Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi bel kapal sebanyak tujuh kali tiupan pendek dan satu kali tiupan panjang. Aku tidak mengerti arti dari bunyi bel itu.
Namun kulihat Daffa langsung terlonjak kala mendengar itu. Kami menoleh kearahnya dengan penuh tanda tanya.
"Itu, itu peringatan bahaya! itu peringatan untuk meninggalkan kapal!" teriak Daffa panik.
Sontak kami terkejut dan panik. Aku langsung beringsut dari ranjang. Namun, sialnya karena kapal ini sedang terombang ambing dengan kencang, aku tak dapat menjaga keseimbangan.
Dug!
“Awh!” lirihku.
Tubuhku terbanting ke belakang hingga membuat kepalaku terbentur pinggiran tempat tidur. Sial! Rasanya sangat menyakitkan!
Daffa, Carel dan Edgar yang melihatku terjatuh terlihat khawatir. Edgar yang posisinya paling dekat denganku langsung membantuku berdiri. Aku hanya bisa memegangi lengannya, dengan satu tanganku sementara tanganku yang lain memegang kepalaku yang sedikit pusin
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Setelah seharian penuh beraktivitas di kampus, aku kembali ke kamar dan langsung merebahkan diri di tempat tidur. Lampu kamar kubiarkan redup, hanya cahaya dari layar laptop dan ponsel yang menerangi ruangan.Namun sepi ini justru menggemakan suara dalam kepalaku sendiri—dan nama itu, terus mengalir dalam pikiranku.Hulya.Nama yang selalu membuat dadaku sesak. Saudara tiriku. Orang yang seharusnya kuanggap sebagai keluarga... tapi hatiku menolak menyebutnya begitu. Dia selalu ada di sampingku, dan seiring waktu, kehadirannya menjelma jadi lebih dari sekadar "adik".Aku menatap layar ponsel. Jempolku ragu-ragu mengetuk nama yang sudah tersimpan lama di daftar kontak: Hulya.Jam di layar menunjukkan pukul 10 malam di sini. Di Jakarta berarti sekitar pukul 7 malam. Tidak terlalu malam... tapi apakah dia sedang sibuk?Aku mendesah pelan, lalu akhirnya memberanikan diri menekan tombo
Sepanjang perjalanan menuju fakultas kedokteran, Alexa tak berhenti mengajakku ngobrol. Topiknya ringan, tapi cukup membuatku sedikit canggung. Aku masih belum terbiasa diperlakukan seakrab itu oleh perempuan yang baru saja kutemui.“Kalau kamu ambil jurusan kedokteran, berarti kamu pintar, dong?” godanya lagi sambil melirikku dengan senyum menggoda.Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Enggak juga, cuma... memang dari dulu udah tertarik sama dunia medis.”“Terus cita-citanya jadi dokter?” tanyanya lagi.Aku mengangguk. “Iya, pengen jadi dokter anak.”Alexa menoleh dengan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. “Aww... sweet banget! Kamu pasti suka anak-anak, ya?”Aku tersenyum. “Lumayan. Mereka jujur. Dan polos.”Alexa hanya mengangguk-angguk sambil memperhatikanku lekat-lekat. Tatapannya membuatku sedikit gelisah. Aku sudah lama tak berada dalam percakapan hangat seperti ini dengan perempuan selain Hulya.Akhirnya kami sampai di depan gedung fakultas kedokteran.“Ini dia, kampus k
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi. Sontak aku langsung membalikkan tubuh, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi itu, hingga akhirnya kudengar suara seorang perempuan dari arah kamar mandi. "How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!" hardiknya galak. Perlahan, aku membalikkan tubuh untuk melihat siapa yang sedang memarahiku. Saat pandangan kami bertemu, aku terkejut. Seorang wanita seusiaku berdiri di hadapanku, hanya mengenakan piyama mandi. Rambutnya yang blonde masih basah meneteskan air. "Lo siapa?" tanyaku heran. "Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa?" sahutnya dengan logat kebarat-baratan. "Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl, anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?" tanyaku, terkejut bukan main. Dia melotot. "Iya, gue Sheryl! Kenapa?" Aku terkekeh. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga, dia sudah sebesar ini sekarang. Dulu kami sering main bareng waktu kec
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu