Angin bertiup lembut membelai dedaunan yang dengan riang bergoyang. Gesekan demi gesekannya menciptakan musik alam yang amat indah, membuat siapa pun terlena akan alunannya.
Ditengah suasana damai itu, seorang bocah berparas cantik nampak asyik membaca buku di bawah pohon yang rindang. Kulitnya yang putih bersih bagaikan giok murni yang berkilau terkena sinar matahari.Bola mata beriris kelam dengan kilau keemasan itu bergerak secara perlahan, mengikuti baris demi baris bacaan yang menyita seluruh perhatiannya. Ia sama sekali tak peduli dengan sang angin yang sejak tadi asyik menggoda rambut hitamnya yang lembut bagai sutra.Baru saja ia akan membalik halaman bukunya, terdengar beberapa pasang langkah mendekat. Ia tak bergeming. Dengan tenang ia membalikkan halaman buku, lalu kembali membaca."Hei, Nona! Apa kau sendirian hari ini?"Anak itu tak menjawab. Ia masih terlihat tenang membaca tanpa mempedulikan sepuluh pemuda yang kini berdiri mengelilinginya."Tuan Muda, sepertinya Nona Xi ini malu-malu. Apa kita bawa saja dia sekarang?""Hahaha ... benar, Tuan Muda. Selagi Kakak gadis ini tidak ada, sebaiknya kita menculiknya saja."Pemuda yang sejak tadi dipanggil Tuan Muda itu mulai jengah melihat sikap Xi yang tak acuh. Dengan kasar ia menarik buku yang ada di tangan Xi dan merobeknya tanpa ampun.Xi bangkit dari tempat duduknya dan menatap pemuda yang saat ini sedang menghancurkan buku itu dengan wajah datar."Apa kau sudah selesai, Tuan Muda Aiden?" Xi menghela napas melihat buku yang sudah hancur itu, "Awalnya aku ingin menitipkan buku ini untuk Ayahmu. Tapi apa boleh buat, semua sudah hancur. Aku harus berkata apa pada Kepala Desa nanti?" ucap Xi dengan wajah polosnya.Pemuda itu langsung terbelalak. Dengan wajah ngeri ia menatap lembaran terakhir yang masih ada di tangannya. Reamus Rhoneline. Sebuah nama yang tak asing lagi baginya. Ya, nama Ayahnya terukir jelas di sana."K-kau! Kau!"Kali ini Xi tersenyum miring melihat kepanikan di wajah pemuda itu. Matanya yang indah berkelip bagai bintang. Namun ini bukan saatnya Aiden mengagumi pemandangan itu."Beraninya kau!""Ah!"Xi terpekik ketika salah satu teman Aiden menarik rambutnya dengan kasar. Aiden ikut terkejut, ia tak menyangka kalau temannya akan berbuat seperti itu pada seorang gadis kecil yang umurnya tak lebih dari tiga belas tahun. Menggoda tak masalah, tapi kalau sudah bermain fisik...."Lepaskan tanganmu!"Suara Xi berubah dingin."Apa? Kau mau mengancamku? Teriak saja! Tak akan ada yang menolongmu karena kakakmu tak ada di sini.""Benar! Setelah kami menyanderamu, kakakmu -Rhein- yang sok hebat itu akan kami taklukkan dengan mudah."Xi mendengus, "Jadi kalian ingin bermain kotor dengan menyanderaku? Yang benar saja, jika kalian saja tak mampu mengalahkan Kak Rhein, bagaimana mungkin kalian bisa mengalahkan aku?"Para pemuda itu terlihat kebingungan sambil menatap Xi, "Apa maksudmu!?"Dengan gerakan anggun Xi memelintir tangan pemuda yang masih mengcengkram rambutnya. Pemuda itu berteriak kesakitan, tapi Xi tak peduli. Dengan kejam ia meremukan tangan yang sudah mengotori rambutnya, lalu menendang pemuda itu sampai jatuh tersungkur."Kau tahu kenapa?" Xi menyeringai. "Karena Kak Rhein tak pernah menang bertanding denganku.""Dasar bocah sombong! Hiyaaa!!"Xi menghindar dengan cepat saat pemuda lainnya melempar tinju dengan brutal. Dengan mudah ia menangkis lalu kembali menjatuhkan lawan yang memiliki bobot dua kali dari tubuhnya.Merasa tak terima temannya dipermalukan oleh