LOGINSaat mereka sarapan, Xiao Li dengan santai mengambil sepotong kue talas kukus dari piringnya dan meletakkannya di piring Lin Feng. “Cobalah. Ini kue kesukaanku.”
Lin Feng menatap kue itu, lalu pada Xiao Li yang makan dengan tenang di depannya seolah tidak terjadi apa-apa. Di masa lalunya, berbagi makanan adalah tanda kelemahan, menunjukkan kamu tidak bisa mendapatkan makananmu sendiri. Di sini… itu hanyalah sebuah isyarat sederhana dari kepedulian. Dengan ragu, ia memakan kue itu. Rasanya manis dan hangat, seperti sarapan yang harusnya ia nikmati saat masih kecil bersama keluarganya, sebelum tragedi. Hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa. Namun, ada dinamika baru. Lin Feng menjadi pengawasi sekelompok murid yang berlatih kuda-kuda dasar. dan insting lamanya sebagai pemimpin sekte yang kejam masih kuat saat mengajar murid di lembah. “Lebih rendah!” bentaknya pada seorang muridSaat mereka sarapan, Xiao Li dengan santai mengambil sepotong kue talas kukus dari piringnya dan meletakkannya di piring Lin Feng. “Cobalah. Ini kue kesukaanku.” Lin Feng menatap kue itu, lalu pada Xiao Li yang makan dengan tenang di depannya seolah tidak terjadi apa-apa. Di masa lalunya, berbagi makanan adalah tanda kelemahan, menunjukkan kamu tidak bisa mendapatkan makananmu sendiri. Di sini… itu hanyalah sebuah isyarat sederhana dari kepedulian. Dengan ragu, ia memakan kue itu. Rasanya manis dan hangat, seperti sarapan yang harusnya ia nikmati saat masih kecil bersama keluarganya, sebelum tragedi. Hari itu, pelajaran dimulai seperti biasa. Namun, ada dinamika baru. Lin Feng menjadi pengawasi sekelompok murid yang berlatih kuda-kuda dasar. dan insting lamanya sebagai pemimpin sekte yang kejam masih kuat saat mengajar murid di lembah. “Lebih rendah!” bentaknya pada seorang murid
Lin Feng terbangun secara tiba-tiba. Bukan karena mimpi buruk atau panggilan alam, melainkan karena sensasi yang sama sekali asing, tubuh yang terasa nyeri, kehangatan yang stabil di sisinya dan keheningan total di dalam benaknya. Untuk sesaat yang panik, ia tidak tahu di mana ia berada. Instingnya yang telah ditempa selama bertahun-tahun di dunia yang kejam berteriak waspada. Insting untuk menyerang muncul dalam sekejap di benaknnya. Lalu, ingatannya kembali dalam satu gelombang yang hangat, Puncak bukit. Pengakuan yang membebaskan. Malam di mana sentuhan dan ciuman yang membuatnya tersentak. Saat matanya benar-benar terbuka, yang menyambutnya adalah wajah tampan Xiao Li yang d perbesar di depannya. Cahaya fajar yang lembut menyelinap masuk melalui jendela, menerangi ruangan dengan warna keemasan. Ia masih berada dalam pelukan Xiao Li yang hangat. Pria itu masih tertidur lelap, wajahnya terlihat lebih mud
“Aku mengerti,” katanya lembut, suaranya seperti bisikan angin Lembah. “Aku mengerti ketakutan bahwa kebahagiaan ini hanya akan diambil darimu lagi. Instingmu adalah untuk membangun tembok. Tapi tembok itu tidak akan bisa melindungimu dari dirimu sendiri.” Ia menepuk lantai di sampingnya. “Kita tidak akan melakukan apa pun sekarang. Duduklah di sini bersamaku. Hanya itu. Anggap saja ini pelajaran lain. Pelajaran tentang keheningan yang aman. Tidak ada tuntutan, tidak ada bahaya. Hanya dua orang yang berbagi ruang.” Tindakan Xiao Li yang tak terduga itu memudarkan seluruh pertahanan Lin Feng. Ia mengharapkan paksaan, atau mungkin kekecewaan dari Xiao Li. Ia tidak mengharapkan kesabaran yang begitu total. Pria ini, yang baru saja ia akui cintanya, kini duduk di lantai yang dingin, menunggunya, tanpa tuntutan. Dengan ragu, Lin Feng mendekat dan duduk di samping Xiao Li. Ia duduk, tetapi menjaga jarak bebera
