LOGIN"Edward! Eward! Di mana kau? Edward!” Nyonya Britsh berteriak mencari Edward saat ia akhirnya tiba di mansion milik Edward.
Nyonya Bristh tidak sendiri. Kali ini, dia datang bersama dengan Rachel. Sudah sering ia datang, tetapi tak pernah menjumpai anaknya. Tidak, lebih tepatnya anak sambungnya. Benar, Edward hanyalah anak sambung dari Nyonya Britsh. Sedangkan ibu kandung Edward telah lama meninggal. Mengenai ayahnya, ini cukup sensitif dalam pembahasan.Ayah Edward dulunya adalah seorang CEO atau pengusaha dan memiliki seorang teman yang sangat dekat. Namun, temannya mengkhianatinya dan menjebloskannya ke penjara. Di dalam penjara, ia menderita penyakit parah dan meninggal dunia. Kini, Edward tak memiliki keluarga lagi selain ibu sambungnya yang tak pernah dia anggap sebagai keluarganya.“Sepertinya, Edward sedang tidak di rumah. Tante, apa kita harus kembali lagi? ini sudah kesekian kalinya.” Ucapan Rachel terdengar kecewa.“Berandalan itu memang sulit diatur. Sudahlah--,”“Siapa kalian?” Rosy tiba-tiba muncul karena mendengar seseorang telah membuat keributan di lantai bawah.Suasana hening sejenak tatkala Nyonya Britsh dan Rachel menatap Rosy dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya.“Seharusnya kami yang bertanya. Siapa kau?” Rachel balik bertanya.“Benar. Bisa-bisanya gadis murahan sepertimu masuk ke rumah anakku. Apa yang kaulihat? Tidak keluar sekarang?” bentak Nyonya Britsh.“Kenapa aku harus keluar?” balas Rosy dengan santainya sembari melipat lengan. Meskipun ingatan Rosy telah hilang sepenuhnya, namun sifat arogannya tetap tak dapat dihilangkan. Rosy menaikkan satu alisnya, menatap kedua wanita di hadapannya tanpa rasa takut sedikit pun.“Gadis zaman sekarang memang kurang ajar. Dasar gadis murahan! Keluar dari sini –“HAP!Rosy menangkap lengan Nyonya Britsh yang hendak menampar wajahnya, lalu dia mendorongnya dengan kuat. Sementara Rachel yang berusaha menahan tubuh Nyonya Britsh kehilangan keseimbangan dan mereka jatuh tersungkur di hadapan Rosy. Mereka memandang murka ke arah Rosy. Geram karena tidak terima menerima perlakuan kasar darinya.“Kau! Awas saja kau. Aku akan membunuhmu!” cetus Rachel seraya menghampiri Rosy dengan niat menjambak rambutnya. Namun, sebelum Rachel berhasil melakukannya, Rosy mengambil tindakan lebih dulu. Rosy menjambak rambut Rachel dengan kuat hingga dia merintih kesakitan.“Ouchh … aw! Aw! Aw! Dasar gadis gila! Hei, lepaskan sekarang juga. Beraninya kau –““Kenapa tidak berani? menyingkirkan semut seperti kalian sangatlah mudah. Apa kalian pikir kalian hebat? Silakan saja jika bisa melawanku!” cetus Rosy, lalu dia mendorong Rachel hingga menabrak Nyonya Britsh. Lagi-lagi, mereka jatuh tersungkur di hadapan Rosy.Senyum miring terluas di bibir tipis Rosy. Dia tak menyangka, ternyata memberi pelajaran kepada orang yang semena-mena sungguh menyenangkan. Ia merasa puas dan sepertinya dia memiliki kemampuan lebih daripada itu.“Kenapa kalian masih di sini? Tidak pergi sekarang juga?” balas Rosy.“Tunggu saja! aku pasti akan membalasmu nanti!” ancam Rachel. “Ouchh …,” rintihnya kesakitan, “apa Tante baik-baik saja?” tanyanya kepada Nyonya Britsh seraya membantunya bangkit.“Apa yang terjadi?” tanya Edward yang baru saja pulang. Di depan pintu, ia sempat menyaksikan pertengkaran dari kejauhan. Kemudian, ia berjalan menghampiri mereka semua.