gadis kecil, mereka pun langsung menyerang Xi tanpa ampun. Persetan dengan wajah cantik. Harga diri mereka sebagai lelaki terlalu besar untuk diinjak-injak seorang gadis kecil.Melihat keadaan yang sudah diluar kendali, Aiden menjadi panik. Niat hati hanya ingin menggoda Xi karena anak itu sangat sulit dijinakkan. Itulah sebabnya ia menyewa beberapa pemuda dari desa tetangga untuk menakuti Xi. Tapi siapa sangka kalau malah terjadi hal seperti ini? Ini benar-benar di luar rencana!"He-hei! Hentikan! Kalian tak boleh menyerang Nona Xi. Ini bukan rencana yang kita setujui!" Aiden berusaha melerai. Namun nahas, tanpa ia sadari sebuah tinju melayang ke arah wajahnya dan iapun jatuh tak sadarkan diri.Xi yang masih dengan lincah menghindari serangan lawannya itu hanya menggeleng ketika Aiden pingsan.Tuan Muda yang malang, lain kali kau harus benar-benar jeli dalam memilih teman, Aiden."Nona, sampai kapan kau akan melarikan diri terus? Mana bualanmu tadi?" Dengus salah satu pemuda yang nampak kesal karena serangannya selalu gagal.Xi memiringkan kepalanya sedikit sambil mengerutkan dahi."Jadi kalian ingin aku serius?" Xi menyeringai, "Baiklah."***Derap langkah seorang pemuda berusia sembilan belasan menghentikan pergerakan Xi. Dengan cepat ia melempar sebatang ranting yang tadi digunakan untuk memukuli lawannya, lalu berbalik dan menampilkan senyum yang mampu membius siapa saja.Rhein, pemuda yang baru saja datang itu hampir saja terlena. Namun ia segera mengerutkan dahi saat dilihatnya banyak pemuda yang menggeliat kesakitan di tanah."Xiriu, apa yang kau lakukan pada mereka?"Xi mengedikkan bahunya tak acuh. Menatap malas para pemuda yang merintih kesakitan, bahkan dengan santai menendang tubuh yang menghalangi jalannya."Bukan apa-apa. Oh iya, apa kau mendapatkan pesananku?" Tanpa wajah berdosa Xi tersenyum penuh semangat melihat bungkusan yang sedang dipegang Kakaknya itu.Melihat wajah polos sang Adik, hati Rhein kembali melunak dan tanpa sadar mengangsurkan bungkusan yang sejak tadi ada di tangannya. Namun, baru saja tangan Xi akan menggapai bungkusan itu, Rhein tersadar dan menarik kembali tangannya."Kau belum menjelaskan mengapa pemuda-pemuda ini babak belur seperti ini."Xi mengerucutkan bibir mungilnya, "Mereka yang mulai duluan, aku hanya membela diri."Rhein hanya menggelengkan kepalanya dan menghela napas. Kenapa adiknya yang begitu manis dan menggemaskan ini sangat bar-bar?"Kau ini...."Belum sempat Rhein mengucapkan kata-kata, seorang pemuda yang berada dibelakang tubuhnya bangkit dan mengeluarkan sesuatu yang berkilau. Mata Xi langsung membelalak ketika pemuda itu bergerak cepat dan menerkam Rhein."Kakak awas!"Terlambat. Semua terjadi begitu cepat. Pemuda yang menerkam Rhein tertawa puas seperti orang gila."Hahaha, akhirnya aku bisa membalaskan dendamku. Matilah kau bocah sombong!"Wajah Xi mengeras. Dengan tatapan penuh amarah Xi mengibaskan tangannya. Pemuda itu terpental jauh menubruk pohon. Bunyi bedebam yang ditimbulkan dari tumbukan itu membuat Rhein merasa ngeri.Ah, semoga saja pemuda itu masih hidup. Walaupun aku tak yakin tulangnya akan baik-baik saja. Xi memang mengerikan jika sudah marah.Lupa akan lukanya sendiri, Rhein malah mengasihani pemuda itu."Kakak, lukamu....""Aku tidak apa-apa, hanya.... Ugh!" Rhein tersenyum getir, lukanya cukup dalam. Mengapa aku seceroboh ini?Dalam diam Xi mengumpulkan energi di tangan kanannya. Cahaya biru berpendar indah. Dengan hati-hati ia menempelkan telapak tangannya ke