Share

3. Kenyataan

Penulis: Ayriana Ren
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-20 21:45:33

Sudah tiga hari ini Xi hanya diam di kamarnya. Tidak, kurang tepat jika kamar ini disebut kamarnya. Karena sejak kejadian tiga hari lalu, Xi dan Rhein mengungsi di kediaman Kepala Desa Reamus.

Wajahnya yang putih semakin pucat karena tak tersentuh sinar matahari. Matanya yang biasa berbinar indah, kini menjadi sembab dengan lingkaran hitam di sekelilingnya.

Rhein yang melihat keadaan Xi tak dapat berkata apa-apa. Peristiwa pembantaian malam itu memang sangat mengerikan. Tak ada satu pun yang selamat kecuali mereka berdua. Selebihnya, semua menjadi mayat dengan tubuh yang terpotong-potong.

"Xi, makanlah sedikit," bujuk Rhein sambil meletakkan beberapa piring makanan di meja.

Xi hanya melirik sekilas, lalu kembali melamun menatap jendela yang tak pernah dibuka.

"Makanlah, jika kau sampai sakit kakak akan merasa sangat bersalah kepada mendiang Ayah dan Ibu." Rhein tak menyerah membujuk Xi. Dengan sabar ia menyendok nasi dan lauk, lalu mendekatkannya di depan mulut Xi.

Xi menatap makanan di hadapannya lalu kembali menatap Rhein. Ia terlihat ragu seakan ingin mengatakan sesuatu. Melihat Xi tak kunjung membuka mulutnya, Rhein akhirnya menyerah dan meletakkan kembali makanan itu.

"Kumohon, Xi, jangan seperti ini. Kau harus tetap bertahan dan melanjutkan hidupmu yang berharga."

Kali ini Rhein tertunduk dan mengacak rambut coklatnya. Ia tak tahu harus berbuat apa setelah bencana ini. Pergi? Pergi ke mana? Iblis-iblis itu pasti akan terus mengejar sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

"Kakak, maaf." Xi mengulurkan tangan dan memegang bahu Rhein. "Bukannya aku tidak mau makan, tapi ...."

Rhein segera menegakkan tubuhnya, menunggu Xi menyelesaikan perkataannya.

"Apa kau lupa aku alergi kacang merah? Justru aku ingin hidup agar bisa membalaskan dendam ayah dan ibu, jadi aku tak berani memakan makanan itu," bisik Xi lirih.

Butuh beberapa detik bagi Rhein untuk mencerna perkataan Xi. Seketika otaknya terasa kosong. "Kacang merah?" gumamnya sambil menatap mangkuk yang berisi sup kacang merah dengan potongan daging sapi.

Astaga, kenapa ia bisa lupa hal sepenting ini?

Rhein pun akhirnya tertawa terbahak-bahak sambil mengacak rambut Xi yang masih begitu lembut dan halus walau belum dicuci selama tiga hari. Rhein merasa sangat bodoh. Beberapa hari ini desa memang sedang panen kacang merah yang cukup melimpah. Karena kacang merah termasuk barang mahal, Kepala Desa sengaja memerintahkan dapur untuk selalu membuat menu dengan kacang merah pada makanan mereka sebagai bentuk penghormatan. Siapa sangka Xi yang memang alergi parah terhadap kacang merah tak bisa memakan makanan tersebut dan berakhir dengan kesalahfahaman.

"Hahahah, astaga ... maafkan kakakmu yang ceroboh ini. Aku benar-benar lupa kalau kau alergi kacang merah," ucap Rhein masih sambil mengusak kepala Xi.

Xi mendelik dan menepis tangan Rhein yang membuat kepalanya seperti sarang burung. Lupa tidak masalah, tapi apa hubungannya dengan mengacak rambutnya seperti ini? Menyebalkan!

"Baiklah, baiklah, maaf. Jadi kau ingin makan apa hari ini, Xi?" tanya Rhein sambil merapikan kembali rambut Xi.

Xi berpikir sejenak, lalu binar terang muncul di matanya, "Kak, aku mau ma‐-"

"Tidak makanan itu," potong Rhein yang dapat menebak permintaan aneh adiknya itu. "Perutmu masih kosong, makanlah sesuatu yang lembut dulu."

Xi berdecak malas lalu memutar bola matanya. Padahal ia ingin sekali memakan itu. Rasa asam, pedas dan asin sangat memanjakan lidahnya. Ah, baru membayangkannya saja ia sudah tak bisa menahan air liurnya sendiri.