“Lihatlah! Dia hanyalah seorang gadis murahan, tapi dia sangat lancang. Beraninya dia memukul ibumu ini. Edward, kau harus mengusirnya sekarang juga!” Nyonya Britsh datang merangkul lengan Edward untuk mengadu, lalu disambung Rachel yang juga melakukan hal yang sama.“Edward, lihatlah! Dia baru saja menjambak rambutku. Sangat menyakitkan. Kau harus memberinya pelajaran untukku,” tambahnya.Menyaksikan drama yang mereka mainkan sungguh membuat Rosy merasa konyol. Dia sama sekali tak terkecoh dan masih tetap melipat lengannya. Ia menyeringai kecil tatkala menyaksikan momen yang begitu lucu menurutnya.Hasilnya bertolak belakang. Edward sama sekali tak mempedulikan kedua wanita yang mengadu kepadanya. Dia bahkan dengan kasar melepaskan kedua wanita yang menempel padanya, lalu menghampiri Rosy.“Sayang, apa kau terluka?” tanya Edward penuh perhatian.“Kau bisa melihatnya dengan jelas. Bukankah sekarang, kau harusnya memperhatikan mereka?” balas Rosy.“Mereka tidak penting. Aku hanya mengkhawatirkanmu,” tegasnya.“Benarkah? Aku tidak tahu wanita di sebelahnya … tapi, dia bilang dia ibumu. Memang benar, aku baru saja memukulnya. Aku mengakuinya. Jika kau tidak terima, kau bisa menghukumku. Namun, aku tidak akan meminta maaf atas tindakanku.” Rosy berterus terang dengan sikap arogannya yang tak pernah berubah.‘Inilah dirimu yang sesungguhnya. Bagaimana pun, kau tetaplah Queen Mafia. Sekali pun telah kehilangan ingatan, kau sama sekali tidak berubah. Tapi aku tetap menyukai sifatmu yang seperti ini.’ Edward bergumam dalam batinnya.“Sayang, mana mungkin aku menghukummu. Aku bisa menebak apa yang telah mereka lakukan terhadapmu. Tindakanmu ini sudah benar.” Edward justru memberi dukungan untuk Rosy.“Edward!” bentak Nyonya Britsh.“Ah, satu hal lagi. Asal kau tahu, wanita itu bukanlah ibuku. Aku juga sudah lama muak padanya. Terimakasih karena telah memberinya pelajaran mewakilkanku,” lanjut Edward.Situasi saat ini memang sulit dipahami dan membuat Rosy bertanya-tanya. Dari awal, Rosy sudah curiga. Edward bukan hanya pria aneh, tetapi sangat aneh. Aneh dan sulit untuk memahaminya. Rosy tak banyak bertanya dan hanya mengernyitkan kedua alisnya, menatap Edward penuh keheranan.“Sayang, ayo pergi. Tidak ada gunanya kita berurusan dengan kedua wanita ini,” ajaknya sembari merangkul Rosy berjalan menjauh.“Edward! Hei! Dasar anak berandal!” bentak Nyonya Britsh. “Sia-sia aku membesarkannya,” celetuknya.“Tante, maafkan aku,” ucap Rachel sembari menundukkan kepalanya. Dia masih saja bersikap selayaknya gadis baik dan polos di hadapan Nyonya Britsh.***“Tanyakan saja. Sejak tadi kau selalu menatapku,” sergah Edward kala menyadari bahwa sejak tadi Rosy terus menatap wajahnya ketika dia melajukan mobilnya.“Tidak, aku tidak penasaran sama sekali,” balas Rosy. Reflek dia meluruskan pandangannya ketika telah tertangkap basah.Edward menyeringai kecil. Dia merasa tingkah Rosy cukup menggemaskan. Tentu saja, selama menjadi bodyguard di sisi Rosy, dia sama sekali tak pernah melihat sisi Rosy yang lunak sedikit pun. Rosy selalu bersikap dingin dan tegas.Di matanya, Rosy bagaikan sosok wanita kuat tanpa memiliki kelembutan sedikit pun dalam hatinya. Dia sangat berbeda dengan wanita lain kebanyakan. Namun, setelah Edward berhasil membuatnya kehilangan semua ingatan masa lalu Rosy, sedikit demi sedikit Rosy mulai terlihat berbeda. Bahkan, ia tampak lebih lembut dari biasanya, walaupun sifat arogannya masih sangat kental.