Mag-log in
Dentuman musik memenuhi ruangan, lampu-lampu neon berkilau di antara orang-orang yang menari di bar hotel malam itu. Gea Andriana tersenyum kecil sambil memegang gelas koktailnya. Malam ini seharusnya menyenangkan. Teman-teman satu jurusannya merayakan kelulusan beberapa senior, dan Gea berniat melepas penat setelah satu minggu penuh tugas.
Awalnya, semuanya baik-baik saja. Hingga matanya menangkap sosok yang familiar. Langkah Gea terhenti. Napasnya membeku. Di sudut ruangan, seorang pria yang sangat ia kenal tengah memeluk pinggang seorang wanita berbaju seksi. Kepalanya menunduk, mencium bibir wanita itu dengan rakus tanpa rasa bersalah sedikit pun. Gea tidak percaya. Itu Marvel Kekasih yang selama satu tahun ini ia percaya mati-matian. Suhu di tubuh Gea seolah turun drastis. Tanpa berpikir panjang, dia menghampiri mereka dan mendorong tubuh Marvel . "Marvel!" Plak! Tamparan keras melayang menghantam pipi laki-laki itu. Suaranya begitu nyaring, sampai beberapa orang menoleh. Rasa sakit menguar di wajah Marvel, namun rasa sakit di dada Gea jauh lebih hebat. “Apa yang kamu lakukan… hah!?” suara Gea pecah, nyaris bergetar. Elgar terkejut, matanya membesar. “Gea? Kok kamu ada di sini?” Wanita seksi itu memeluk lengan Marvel semakin erat. “Sayang, siapa wanita ini?” Dan jawaban Marvel menghancurkan seluruh benteng pertahanan Gea. “Dia bukan siapa-siapa aku.” Gea merasakan jantungnya diremas. Seolah seluruh dunia berhenti hanya untuk memperlihatkan betapa bodohnya dia mempercayai pria yang sedang merendahkannya. “Kamu jahat, Marvel…” suara Gea melemah. Gea tidak kuat lagi berada di hadapan Marvel dan wanita itu. Nafasnya tercekat, matanya panas, dan dadanya terasa sesak. Tanpa menoleh lagi, Gea berbalik dan berjalan cepat menuju meja tempat teman-temannya berkumpul. Tangannya gemetar saat meraih gelas terdekat dan menenggaknya dalam sekali teguk, seolah alkohol bisa menghapus rasa sakit di dadanya. “Kamu yang sabar, ya, Gea.” Raya menepuk pundaknya lembut. Namun suara itu seperti angin lewat. Gea hampir tidak mendengar apa pun. Suara musik, suara orang-orang, semuanya samar. Yang jelas hanya satu: pengkhianatan yang masih membekas di pikirannya. Gea mengambil gelas kedua. Ketiga. Keempat. Setiap tegukan membuat pikirannya semakin melayang menjauh dari kenyataan. “Gea, jangan banyak minum. Nanti kamu mabuk,” peringatan Raya. "Benar kata Raya, memang Marvel aja yang berengsek," kata Nadia ikut membela. Tapi Gea tidak peduli. Dadanya masih terasa seperti diiris. Semakin banyak alkohol masuk, semakin ia berharap bisa lupa walau hanya beberapa menit. Setelah beberapa lama, tubuhnya mulai oleng. Gea memegang kepala, berdiri dengan susah payah. “Aku mau pulang…” “Mau kuantar?” tanya Nadia, wajahnya khawatir. Gea menggeleng dengan senyum kecil yang jelas hanya menutupi luka. “Nggak usah.” Dia menoleh lalu berjalan keluar dari bar. Langkahnya goyah, tapi dia memaksakan diri. Tangga hotel tampak berputar, tapi Gea tetap menuruni satu per satu, dengan hati yang semakin berat. Di tengah langkah yang tidak stabil, bruk! Gea menabrak seseorang, tubuhnya hampir terjatuh bila saja tangan kuat itu tidak cepat menangkap pinggangnya. “Pelan-pelan. Anda tidak apa-apa?” Suara seorang pria terdengar rendah dan berwibawa. Gea mendongak. Sosok pria tinggi berdiri tepat di hadapannya. Wajahnya tajam, rahangnya tegas, dan tatapannya… memikat. Terlalu memikat untuk seseorang yang baru saja hancur hatinya. Gea terpaku beberapa detik. Alkohol di kepalanya membuat semua batasan hilang. Tanpa berpikir panjang, Gea menarik wajah pria itu dan menciumnya dengan berani. Laki-laki itu terkejut. Tubuhnya menegang sejenak, tapi hanya sejenak. Lidahnya kemudian merespons, lembut namun semakin menuntut, seolah menikmati aroma manis alkohol yang menempel di bibir Gea. “Bercinta denganku…” bisik Gea dengan suara serak sensual. Tatapan pria itu berubah. Ada api. Ada dorongan. Ada sesuatu yang tidak bisa ditahan lagi. Tanpa kata tambahan, pria itu membungkuk dan menggendong Gea dengan mudah, seolah tubuhnya tidak berbobot. Gea tersenyum samar, menyandarkan kepalanya di bahunya. Mereka memasuki kamar hotel. Pintu tertutup di belakang mereka, memutuskan dunia luar. Pria itu menurunkan Gea di atas ranjang dengan perlahan. Gea langsung meraih dasi pria itu, menariknya dengan cepat dan berantakan. Nafasnya terengah, matanya setengah terbuka penuh rayuan. Pria itu menatapnya, sedikit terkejut sekaligus terpesona. Gea mengangkat kakinya dan menyentuhkan tumitnya ke dada bidang pria tersebut, menggodanya tanpa ragu. Sebuah aksi yang tidak pernah dilakukan siapa pun sebelumnya pada pria itu. Pria tersebut memiringkan senyuman berbahayanya, namun penuh dengan menantang. Dengan perlahan, ia membuka kancing kemejanya satu per satu, membiarkan dada bidangnya terlihat di bawah cahaya lampu kamar. “Kamu sangat berani,” katanya dengan nada rendah yang membuat bulu kuduk Gea meremang. Pria itu memegang pinggang Gea, lalu mendorong tubuhnya ke atas kasur. Gea terbaring, napasnya tersengal. Dan tanpa memberi kesempatan Gea untuk berpikir, pria itu menindih tubuhnya, mencium bibirnya dengan kenikmatan yang membuat seluruh tubuhnya meleleh. Gea merasakan tubuh pria itu mendekat lebih erat.. Kulitnya merinding, bukan karena dingin, tapi karena sensasi yang mengalir begitu kuat hingga sulit digambarkan dengan kata-kata. “Ngg… ah…” Gea menggigit bibirnya, kedua tangannya meraih pundak pria itu, menariknya lebih dekat, seakan ingin menyatu dengannya sepenuhnya. Pria itu menahan pinggangnya, semakin menunduk hingga dahi mereka bersentuhan. Nafas mereka bercampur, panas, berat, dan memabukkan. “Lihat aku…” bisik pria itu, suaranya dalam dan menuntut. Gerakannya semakin kuat, namun tetap ritmis dan terkontrol, membuat Gea tersentak kecil di bawahnya. Setiap dorongan membawa sensasi baru yang membuat tubuhnya bergetar lemah. **** Pagi hari yang begitu sangat cerah, membangunkan sosok Gea yang masih terlelap dalam tidurnya. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, dia berusaha untuk bangun tetapi tubuhnya terasa sangat berat. Sampai dia melihat tangan kekar yang memeluk dirinya, membuat Gea langsung refleks menoleh kearah samping. Betapa terkejutnya dia ketika melihat pria asing yang sedikit tampan disampingnya. “Aduh, kenapa rasanya begini berat?” gumamnya lirih. Ia mengucek mata, mencoba meraih selimut, tapi tangannya justru menyentuh sesuatu yang lain. Sesuatu yang hangat dan keras. Tangan kekar. Detik itu juga Gea langsung menoleh. Jantungnya serasa meloncat keluar dari dada ketika mendapati pria asing dengan rahang tegas dan rambut sedikit berantakan, tertidur damai di sampingnya. Nafasnya stabil, badan telanjangnya terbalut hanya setengah selimut. “A-astaga…” Gea menutup mulutnya. “Apa yang aku lakukan?!” Panik, ia buru-buru melepaskan tangan pria itu dari pinggangnya. Ia bangun terlalu cepat, hingga rasa ngilu di antara pahanya membuatnya meringis. “Sialan, ini pertama kalinya,” desisnya kesal pada diri sendiri. Kamar itu berantakan, baju berserakan, sepatu terlempar jauh, bahkan kancing kemejanya hilang entah ke mana. Gea memijit pelipis, mencoba mengingat potongan semalam: Pria itu menangkapnya saat hampir jatuh kemarin. Dia mengingatnya sekarang dan itu sangat memalukan. Pandangan mereka bertemu, dan tiba-tiba dia malah mengajak pria asing itu. “Mari bercinta,” katanya sendiri… Gea menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Oh Tuhan, aku yang mulai duluan” Ia buru-buru memakai bajunya serabutan. Setiap gerakan memicu sedikit rasa sakit, tapi ia memaksa. Rasa malu bercampur frustasi membuatnya ingin menghilang dari muka bumi. Ketika dia hendak meraih dompet, pria di kasur itu menggeliat pelan. Napas Gea langsung tercekat. Refleks dia langsung menoleh kearah pria tersebut. Pria itu membuka mata, menatapnya dengan pandangan yang masih setengah sadar. Suaranya berat dan serak ketika bicara. “Hm, kamu mau pergi?” Gea tak sanggup menghadapi tatapannya. Tanpa berpikir panjang, ia merogoh dompet, mengambil beberapa lembar uang, lalu meletakkannya di meja samping. “Terima kasih untuk tadi malam,” katanya cepat, suaranya pecah karena gugup. “Saya harap Anda melupakan semuanya.” Hening. Pria itu menatap uang itu. Alisnya bergerak naik, antara bingung dan tersinggung. “Kamu pikir aku—” “Tolong, cukup. Anggap saja kita tidak pernah bertemu.” Gea membungkuk singkat, lalu buru-buru keluar sebelum pria itu sempat menyelesaikan kalimat. Dia tidak mau bertemu dengan pria asing yang menyebalkan itu. Pintu tertutup. Pria itu duduk tegak sekarang, rambutnya sedikit acak, ekspresinya tidak bisa dibaca. Ia mengambil uang itu, memutarnya di tangan, lalu mendecak rendah. “Wanita aneh…” Namun sudut bibirnya terangkat dalam senyum tipis, senyum yang berbahaya. Ia mengusap wajah, mencoba mengingat jelas wanita itu. Mata itu, kulitnya, tubuhnya yang menggeliat membuat dia tertarik. "Seksi dan menarik," gumamnya. Pria tersebut memunguti baju yang berserakan, lalu dia mengingat kembali wanita tadi. "Namanya siapa yah?" BERSAMBUNGRumor tentang Gea berada di perpustakaan bersama dengan Stafano kini kian menyebar. Semuanya karena Satpam itu yang membicarakan ini pada penjaga lainnya. Bahkan mahasiswa lain juga ada yang ikut mendengar rumor tersebut. "Tidak menyangka yah, Gea orang yang seperti itu.""Demi nilai, dia merendahkan dirinya sendiri," bisik yang lainnya. Banyak sekali orang yang membicarakan tentang dirinya. Semuanya saling berhubungan satu sama lain. Bahkan dia tidak yakin semuanya jadi seperti ini. Gea melewati orang-orang yang membicarakan dirinya, ada rasa malu dan rasanya dia ingin pergi dari sini. Bruk Gea tidak sengaja menabrak dada seseorang karena terburu-buru. "Aw...""Kamu tidak apa-apa?" tanya Stefano yang kini menatap kearah Gea. Gea langsung bersidekap menatap kearah Stefano dengan pandangan yang sedikit sinis. "Pak Stefano sengaja yah nabrak saya?" tuduh Gea. "Justru kamu yang sengaja menabrak saya," kata Stefano dengan santai. Seketika Gea teringat dengan rumor tentang dirin
Gea langsung panik ketika melihat satpam itu memergoki dirinya dengan Stefano, bahkan dengan posisi mereka sekarang yang sulit sekali untuk diartikan. "Pak Stefano, anda dengan mahasiswa itu! Astaga."Satpam itu langsung pergi dengan begitu saja setelah melihat Gea dan Stefano dengan posisi Stefano menindih tubuh Gea. "Tunggu, Pak. Ini tidak seperti yang sebenarnya!"Gea langsung mendorong tubuh Stafano, dia berusaha untuk menjelaskan semuanya. Khawatir kalau nanti malah akan menjadi rumor buruk. "Sudahlah, dia sudah pergi."Stefano bangun kembali setelah dia tidak sengaja mencium bibir manis milik Gea tadi. Sedangkan Gea melotot tajam kearah Stefano. Dia benar-benar masih kesal dan tidak percaya dengan semuanya. "Ini semuanya gara-gara Pak Stefano. Coba saja tadi tidak seperti itu, mungkin satpam itu tidak akan salah paham!" marah Gea dengan Stefano. "Kok kamu kesananya kaya menyalahkan saya? Sudah jelas bahwa tadi itu kecelakaan, kamu tidak lihat benda itu tadi jatuh," tunjuk