Dalam diam Rhein tersenyum lega. Syukurlah adiknya ini masih berusaha tegar. Walaupun ia tahu bahwa tiap malam Xi sering terbangun karena mimpi buruk lalu menangis sendirian.

"Baiklah kalau begitu, aku akan ke dapur untuk mengganti makananmu."

Baru saja Rhein akan beranjak, Xi langsung menahan tangannya.

"Ada apa lagi, Xi?"

Xi terlihat salah tingkah. "Ngg ... itu ... anu ... aku ingin pergi membaca buku tapi...."

Rhein mengerutkan dahinya sambil menyusuri wajah adiknya yang kebingungan. Sepertinya ada yang kurang benar di sini, tapi apa?

Lama Rhein berpikir dan menatap Xi lekat-lekat. Walau terlihat pucat, wajah Xi masihlah begitu memesona. Rambutnya yang tak diikat, tergerai indah walau baru saja diacak-acak. Bibirnya yang tipis, lalu pa....

"Astaga! Jika Ayah masih ada, aku pasti akan dibunuhnya karena membiarkanmu berpakaian seperti ini."

Wajah Xi bersemu merah. Selama ini ia selalu dimanja oleh keluarganya. Ia tak pernah diperkenankan untuk mengurus dirinya sendiri. Pakaian, rambut, sepatu dan yang lainnya, semua diatur oleh Kak Rhein. Kata Ayah, hanya Kak Rhein yang boleh melayaninya. Alhasil, untuk memakai pakaian dengan benar pun ia tak bisa. Pakaian yang dikenakannya miring sebelah dengan kancing baju yang tidak pada urutannya.

Xi menyesal, mengapa ia harus mengikuti perintah ayahnya? Jika sudah seperti ini, ia juga yang repot. Kak Rhein pasti sedang sibuk menyelidiki kejadian itu dan ia tak boleh merepotkan kakaknya terus menerus.

Rhein tersenyum lembut, "Kakak minta maaf, kakak terlalu sibuk sendiri sampai melupakan keperluanmu."

Xi menggeleng pelan.

Tanpa banyak bicara Rhein melepas satu persatu kancing pakaian Xi. Xi hanya diam dan memperhatikan dengan serius tiap gerakan kakaknya. Kali ini ia harus benar-benar menghafal cara memakai pakaian yang benar. Tidak mungkin ia harus bergantung seumur hidup pada kakaknya, bukan?

"Nona Xi, aku bawakan kau...." Mata Aiden terbelalak. Wajahnya merona merah dengan cepat. Tubuhnya mematung menatap lurus ke arah Xi yang sedang bertelanjang dada.

Xi mendengus pelan. "Apa yang kau lihat, Tuan Muda? Apa kau tak pernah melihat anak laki-laki berganti pakaian?"

"I-itu ... maaf, aku tak bermaksud...." Aiden langsung membalikkan badannya dan hendak berlari keluar. Namun, langkahnya tertahan mengingat kata-kata terakhir Xi yang agak janggal.

"Laki-laki?" Aiden memutar tubuhnya kebingungan.

"Ya, aku laki-laki. Apa kau ada masalah dengan itu?" ujar Xi ketus.

Rhein yang baru saja selesai merapikan pakaian Xi hanya tersenyum geli.

"Maaf Tuan Muda Aiden, adikku ini memang laki-laki. Sejati. Namun karena peraturan Ayah kami, ia hanya boleh berpakaian laki-laki saat umurnya lima belas tahun. Jadi kuharap Tuan Muda dapat mengerti dan menjaga rahasia ini."

Aiden masih terlihat kebingungan.

"Dan satu lagi, Tuan Reamus sudah mengetahui ini sejak awal. Kata beliau, jika Anda berani mengejek atau menyebar identitas Xi, hadiah spesial akan menanti Anda."

Apa mereka mengancamku? Ya, mereka berdua pasti sedang mengancamku. Kakak beradik yang mengerikan!

***

Xi berjalan berdampingan bersama Aiden. Mereka tak ada yang bersuara. Xi yang baru saja kembali dari perpustakaan langsung asyik melahap bukunya sambil berjalan. Sementara Aiden, ia hanya sesekali mencuri pandang ke arah Xi dengan dahi berkerut.

Cantik sempurna. Bagaimana mungkin makhluk di sampingku ini laki-laki? Jika orang menyebutnya titisan dewi, mungkin aku akan lebih percaya.

"Berhenti melihatku dengan pandangan menjijikan itu, Aiden. Kalau kau masih tak percaya, aku bisa membuktikannya di kamar mandi," ucap Xi tenang tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

"Ah, apa maksudmu? Aku ... aku tidak...."

Xi menghela napas, lalu menghentikan langkahnya. Ah, terlalu banyak menghela napas bisa mengurangi umur, katanya. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan? Pemuda di sampingku ini benar-benar menyebalkan.

Perlahan Xi kembali menarik napas, lalu menembuskannya perlahan sambil memandang sekitar. Udara di luar terasa segar. Selain luas, kediaman Kepala Desa di kelilingi oleh banyak pohon besar. Satu di antaranya cukup menyita perhatian Xi. Di sana ada sebuah rumah kayu yang bertengger di atas pohon yang paling besar. Apa itu rumah burung?

“Kau ingin coba naik ke sana?” tanya Aiden mengikuti arah pandang Xi.

“Tapi .…” Xi terlihat ragu. Jelas-jelas ia ingin sekali ke tempat itu. Apa lagi yang dipikirkannya?

“Itu bukan rumah untuk burung. Rumah pohon itu sengaja dibuatkan Ayah agar aku bisa belajar dengan tenang sambil menghirup udara segar,” jelas Aiden sambil melirik buku yang sedang di pegang Xi. Ia tahu betul isi buku itu. Buku tentang pembudidayaan burung merpati. Xi tak berpikir kalau rumah pohon sebesar itu adalah tempat untuk burung, bukan?

“Kalau begitu, aku bisa naik ke sana?” tanya Xi penuh harap.

“Tentu saja.”

Dalam sekejap, Xi langsung memanjat pohon itu dengan sangat lincah. Ia tak mengalami kesulitan sedikit pun dalam memanjatnya. Padahal, Aiden baru saja ingin memberi tahu bahwa ada tangga gantung di belakang pohon itu.

“Ah, benar, dia seorang laki-laki. Mana mungkin seorang gadis bertingkah seperti itu, bukan?” gumam Aiden sambil menggelengkan kepalanya.

“Apa yang kau katakan, Aiden? Ayo cepat ke sini!” teriak Xi sambil memutar pandangannya dengan wajah gembira.

“Bukan apa-apa. Tunggu, aku akan segera menyusul.”

Sesampainya di atas, Aiden langsung membuka bungkusan yang sejak tadi ia sembunyikan di balik pakaiannya. Manisan buah mangga. Tidak-tidak, ini bukan manisan. Mana ada manisan yang rasanya pedas dan asam? Belum lagi aromanya mampu membuat air liur menetes. Bukan karena aroma lezat, tapi karena aroma asam yang begitu menyengat.

Menurut hasil penyelidikannya, Xi sangat menyukai camilan ini. Machi—buah mangga muda yang diiris tipis lalu dibalur dengan cabai halus. Membayangkannya saja sudah membuat giginya ngilu, apalagi memakannya.

“Machi?” Mata Xi berbinar. “Dari mana kau mendapatkannya?”

Jantung Aiden hampir saja berhenti berdetak saat melihat senyuman di wajah Xi. Ekspresi wajahnya terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Jika saat ini ada seribu bunga yang bersanding di sisi Xi, niscaya bunga-bunga akan tertunduk malu karena pesonanya.

Astaga, sadarlah Aiden! Yang ada di hadapanmu ini seorang anak laki-laki. Jadi jangan berpikiran macam-macam. Aiden menggeleng keras, lalu kembali menatap Xi. “Kakakku yang membuatnya. Ia sangat suka makanan seperti ini semenjak ada bayi kecil di perutnya.”

“Eh, benarkah? Jadi kau akan punya adik?” tanya Xi sambil menggigit sepotong machi yang terlihat sangat segar.

“Keponakan, bukan adik,” ralat Aiden sambil terus memperhatikan Xi makan. “Apa itu enak?” tanyanya penasaran.

“Tentu saja.”

Agak ragu, Aiden mengambil sepotong dan menggigitnya. Matanya langsung terpejam dengan dahi mengernyit. Giginya terasa ngilu saat mengunyah makanan yang memiliki rasa asam dan pedas itu. Baru saja ia akan menyerah, tangan Xi sudah menutup akses mulutnya.