“Benarkah? Sekali pun kau tidak penasaran, aku tetap akan menceritakannya,” ujarnya, “saat itu, usiaku masih 8 tahun. Ayahku selingkuh dengan wanita lain. Setelah ibuku mengetahuinya, dia sangat menderita hingga jatuh sakit. Dulu aku sangat membenci ayahku dan selalu menyalahkannya. Namun, setelah ayahku meninggal … aku baru tahu jika ternyata, semua ini bukan sepenuhnya kesalahannya. Satu-satunya orang yang bisa kusalahkan sepenuhnya adalah wanita itu. Dia yang menghancurkan segalanya!” Edward tampak geram.‘Wanita yang dimaksud, dia pasti wanita paruh baya tadi. Ini aneh. Entah mengapa … aku merasa wajahnya familiar. Apa aku pernah bertemu dengannya di suatu tempat?’ batin Rosy."Apa yang kamu lakukan?" tanya Edward, suaranya lembut dan penuh harapan. Edward menyadari ada yang salah dengan makanan yang telah ditelannya. "Makanan ini ... Kau ...." "Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah mencintaimu," jawab Rosy, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Kamu telah menghancurkan keluargaku, Edward. Kamu telah membuat kami menderita." Edward menggelengkan kepalanya, matanya memohon. "Aku tidak ingin menyakitimu, Rosy. Aku mencintaimu." Rosy tertawa, suaranya keras dan menusuk. "Cinta? Kamu tidak tahu apa itu cinta, Edward. Kamu hanya tahu bagaimana memanfaatkan orang lain untuk kepentinganmu sendiri." Edward mengambil langkah maju, tangannya terulur. "Rosy, tolong dengarkan aku. Aku tidak ingin kehilangan kamu." Rosy mundur, matanya menyipit. "Kamu tidak akan pernah memiliki aku, Edward. Dan sekarang, kamu akan membayar untuk apa yang telah kamu lakukan pada keluargaku." Dengan gerakan cepat, Rosy mengeluarkan pisau dari sakunya dan menusukkannya ke jantun
Mansion yang diledakkan oleh sindikat Victor tentu saja bukan satu-satunya rumah yang dimiliki Edward. Dia masih memiliki banyak rumah lain. Salah satunya yakni, rumah alami yang dia miliki dan menyatu dengan alam. Letaknya cukup esktream karena terletak di tebing pinggir pantai. Dari sana, siapa pun dapat menikmati sejuknya angin laut yang berhembus setiap kali membuka jendela kamar. Sayang sekali. Meskipun tinggal di tempat indah dan menenangkan, malam itu, Rosy tidak bisa tidur karena terus memikirkan rencana balas dendamnya. Ia berharap bisa terus bersandiwara, membuat Edward percaya bahwa ia adalah istri penurut yang jatuh cinta begitu dalam terhadap suaminya. Sementara itu, ia akan mencari kesempatan untuk membalas dendam. Rosy merasa hatinya terbakar oleh kemarahan dan kesedihan. Sementara di sisi lain, Edward merasa bersalah dan menyesal karena telah membunuh ayah Rosy. Ia berharap waktu dapat diputar kembali. Namun, meskipun mungkin, Edward pasti akan melakukan hal yang sama
"Rosy, apa kau yakin ingin kembali padanya? Edward tidak bisa dipercaya. Ia pembunuh ayahmu!" Davin berusaha mencegah Rosy. Davin mendekatkan langkahnya. Selangkah mendekati Rosy dengan langkah pelan, ekspresi serius memancar dari matanya. Cahaya sore yang lembut memancar melalui jendela, menciptakan suasana tegang. Rosy menatap Davin dengan tatapan sedingin es . "Aku tahu apa yang aku lakukan, Davin. Tenang saja. Aku tidak akan goyah. Demi membalaskan dendamku!" cetus Rosy tanpa gentar. Davin menggelengkan kepala. Dia menatap nanar wajah Rosy dengan tatapan mengasihani. Di masih belum rela membiarkan Rosy menerjang bahaya sendirian. "Terlalu berisiko! Apa kau tidak tahu Edward pria macam apa? Dia Ketua organisasi Black Devin. Jika dia tahu kau sedang mempermainkannya, Edward bisa membunuhmu kapan saja. Apa kau ingin menjadi korban berikutnya. Rosy, kembalilah bersamaku," bujuk Davin. Rosy merasa bimbang. Benar, Edward memang bukan orang yang bisa disinggung sembarangan. Apa lagi, d