Perpustakaan Gea berada di sebuah perpustakaan dan mencari buku tentang sistem digital. Kebetulan sekali dia adalah seorang mahasiswa tehnik elektro. Dia mencari di tumpukan buku. "Mana sih, gak ada," umpat Gea dengan kesal. Dia tidak menemukan buku yang dia cari, padahal ini sudah hampir larut malam, dia tidak tahu buku itu berada di mana. Akhirnya dia mengambil ponselnya dan memutuskan untuk menghubungi Raya. "Hallo Raya.""Kenapa Gea, malam-malam malah menghubungi aku?""Buku yang waktu itu, tentang sistem digital tidak ditemukan. Bahkan modulnya juga tidak ada. Aku sudah mencarinya di perpustakaan kampus.""Tunggu dulu, kamu jam telah malah begini ada di kampus? Astaga Gea kamu gila yah!" ujar Raya dengan nada yang sedikit panik. Apalagi ini sudah malam, membuat Raya jadi khawatir dengan Gea. "Biasa aja kali, lagian aku juga ke perpustakaan kampus untuk mencari buku. Bukan buat hal yang aneh-aneh," balas Gea dengan santai. "Iya tetapi saja Gea. Ini sudah malam, besok saja
"Itu sangat memalukan!"Gea sudah berada di sebuah kafe dan dia tengah menyusun gelas dengan benar. Dia terus saja memikirkan dosen barunya itu. Bisa-bisanya tadi dia malah asal masuk ke dalam mobil orang dan ternyata adalah mobil dosennya sendiri. "Memalukan. Kenapa malah masuk mobil dia pula?"Gea terus merutuki kesalahannya tadi, sampai ada salah satu temannya datang menghampiri dirinya. Dia adalah Andin."Gea, tolong kamu kasih kopi late ini ke meka nomor 9 yah."Gea hanya mengangguk mendengarkan apa yang dikatakan oleh Andin. "Okeh."Akhirnya Gea memutuskan untuk berjalan menuju kearah meja yang disebutkan oleh Andin barusan. Baru beberapa langkah dia langsung menaikan sebelah alisnya. "Sepertinya aku tidak asing dengan orang itu," gumam Gea. Dia memastikan kembali orang yang tengah duduk barusan. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. "Pak Stefano, tidak mungkin dia bukan? Pasti itu karena aku terlalu memikirkan orang itu, makanya tamu yang datang seperti dalam bayanganku. Ti
Gea di depan pintu ruangan pribadi milik Stefano. Ada rasa perasaan gelisah ketika dia handak akan masuk ke dalam ruangan tersebut. Akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk pintu dengan pelan. Tok tok tok..."Masuk."Mendengar suara maskulin itu membuat Gea sedikit ragu, sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan itu. Setelah dia masuk ke dalam, akhirnya dia melihat pria berbadan tinggi dengan tubuh yang kekar. Laki-laki itu melepaskan kacamatanya. "Maaf Pak Stefano, saya hanya ingin memberikan buku ini."Ingin rasanya Gea pergi dengan begitu saja dari tempat ini. Apalagi atmosfer disekitarnya sudah merasa tidak nyaman. "Kamu masuk langsung pergi begitu saja?" "Maksud Pak Stefano?" tanya Gea menaikan sebelah alisnya heran. Stefano mengangkat pandangannya perlahan, menatap Gea yang kini berdiri canggung di depan pintu. Tatapan mata laki-laki itu tajam namun tenang, seolah bisa menembus kegelisahan yang Gea rasakan.“Kenapa berdiri di situ? Duduklah.” Suarany
Gea sudah mulai melupakan kejadian yang terjadi padanya. Dia tidak tahu pria asing yang tidur dengan dirinya semalam. Gea duduk di kursi kampusnya, berusaha terlihat tenang di antara mahasiswa lain. Tapi pikirannya terus berputar. Ia menatap kosong halaman catatan yang belum disentuh sama sekali.“Hei, kamu malah melamun,” suara familiar membuyarkan lamunannya.Gea menoleh cepat. “Astaga, Raya, kamu bikin kaget aja!”Raya mengangkat alis, menatap sahabatnya dengan senyum menggoda. “Kamu masih mikirin pacar kamu yang selingkuh itu, ya?”“Ingat yah Raya, mantan pacar. Aku sudah putus dengan dia!” dengus Gea dengan nada yang sedikit marah. Raya ikut menanggapi karena kemarin dia melihat sendiri bagaimana orang itu selingkuh. “Sorry lupa. Laki-laki bajingan itu memang pantas kamu tinggalkan.”"Iya betul.""Oh iya, semalam kamu langsung pulang? Aku tidak bisa mengantar kamu," ujar Raya. Pertanyaan itu membuat napas Gea tertahan sesaat. Seketika, kenangan samar itu datang, kilatan lampu k