“Jangan dibuang!” perintah Xi dengan tatapan penuh arti. Aiden mengangguk dan kembali mengunyah makanan di mulutnya dengan wajah tersiksa.

“Astaga, makanan apa ini? Aku tak percaya kalau ini adalah makanan manusia.” Wajah Aiden memerah dengan mulut kepedasan. Berkali-kali ia menjulurkan lidahnya, mencoba untuk mengusir rasa yang begitu menyiksa. Sial, ia lupa membawa air minum!

Mendengar keluhan Aiden, Xi tersenyum mengejek, “Kehidupan itu pedas dan asam seperti makan ini, Tuan Muda. Jika untuk ini saja Anda tidak kuat, bagaimana Anda sanggup menghadapi kehidupan yang lebih pedas dan lebih asam daripada ini?”

Aiden terlihat kesal. Agak tergesa, ia turun dari rumah pohon itu. Tidak, bukan karena perkataan Xi ia meninggalkan tempat itu, tapi karena efek dari makanan itu yang langsung membuat perutnya mulas.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Legend of Dark Lotus   21. Bunga Es Kematian

    Xi dan Asheera menunggu dengan cemas di atas. Jarak antara tepi jurang dengan goa di bawah sana tidaklah begitu jauh. Jadi kenapa Kai lama sekali? Apa dia menemui masalah?"Tuan Muda Xi, sebaiknya aku ikut turun ke bawah. Pemuda bodoh itu memang tidak bisa diandalkan!" gerutu Asheera sambil mengambil sulur yang masih menjuntai di tepi jurang."Baiklah, kita juga tidak bisa menunggu terlalu lama. Perasaanku sangat tidak enak dengan badai ini," ujar Xi mengiyakan.Asheera sekali lagi menengok ke bawah untuk memastikan ada atau tidak adanya kode dari Kai. Setelah ia yakin kalau teman seperjalanannya itu tak memberikan jejak apa-apa, ia pun menghela napas, "Ah, benar-benar payah!""Tuan Muda, aku akan ...."Kata-kata Asheera terhenti di tenggorokan. Tepat di belakang Xi, sesuatu yang mirip kuncup bunga muncul dari permukaan es. Benda itu perlahan membesar dan terus membesar.Xi yang menyadari keanehan Asheera ikut menoleh ke belakang. Ia sangat terkejut melihat benda aneh yang menyerupai

  • Legend of Dark Lotus   20. Negeri Yang Diselimuti Es 2

    "Kita akan selamat. Di bawah sana ada tempat berlindung."Wajah Xi terlihat begitu bersemangat ketika mengatakan hal itu. Matanya yang bulat berbinar indah bagai bintang di langit. Wajah seputih giok terlihat kontras dengan bibir plumnya yang merekah. Embusan angin membuat rambut hitamnya berkibar. Sesaat, Tuan Muda Kai hampir lupa untuk bernapas karena pemandangan indah di depannya.Sementara itu Asheera hanya bisa menggelengkan kepala. Kata orang, seindah apapun sesuatu, jika dipandang terus menerus setiap hari pasti akan ada masanya menjadi bosan. Namun nyatanya itu tidak berlaku untuk Xi. Sesering apapun Asheera memandangnya, wajah anak lelaki yang belum dewasa itu tetap saja memesona. Ia tak pernah bosan memandangnya walau dalam wajah cemberut sekalipun. "Mengapa kalian malah melamun?" tegur Xi dengan dahi berkerut."Ah, bukan apa-apa," ujar Asheera membuyarkan lamunanya. "Ngomong-ngomong, bagaimana cara kita ke sana?" tanya Asheera sambil menengok ke bawah jurang sana. Yang dik

  • Legend of Dark Lotus   19. Negeri Yang Diselimuti Es

    Sejauh mata memandang, hamparan es dan salju menutupi seluruh permukaan tanah. Tak ada pepohonan yang hijau apalagi suara nyanyian burung yang riang. Padahal ini sudah memasuki pertegahan musim semi.Xi menggosokkan kedua tangan, lalu meniup-niupinya untuk mengurangi rasa dingin. Benar kata Asheera, tempat ini tidak biasa. Hawa dingin yang dirasakan begitu padat dengan energi negatif. Pantas saja tidak ada orang yang berani memasuki tempat ini."Apa kau baik-baik saja, Tuan Muda?" tanya Asheera merapatkan mantelnya.Xi mengangguk. Uap napasnya mengepul keluar saat ia mengatakan "Ya". Beruntung sebelum memasuki kawasan ini Asheera sudah mempersiapkan beberapa keperluan seperti baju musim dingin dan mantel tebal. Jika tidak, mungkin nasib mereka akan sama dengan nasib pemuda yang bersikeras mengikuti mereka diam-diam tanpa persiapan apapun."Tuan Muda Kai, apa kau yakin akan melanjutkan perjalanan bersama kami? Aku tidak tahu seperti apa medan di depan sana. Dan aku khawatir kau akan ma

