Home / Thriller / MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI / BAB 6: Teror dari Arah Semak-Semak

Share

BAB 6: Teror dari Arah Semak-Semak

Author: WiRahayuSsi
last update Last Updated: 2022-01-17 21:31:08

Awan yang tadinya lebih fokus ke arah semak-semak pun menoleh.

Tidak disangka, di balik batuan besar itu ada danau yang terhampar luas. Uniknya, mereka tidak merasa jalanan yang menurun sebelumnya, namun tanpa sadar, jika sebelumnya sebelah kiri ada tebing cukup tinggi yang membatasi sungai, sekarang berubah menjadi danau luas.

‘Sungguh topografi yang unik’ gumam Awan dalam hati.

Awan dan Rosie pun berjalan sedikit menurun, mendekati pinggiran danau. Hal pertama yang mereka lakukan setelah sampai di pinggiran danau adalah, mulai menyapukan mata ke seluruh sisi danau. Mencari keberadaan Cantigi, Jhagad dan Tegar.

PLUK..

Sesekali, riak kecil air danau pun membuat fokus mereka berdua teralihkan. Berharap itulah pertanda kehidupan dari yang mereka cari. Namun sayang, riak-riak air itu hanyalah percikan ikan yang melompat bermain-main kegirangan.

“Hmm..”

Rosie menghembuskan napas pelan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan teman-temannya. Mereka berdua pun melanjutkan menyusuri pinggiran danau, yang mau tidak mau membuat mereka masuk lebih jauh lagi ke dalam Hutan Terlarang.

“Kita lanjut jalan saja,” kata Awan singkat.

Semakin jauh mereka berdua berjalan, semakin terasa aneh suasana Hutan Terlarang. Awan yang cenderung peka terhadap tanda-tanda alam pun menyadarinya, seperti ada yang menatap mereka. Tapi, jelas-jelas tidak ada satupun orang lain selain mereka di area ini.

Sebaliknya, sambil melangkahkan kakinya, Rosie masih sibuk melihat ke kanan dan ke kiri. Mengamati sekitar, mencari tanda-tanda keberadaan orang-orang yang dicarinya sedari tadi. Saat ini, pikiran Rosie hanya dipenuhi oleh kekhawatirannya terhadap Cantigi, Jhagad dan Jazlan  saja. Tidak ada yang lainnya.

SREK..

Pelan sekali terdengar dari kejauhan suara gesekan di antara semak-semak. Awan yang tidak mau membuat Rosie menjadi cemas pun lebih memilih mengaktifkan mode waspada diam-diam, sambil terus memperhatikan sekitar.

Dalam pikirannya, satu-satunya hal yang mungkin mengawasi mereka di Hutan Terlarang ini adalah hewan liar. Terlepas dari mahluk lain sebagaimana cerita yang dipercaya oleh penduduk lokal, Awan lebih memilih berpikir rasional.

“Sudah berapa jauh kita berjalan Wan?”

“Mungkin satu jam”

Sementara, kobaran api masih terlihat menyala-nyala. Rosie tampak sudah benar-benar kelelahan. Kekhawatiran sukses membuatnya kehilangan banyak sekali tenaga. Sedangkan area di mana mereka berdiri saat itu tergolong dipenuhi tanaman yang cukup rapat, ditambah sensasi diperhatikan entah oleh siapa, atau apa pun masih memeluk erat.

“Ros!”

“Ya”

“Kau tidak lelah?”

“Oh, tidak, nanti kalau lelah aku bilang Wan” ucap Rosie meyakinkan, sambil tersenyum tipis.

Awan sebenarnya berniat untuk tetap melanjutkan perjalanan hingga mencapai wilayah dengan tumbuhan yang tidak serapat sekarang. Namun, tiba-tiba tubuh Rosie terhuyung, seperti akan segera terjatuh.

“Ros, kau tidak apa-apa?”

Melihatnya, tangan Awan reflek menyangga lengan kanan dan kiri Rosie agar tetap tegak. Ekspresi lemah Rosie terlihat, berusaha tersenyum, dan kembali menegakkan tubuhnya, berdiri tegap. Saat itu Awan menyadari, tidak ada pilihan lain selain berhenti.

Rosie sebenarnya tidak ingin berhenti, karena tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk menyelematkan teman-temannya.  Dia pun sempat berdebat dengan Awan.

"Aku tidak apa-apa, kita lanjut saja,” kata Rosie mencoba meyakinkan.

Awan hanya diam, menatap datar Rosie yang jelas-jelas terlihat sedang memaksakan diri.

“Mereka sedang membutuhkan bantuan kita, terlalu sering istirahat mungkin akan membuat kita terlam..bat,” ucap Rosie tercekat diujungnya.

Mendengarnya, Awan tahu benar bahwa Rosie sedang benar-benar dipenuhi kekhawatiran. Sama halnya dengan dirinya. Tapi, sebagai laki-laki, logikanya masih bisa berkerja di saat genting seperti ini. Sedang Rosie, perasaannyalah yang lebih mendominasi.