atas luka Rhein yang terus mengeluarkan darah."Xi, kau tak boleh melakukan ini. Kau bisa....""Diamlah, Kak. Hanya sebentar."Xi terus berkonsentrasi. Dari luka Rhein perlahan keluar asap hitam tipis. Asap itu seperti terhisap ke dalam cahaya biru milik Xi. Bersamaan dengan itu, luka di punggung Rhein pun menutup. Rasa sakit perlahan hilang diganti oleh kehangatan yang sangat nyaman."Xi, aku baik-baik saja. Kau tak boleh menggunakan kekuatanmu lagi. Nanti kau akan...."Belum sempat Rhein menyelesaikan kata-katanya, tubuh Xi langsung merosot kelelahan. Wajahnya terlihat sangat pucat saat Rhein menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke tanah."Lihat perbuatanmu!" Rhein mendelik melihat adiknya yang lemah itu masih tersenyum. "Lukaku bisa dengan mudah disembuhkan. Tapi jika sesuatu terjadi padamu, aku bisa mati dihukum Ayah!""Jangan salahkan aku, Ayahlah yang harus disalahkan. Gara-gara peraturan anehnya itu aku terus saja digoda pemuda brengsek. Aku ini laki-laki, Kak. LAKI-LAKI! Kenapa aku harus berpakaian wanita?" Protes Xi masih dalam pelukan Rhein.Rhein tersenyum geli sambil mengangkat tubuh Xi ke dalam gendongannya bak tuan puteri."Itu karena kau sangat cantik, Nona Xiriu. Lebih cantik dari gadis manapun.""Kakaaaaak!"Tawa mereka memecah kesunyian senja. Berjalan di antara daun-daun maple yang berguguran sambil bercanda ria.Semua terlihat normal. Ya, cuaca yang normal. Namun mereka tak pernah tahu kapan badai akan bertiup.***Xi dan Asheera menunggu dengan cemas di atas. Jarak antara tepi jurang dengan goa di bawah sana tidaklah begitu jauh. Jadi kenapa Kai lama sekali? Apa dia menemui masalah?"Tuan Muda Xi, sebaiknya aku ikut turun ke bawah. Pemuda bodoh itu memang tidak bisa diandalkan!" gerutu Asheera sambil mengambil sulur yang masih menjuntai di tepi jurang."Baiklah, kita juga tidak bisa menunggu terlalu lama. Perasaanku sangat tidak enak dengan badai ini," ujar Xi mengiyakan.Asheera sekali lagi menengok ke bawah untuk memastikan ada atau tidak adanya kode dari Kai. Setelah ia yakin kalau teman seperjalanannya itu tak memberikan jejak apa-apa, ia pun menghela napas, "Ah, benar-benar payah!""Tuan Muda, aku akan ...."Kata-kata Asheera terhenti di tenggorokan. Tepat di belakang Xi, sesuatu yang mirip kuncup bunga muncul dari permukaan es. Benda itu perlahan membesar dan terus membesar.Xi yang menyadari keanehan Asheera ikut menoleh ke belakang. Ia sangat terkejut melihat benda aneh yang menyerupai
"Kita akan selamat. Di bawah sana ada tempat berlindung."Wajah Xi terlihat begitu bersemangat ketika mengatakan hal itu. Matanya yang bulat berbinar indah bagai bintang di langit. Wajah seputih giok terlihat kontras dengan bibir plumnya yang merekah. Embusan angin membuat rambut hitamnya berkibar. Sesaat, Tuan Muda Kai hampir lupa untuk bernapas karena pemandangan indah di depannya.Sementara itu Asheera hanya bisa menggelengkan kepala. Kata orang, seindah apapun sesuatu, jika dipandang terus menerus setiap hari pasti akan ada masanya menjadi bosan. Namun nyatanya itu tidak berlaku untuk Xi. Sesering apapun Asheera memandangnya, wajah anak lelaki yang belum dewasa itu tetap saja memesona. Ia tak pernah bosan memandangnya walau dalam wajah cemberut sekalipun. "Mengapa kalian malah melamun?" tegur Xi dengan dahi berkerut."Ah, bukan apa-apa," ujar Asheera membuyarkan lamunanya. "Ngomong-ngomong, bagaimana cara kita ke sana?" tanya Asheera sambil menengok ke bawah jurang sana. Yang dik