  • Legend of Dark Lotus   18. Permintaan Sang Gubernur

    Melihat siapa yang datang, Nona Marry langsung berdiri dan memberi hormat kepada tamunya."Tuan Guo, maaf kalau kami tidak menyambut di depan. Ini ..." Pria paruh baya itu melambaikan tangannya lalu duduk tepat di depan Xi. Dia terllihat sangat tertarik dengan dua orang yang akhir-akhir ini jadi pembicaraan karena berhasil membunuh dua iblis terkuat di Kota Elven.Awalnya Tuan Guo pikir mereka adalah dua orang pemuda tangguh. Namun siapa sangka kalau dua pemburu ini adalah wanita-wanita cantik dengan karakter unik."Maaf kalau kedatanganku mengganggu pembicaraan kalian," ujar Tuan Guo tersenyum sopan."Tidak, tidak, Anda sama sekali tidak mengganggu," kata Asheera melambaikan tangan dengan gugup. "Karena urusan kami sudah selesai, kami akan undur diri. Kalian bisa berdiskusi dengan tenang tanpa gangguan."Saat Asheera mengambil semua uangnya dan ingin menarik tangan Xi, Tuan Guo berdeham dan seluruh jalan keluar pun ditutup oleh penjaga yang mengawalnya."Tuan, apa maksudnya ini?" Xi

  • Legend of Dark Lotus   17. Legenda Pemburu Iblis

    Konon, seribu tahun yang lalu terjadi kekacauan di Benua Erstle. Para Dewa yang seharusnya menjaga dan melindungi benua itu justru berselisih. Mereka saling bertempur untuk menentukan siapa yang paling kuat di antara mereka.Akibat dari pertempuran itu, keseimbangan energi di dunia menjadi kacau. Energi positif yang berfungsi sebagai pelindung terserap habis karena digunakan oleh para dewa. Sementara energi kegelapan terus bertambah akibat residu dari pertempuran para dewa.Yin dan Yang, seharusnya energi itu seimbang agar tidak menimbulkan kekacauan. Namun, energi kegelapan yang semula tersegel akhirnya meledak dan menyebar ke dunia manusia. Akibatnya, setiap makhluk yang tersentuh energi itu akan berubah menjadi iblis dengan kekuatan yang mengerikan. Dewa Kegelapan yang bertugas mengontrol energi mengerikan itu tak dapat berbuat apa-apa. Walau ia memiliki kemampuan untuk memurnikan energi kegelapan, namun sudah terlambat baginya untuk menyerap energi yang sudah tersebar luas.Hingg

  • Legend of Dark Lotus   16. Tutorial Membunuh Iblis

    "Tuan Muda Xi, awas!" Asheera berteriak memperingatkan ketika serigala itu menyerang.Xi yang memang sudah waspada melompat di udara sambil menendang tubuh lawannya. Dengan lincah ia mengayunkan tubuhnya dan menebas tungkai kanan yang disusul tungkai kiri si serigala. Kini si manusia serigala pun berubah menjadi tongkat serigala."Dasar manusia keji! Bunuh aku jika kau berani!" teriak serigala itu putus asa.Xi mengangguk mengerti. Dengan cepat ia menusuk jantung serigala itu sampai menembus ke punggung. Serigala itu kembali melolong. Namun kali ini lolongannya terdengar begitu memilukan sebelum tubuhnya tumbang di atas tanah.Asheera melihat jelas mahakarya Xi, lalu menggeleng. "Tuan Muda, bagaimana bisa kau membunuh iblis dengan memutilasinya?"Xi mengerutkan dahinya lalu balik bertanya, "Apa ada ketentuan khusus untuk membunuh iblis?""Ah, itu ..."Belum sempat Asheera menjawab, ia kembali diserang oleh sisa-sisa manusia serigala yang masih hidup. Mereka terlihat sangat marah karen

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status