Rosy memandang Edward dengan curiga, matanya seperti dua sumur air mata yang siap memancurkan air. "Katakan," titah Rosy. "Itu Pamanku, Victor. Dia selama ini mengincarku. Dia ingin membunuhku demi merebut semua aset yang kumiliki. Rosy, maafkan aku karena menempatkanmu dalam bahaya. Aku juga tidak mau melibatkanmu, tapi aku juga tidak bisa membuangmu begitu saja," jelas Edward. 'Andai itu dulu... Andaikan fakta tidak berubah. Andai kau bukan pembunuh ayahku, memilikimu pasti keberuntungan terbesar yang tidak dimiliki orang lain. Tapi, aku masih ragu. Sebenarnya, apa alasanmu ingin mempertahankanmu? Apa karena kau benar-benar mencintaiku, atau karena kau masih belum puas mempermainkan hidupku?' batin Rosy bertanya-tanya sembari menatap dalam kedua manik netra Edward yang berwarna kebiruan. "Tapi sebelum itu, bisakah kau memberitahuku sesuatu? Keluargaku... apa benar aku seorang yatim piatu?" tanya Rosy tiba-tiba. Dia mengungkit pernyataan yang pernah dikatakan Edward, mengatakan ba
Taman rumah sakit yang sepi dan sunyi menjadi saksi bisu pertemuan antara Rosy dan Edward. Setelah mencari ke mana-mana dan terlewat terlambat selangkah, akhirnya takdir mempertemukan mereka lagi. Tampaknya, takdir antara mereka belum waktunya usai. Cahaya senja yang lembut memancar dari langit, menciptakan suasana yang dramatis. Rosy duduk sendirian di bangku, memandang tanah dengan ekspresi sedih. Rambutnya yang panjang tergerai di bahu, seperti mahkota duka. Edward mendekati Rosy dengan hati-hati, langkahnya pelan seperti tak ingin mengganggu kesedihan Rosy. Matanya yang biru memandang Rosy dengan penuh penyesalan. "Rosy, aku mencarimu ke mana-mana. Ternyata kau ada di sini. Bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja? Aku merindukanmu," katanya lembut, suaranya seperti bisikan angin. Rosy menoleh, terkejut melihat Edward berdiri di depannya. Matanya yang merah karena tangis memandang Edward dengan campuran emosi: sedih, marah, dan kecewa. "Kau? Aku juga mencarimu ke mana-mana. Pol
Di antara anak buah Victor, di sana juga ada Tesla sang pemimpin pasukan. Tesla hanya berlutut di hadapan Victor dengan wajah tertunduk. Tidak berani angkat bicara, atau menghindar ketika Victor dengan sengaja melemparinya benda-benda di ruangan itu. Tangannya mengepal erat karena menahan rasa sakit tubuhnya, sekaligus harga diri yang terluka. "Tidak berguna! Kalian semua tidak berguna! Coba jelaskan, untuk apa aku mempertahankan kalian semua! Barang tidak berguna harus dibuang. Sedangkan manusia yang tidak berguna, coba kalian tebak... ." "Kami pantas mati!" cetus Tesla seraya membenturkan keningnya ke lantai. "Kami pantas mati!!!" seru semua anggota yang hadir di ruangan itu. Mengikuti intruksi Tesla dan serentak membenturkan keningnya ke pantai berkali-kali. Mereka tidak berhenti, meskipun kening mereka bocor dan mengucurkan darah segar. "Mati? Kalian pikir kalian bisa mati semudah itu? Kalian pikir membunuh kalian itu sulit, hah?! Kalian terlalu memandang tinggi nyawa kalian ya