Sejauh mata memandang, hamparan es dan salju menutupi seluruh permukaan tanah. Tak ada pepohonan yang hijau apalagi suara nyanyian burung yang riang. Padahal ini sudah memasuki pertegahan musim semi.Xi menggosokkan kedua tangan, lalu meniup-niupinya untuk mengurangi rasa dingin. Benar kata Asheera, tempat ini tidak biasa. Hawa dingin yang dirasakan begitu padat dengan energi negatif. Pantas saja tidak ada orang yang berani memasuki tempat ini."Apa kau baik-baik saja, Tuan Muda?" tanya Asheera merapatkan mantelnya.Xi mengangguk. Uap napasnya mengepul keluar saat ia mengatakan "Ya". Beruntung sebelum memasuki kawasan ini Asheera sudah mempersiapkan beberapa keperluan seperti baju musim dingin dan mantel tebal. Jika tidak, mungkin nasib mereka akan sama dengan nasib pemuda yang bersikeras mengikuti mereka diam-diam tanpa persiapan apapun."Tuan Muda Kai, apa kau yakin akan melanjutkan perjalanan bersama kami? Aku tidak tahu seperti apa medan di depan sana. Dan aku khawatir kau akan ma
Melihat siapa yang datang, Nona Marry langsung berdiri dan memberi hormat kepada tamunya."Tuan Guo, maaf kalau kami tidak menyambut di depan. Ini ..." Pria paruh baya itu melambaikan tangannya lalu duduk tepat di depan Xi. Dia terllihat sangat tertarik dengan dua orang yang akhir-akhir ini jadi pembicaraan karena berhasil membunuh dua iblis terkuat di Kota Elven.Awalnya Tuan Guo pikir mereka adalah dua orang pemuda tangguh. Namun siapa sangka kalau dua pemburu ini adalah wanita-wanita cantik dengan karakter unik."Maaf kalau kedatanganku mengganggu pembicaraan kalian," ujar Tuan Guo tersenyum sopan."Tidak, tidak, Anda sama sekali tidak mengganggu," kata Asheera melambaikan tangan dengan gugup. "Karena urusan kami sudah selesai, kami akan undur diri. Kalian bisa berdiskusi dengan tenang tanpa gangguan."Saat Asheera mengambil semua uangnya dan ingin menarik tangan Xi, Tuan Guo berdeham dan seluruh jalan keluar pun ditutup oleh penjaga yang mengawalnya."Tuan, apa maksudnya ini?" Xi
Konon, seribu tahun yang lalu terjadi kekacauan di Benua Erstle. Para Dewa yang seharusnya menjaga dan melindungi benua itu justru berselisih. Mereka saling bertempur untuk menentukan siapa yang paling kuat di antara mereka.Akibat dari pertempuran itu, keseimbangan energi di dunia menjadi kacau. Energi positif yang berfungsi sebagai pelindung terserap habis karena digunakan oleh para dewa. Sementara energi kegelapan terus bertambah akibat residu dari pertempuran para dewa.Yin dan Yang, seharusnya energi itu seimbang agar tidak menimbulkan kekacauan. Namun, energi kegelapan yang semula tersegel akhirnya meledak dan menyebar ke dunia manusia. Akibatnya, setiap makhluk yang tersentuh energi itu akan berubah menjadi iblis dengan kekuatan yang mengerikan. Dewa Kegelapan yang bertugas mengontrol energi mengerikan itu tak dapat berbuat apa-apa. Walau ia memiliki kemampuan untuk memurnikan energi kegelapan, namun sudah terlambat baginya untuk menyerap energi yang sudah tersebar luas.Hingg
"Tuan Muda Xi, awas!" Asheera berteriak memperingatkan ketika serigala itu menyerang.Xi yang memang sudah waspada melompat di udara sambil menendang tubuh lawannya. Dengan lincah ia mengayunkan tubuhnya dan menebas tungkai kanan yang disusul tungkai kiri si serigala. Kini si manusia serigala pun berubah menjadi tongkat serigala."Dasar manusia keji! Bunuh aku jika kau berani!" teriak serigala itu putus asa.Xi mengangguk mengerti. Dengan cepat ia menusuk jantung serigala itu sampai menembus ke punggung. Serigala itu kembali melolong. Namun kali ini lolongannya terdengar begitu memilukan sebelum tubuhnya tumbang di atas tanah.Asheera melihat jelas mahakarya Xi, lalu menggeleng. "Tuan Muda, bagaimana bisa kau membunuh iblis dengan memutilasinya?"Xi mengerutkan dahinya lalu balik bertanya, "Apa ada ketentuan khusus untuk membunuh iblis?""Ah, itu ..."Belum sempat Asheera menjawab, ia kembali diserang oleh sisa-sisa manusia serigala yang masih hidup. Mereka terlihat sangat marah karen
