. Coba-coba mengamati lukisan jalanan di dinding, berlagak seakan tertarik padahal tidak mengerti apa pun soal lukisan. Ia mengernyit ke arah lukisan jalanan didominasi warna orange dan biru dengan obyek jalan, orang-orang, serta kafe. Entah kenapa lukisan yang terlihat sederhana diletakkan di ruang tengah? Khaelia merasa otaknya tidak cukup cemerlang untuk berpikir soal seni.Hampi
Di dalam kamar luas berdinding putih dengan parabot mewah dan mahal, Eiwa duduk di pinggir ranjang dengan cemas. Sesekali pandangannya tertuju pada ruang wardrobe di mana suaminya sedang berganti pakaian. Waktu makan malam hampir tiba, ia sudah rapi dengan gaun putih semata kaki tapi suaminya sampai sekarang belum beres juga.Sudah menjadi kebiasaan di rumah ini, setiap kali makan bersama akan memakai pakaian indah dan bagus. Semuanya demi meningkatkan nafsu makan agar menyantap hidangan lebih lezat. Kebiasaan ini sudah turun temurun dilakukan oleh keluarga Solitaire dan mereka meneruskannya hingga sekarang. Eiwa menggigit bibir bawah dengan cemas, menajamkan pendengaran seakan takut akan mendengar sesuatu padahal situasi sangat tenang. Meskipun ada suara angin ribut ataupun pertengkaran bisa dipastikan tidak akan terdengar sampai di kamar karena rumah mereka terlalu luas dan besar.Menghela napas berkali-kali hingga membuat dadanya turun naik. Ketidaksabaran membuat E
Mengantri hampir dua jam untuk layanan yang tidak lebih dari dua puluh menit. Perutnya keroncongan dan memutuskan untuk makan di kedai yang menyediakan beragam olahan mi. Memesan mi bebek goreng dan segelas es teh. Ia sedang makan dengan lahap saat beberapa orang memasuki kedai. Khaelia tidak melihat mereka sampai salah satu dari orang itu meneriakkan namanya.“Khaelia? Ini kamu? Nggak nyangka ketemu di sini.”Khaelia mendongak, menatap terkejut pada dua laki-laki dan tiga perempuan yang mendatangi mejanya. Ia mengenal semua orang ini sebagai mantan teman sekantor dulu. Satu sosok laki-laki muda dengan kemeja biru tersenyum padanya.“Khaelia apa kabarmu?”Bagaimana ia harus bereksi saat bertemu dengan mantan kekasihnya. Yardan menarik kursi dan tanpa diundang duduk tepat di sampingnya.“Aku mendengar kamu sudah mendapatkan pekerjaan baru setelah minimarket tutup karena perampokan. Benar itu?”Khaelia menga
Jam kerja baru saja selesai, Khaelia bersiap untuk pulang saat Carter menyergapnya. Malam ini keduanya sangat sibuk sampai nyaris tidak mengobrol satu sama lain. Makan dan istirahat pun hanya sekedarnya karena diburu waktu. Begitu selesai, kelegaan melanda Khaelia. Ingin cepat memakai jaket karena merasa kedinginan. Sayangnya tidak mudah melakukan itu karena Carter yang memeluknya dan mengusap tubuhnya sembarangan.“Bulu kudukmu merinding, kamu kedinginan Cara?”“Iya, Tuan.”“Ternyata tubuhmu lemah juga, tanpa bra dan celana dalam merasa kedinginan. Bagaimana kalau aku hangatkan sekarang?”Khaelia sudah menduga cara yang digunakan untuk menghangatkan tubuh berupa bercinta dengan liar di atas meja. Carter mengangkatnya ke atas meja yang kosong, menarik roknya ke atas dan membuka kemejanya. Meremas dada, mengisap puting, dan menyatukan tubuh mereka dengan penuh hasrat.Selama beberapa jam, Khaelia yang sibuk melupa
Sekarang ini Carter bukan hanya merasa marah dan kesal tapi juga sangat geram. Karenia boleh saja beranggapan apa yang dilakukannya bukan hal buruk tapi bagi Carter sangat menganggu. Kalau tidak ingat hubungan mereka, ingin rasanya ia mendorong perempuan ini hingga terjengkang ke karpet.Saat ia dilanda kemarahan yang memuncak, penyelamat datang dalam bentuk adik bungsunya. Clovis menuruni tangga setengah berlari, berdiri di hadapannya dengan sedikit terengah.“Kak, Mama baru saja telepon katanya ada hal penting. Kakak harus meneleponnya sekarang.”Kata-kata Clovis membuat Karenia melepaskan pelukannya, menggunakan kesempatan itu Carter melesat pergi.“Thanks, aku akan telepon Mama di mobil.”Carter sungguh-sungguh berterima kasih pada adiknya yang sudah menyelamatkannya dari gangguan Karenia. Ia menstarter kendaraan dan melesat cepat mengitasi halaman menuju jalanan. Merasa lega terbebas dari kukungan rumah besar i
Khaelia berjalan melintasi lobi dari pintu samping dengan sedikit kikuk. Takut kalau akan terpergok orang lain. Bagaimana tidak, Carter memintanya datang ke kantor malam ini tanpa menggunakan bra dan celana dalam. Bagian atas kemeja putih dengan rok selutut. Terpaksa Khaelia menutupi tubuhnya dengan jaket abu-abu, agar putingnya yang menegang tidak terlihat. Untungnya Carter mengirim uang untuk ongkos taxi, kalau tidak pasti dirinya bangkrut karena tidak bisa lagi berhemat dengan berangkat kerja menggunakan angkutan umum.Ia memelankan langkah saat melihat tiga sosok perempuan dari pemasaran yang waktu itu pernah dilihatnya. Tidak ingin bertemu mereka apalagi berebut lift, ia memilih untuk berhenti di dekat pilar. Ketiga perempuan itu bicara sambil tertawa-tawa gembira. Khaelia mengamati mereka dalam diam, teringat akan beberapa temannya yang sekarang tidak pernah lagi mengubunginya.Saat di kantor yang lama, Khaelia dekat dengan beberapa teman kantor. Posisinya sebaga