Awan pun tanpa berkata-kata menuntun Rosie ke arah pohon tumbang di sisi danau, mengambil tas carier dari punggung Rosie, membantunya duduk dengan nyaman.

Tas carier mereka pun di letakkan Awan di sebelah Rosie duduk, untuk sandaran. Kemudian, Awan mengambil posisi duduk jongkok tepat di depan tempat Rosie duduk.

"Kalau kita berakhir pingsan, lantas siapa yang akan memberi mereka bantuan?” tanya Awan lembut.

“Sebentar saja, isi tenaga,” lanjut Awan sambil membuka satu bungkus roti dan memberikannya kepada Rosie.

Entah kenapa, Rosie yang awalnya bersikeras ingin melanjutkan perjalanan tiba-tiba luluh begitu saja. Seperti tersihir, tidak berdaya kecuali mengiyakannya.

'Sejak kapan Awan bisa menjelma menjadi laki-laki yang begitu lembut dan penuh perhatian seperti ini', pikir Rosie.

Tanpa banyak bicara, Rosie pun mengambil roti yang diulurkan oleh Awan dan mulai memakannya. Melihatnya, Awan tersenyum tipis kemudian mengalihkan pandangannya ke danau. Mulai membuka bungkus roti yang dipegangnya.

Sejenak mereka melamaskan kaki, dengan hanya ditemani danau yang begitu sunyi. Sambil pikirannya tetap berlari-lari, mencemaskan orang-orang yang sedang dicarinya sedari tadi.

KRETEK..

Suara ranting terdengar samar-samar dari arah semak-semak yang tidak jauh dari tempat mereka beristirahat. Awan yang tadinya hendak menggigit Rotinya pun terhenti. Mendengarkan lebih seksama, ke arah sumber suara.

KRETEK… KRETEK..

Sekali lagi, suara ranting terinjak terdengar. Awan pun tidak hanya menggunakan indera pendengarannya saja. Matanya mulai fokus menyapu seluruh sudut semak-semak di dekat mereka. Tibalah matanya menangkap sesuatu, dua titik cahaya di sela-sela semak-semak.

Untuk memastikan, Awan pun mulai berdiri, melangkah mendekati dua titik cahaya yang dilihatanya tadi.  Semakin dekat, dua titik cahaya itu seperti sepasang sorot mata yang tajam menatap ke arahnya.

Meredupnya sinar matahari, membuat sorot mata itu terlihat lebih jelas. Awan pun semakin melangkah mendekat, dan semakin dekat. Namun, tiba-tiba.

“Wan!” ucap Rosie sambil menepuk punggungnya dari belakang.

Panggilan dari Rosie itu pun membuat fokus Awan teralihkan. Ketika Awan melihat ke arah semak-semak, sorot mata itu sudah tidak ada. Tidak lama kemudian, mereka pun melanjutkan perjalanan, menyusuri danau yang entah di mana ujungnya.

GERRRRR…

Lima belas menit mereka berjalan, terdengar suara dari arah dalam Hutan Terlarang. Awan yang sedari awal selalu waspada pun tidak terlalu kaget mendengarnya.

Berbeda dengan Rosie, setelah tenang, kepekaannya mulai kembali, perasaan cemasnya pun mulai menggelayuti.

“Apa itu Wan?” takut-takut Rosie bertanya.

Awalnya Awan hendak menjawab gesekan daun akibat terkena angin. Tapi, sebelum sempat Awan mengatakannya, suara khas hewan sayup-sayup terdengar.

AUUUU…..

Astaga, sedikit saja suara khasnya terdengar sudah membuat bulu kudu merinding, membuat mengirimkan sinyal tentang gambaran sosok hewan yang mengeluarkannya.

AUUU....

Sekali lagi, suara khas hewan itu terasa semakin mengeras, pertanda sumber suaranya semakin mendekat. Awan pun mulai berpikir, jika benar sumber suara khas ini berasal dari hewan yang dipikirkannya, maka hanya ada satu pilihan, bersembunyi. Mengingat, dia hanya berdua dengan Rosie.

Bertarung tidak akan mudah jika juga harus melindungi. Belum sempat Awan memberitahu Rosie, semak-semak terdekat terlihat mulai menyibak, pertanda ada yang sudah siap menuju ke arah mereka, menunjukkan dirinya.

Dengan suara gemetar, Rosie berkata “Wan, semak-semak itu bergerak-gerak sendiri!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 87 : TAMAT

    Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 86: Sebuah Pengorbanan

    Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 85: Identitas Serigala dan ...

    “Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 84: Serigala Penjaga, Siapa Sebenarnya?

    “Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 83: Bulan Purnama dan ...

    “Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita

  • MEREKA BEBAS KETIKA KALIAN MATI   BAB 82: Harus Kembali Ke Jembatan Gantung

    Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status