Matahari sudah mulai tenggelam saat Xi dan Asheera tiba di kaki gunung Dafa. Kali ini Asheera memakai baju yang lebih simple, yaitu rok pendek dengan atasan berwarna ungu. Selain itu dia juga mengenakan jubah yang senada dan ikat pinggang berwarna emas. Berbeda dengan Xi, anak itu memakai celana panjang dan tunik berwarna biru gelap dengan keliman perak. Walau itu masih jenis pakaian wanita, namun modelnya tidak terlalu feminin hingga cocok untuk dipakai siapa saja.Untuk mempermudah pergerakan, kali ini Xi juga mengikat rambutnya menjadi ekor kuda dengan pita merah. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang dengan ukiran teratai yang terlihat cukup ringan untuk digunakan."Apa benar di sini tempatnya?" tanya Xi saat mereka mulai memasuki kawasan hutan."Benar, misi kali ini tidak terlalu sulit. Kita hanya diminta untuk membunuh sekawanan iblis serigala yang suka menyerang penduduk saat bulan purnama," jawab Asheera tenang.Xi mengangguk puas. Baginya, membunuh sekawanan serigala jauh
Sepasang pedang kembar dengan sinar ungu muncul di udara. Asheera tersenyum miring. Sebenarnya ia tak ingin mengeluarkan senjata jiwanya secepat ini, namun keadaan saat ini tidak memungkinkan untuk bertarung dengan tangan kosong.Xi tak terkejut saat Asheera mengeluarkan sepasang pedang yang tak biasa itu. Dalam hati ia sudah memiliki gambaran sekilas kalau Asheera bukan gadis yang sederhana. Walau identitas Asheera tidak jelas, selama gadis itu bersedia membantu dan menemaninya dari krisis ini, Xi rasa untuk yang lainnya itu bukanlah masalah besar.Berbeda dengan Xi, Tuan Muda Kai terlihat sangat kagum dengan sepasang pedang milik Asheera. Seumur hidup, baru kali ini ia melihat seseorang mengeluarkan senjata jiwa secara langsung. Padahal menurut buku pengetahuan yang pernah dibacanya, tak sembarang orang bisa mengeluarkan senjata jiwa. Satu dari seribu, itulah persentase para pengguna sihir yang dapat memanggil senjata jiwa milik mereka."Ka-kalian adalah ...." Madam Shu yang sejak t
"Oh, bintang utama kita sudah sadar rupanya."Pintu dibuka. Seorang wanita paruh baya masuk membawa sebatang lilin yang menerangi seluruh ruangan. Kini Xi bisa melihat jelas. Jika saat ini tubuhnya diikat di sebuah tiang, maka tubuh Asheera dan dan Tuan Muda Kai digantung terbalik pada tiang penyangga. Ah, pantas saja sejak tadi Xi hanya bisa mendengar suara kedua orang itu tanpa bisa melihat keberadaannya. Ternyata mereka sedang melayang di udara."Madam Shu, senang berjumpa denganmu lagi," ujar Xi sopan sambil menundukkan kepalanya sedikit."Benar-benar anak yang menarik. Di saat semua sandera berteriak dan minta dibebaskan, kau malah masih bisa bersikap sopan," puji Madam Shu sambil menyalakan lampu yang berada di pojok ruangan."Jika aku berteriak dan minta dibebaskan, apa kau akan melakukannya?" tanya Xi retoris.Madam Shu tertawa dan berjalan mendekati Xi. Dia kemudian berjongkok dan menatap Xi lekat-lekat."Kau sangat pintar, setidaknya bocah sepertimu lebih paham situasi darip