Beberapa minggu setelah malam yang menentukan di perpustakaan, di mana mereka berbagi beban kesepian Xiao Li, suasana di antara Xiao Li dan Lin Feng berubah secara fundamental. Keheningan di antara mereka tidak lagi canggung atau tegang, melainkan dipenuhi oleh pemahaman yang nyaman dan keintiman yang tumbuh. Mereka masih bekerja bersama menyortir gulungan-gulungan di perpustakaan, tetapi kini sering kali diiringi oleh percakapan-percakapan pelan tentang hal-hal yang tidak penting. Lin Feng mulai bertanya, bukan untuk menguji, tetapi untuk memahami. Ia bertanya tentang teknik penyembuhan kuno Lembah, tentang A-Chen, tentang kisah cinta Ling Yue dan Wang Yue. Xiao Li menjawab setiap pertanyaan dengan sabar, berbagi warisan lembah seolah-olah ia sedang berbagi bagian dari hatinya sendiri. Para murid memperhatikan perubahan itu. Guru Xiao mereka tampak lebih ringan dengan senyumnya yang kini lebih sering mencapai matanya, da
Tangannya berhenti bergerak saat ia membaca sebuah entri, yang tertanggal saat Xiao Li pertama kali tiba di Lembah. [Tanggal: Tahun Ke-33 ] > Hari ini aku menemukan anak itu, Xiao Li. Jiwanya penuh dengan badai dan kebencian. Amarahnya begitu murni dan berapi-api. Begitu mirip dengan kisah Guru Ling Yue yang pernah kudengar, dan rasa sakit Guru Wang Yue. Aku takut. Aku ragu apakah aku, yang hanya seorang pewaris, mampu membimbing jiwa yang begitu terluka. Aku melihatnya setiap hari memanggil Qi kebencian, mencoba mengubahnya menjadi kekuatan brutal. Itu adalah jalan yang ia kenal. > Tapi saat aku menatap matanya, aku tidak hanya melihat amarah. Aku melihat bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya di dalam kegelapannya, sebuah potensi cahaya yang luar biasa. Aku harus mencoba. Demi dia, dan demi janji yang kuucapkan pada guru-guruku. Jika Lembah ini tidak dapat menyembuhkan kebencian yang mendasarinya, maka Lembah ini tidak memiliki
Pagi setelah malam api unggun terasa canggung dan asing. Saat Lin Feng bangun, ia menemukan jubah luar Xiao Li yang hangat terlipat rapi di kursi di samping tempat tidurnya. Ia menatap jubah itu untuk waktu yang lama, perasaan aneh yang tidak bisa ia beri nama bergejolak di dadanya. Itu adalah kehangatan yang tidak bisa ia tolak, kebaikan yang tidak ia minta. Sebagian dari dirinya ingin melemparkan jubah itu keluar jendela, menolak kebaikan yang tidak ia minta. Bagian lain dari dirinya secara naluriah tahu bahwa kehangatan ini adalah hal yang paling nyata yang pernah ia rasakan dalam dua puluh tahun hidupnya. Dengan gerakan kaku, ia mengambil jubah itu, melipatnya dengan hati-hati dan meletakkannya di atas tas bekalnya. Saat ia bertemu Xiao Li di paviliun makan pagi, ia hanya mengangguk kaku dan menghindari tatapan mata pria itu, wajahnya sedikit memerah. Lin Feng merasakan dirinya kembali menjadi seorang anak yang malu







