Share

Tanggal Pernikahan

Author: Lystania
last update Last Updated: 2024-09-11 12:44:55

Bagas baru saja sampai di rumah setelah seharian bekerja, Bagas berniat untuk langsung masuk ke kamar. Namun, saat Mira melihat anak semata wayangnya itu, ia yang tengah memegang kalender segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Bagas dengan langkah cepat.

"Gas, ayo duduk sama Mama dulu," ajak Mira. Menggandeng tangan Bagas dan menariknya duduk di ruang tengah. Jari tangan Mira menunjuk beberapa angka di kalender meja yang di pegangnya dan meminta pendapat untuk tanggal bersejarah anaknya nanti.

"Kalau Mama sudah jahit baju dan pilih-pilih tanggal kayak gini, artinya kamu harus cepat nentuin kapan kamu menghalalkan Dini." Hendri datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah, baru selesai mandi.

"Iya Pa, Ma. Bagas yang terbaik aja. Mama mau tanggal berapa? Biar nanti Bagas sama Dini atur sama wedding organizer nya," kata Bagas. Mira kemudian menunjuk satu tanggal di dua bulan ke depan. Tak ada sanggahan, Bagas mengiyakan ucapan Mira. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu dan masuk ke kamarnya. Menyegarkan diri dengan mandi di bawah pancuran air. Kedua matanya tertutup saat dinginnya air membasahi tubuhnya, terlihat jelas di dalam memori otaknya, bagaimana ia mengecup pelan bibir Dini sewaktu di kantornya tempo lalu. Semakin lama ia memejamkan mata, adegan manis itu terus berulang. Ia membuka mata seraya tangan kanannya memutar keran untuk mengurangi volume air yang keluar dari shower. Ia tersenyum simpul sambil menggosok badannya dengan sabun.

Setelah selesai makan malam, Mira juga tak berhenti bicara, membahas rencana pernikahan Bagas. Setelah sekian lama, akhirnya anak semata wayangnya akan melepas masa lajang dan berkeluarga dengan wanita pilihannya, bagaimana ia tidak bahagia. Ia merasa tak sia-sia menyeleksi beberapa anak perempuan teman suaminya, hingga merasa sangat cocok saat melihat foto Dini. Ia juga tak keberatan dengan kenyataan bahwa Dini, calon menantunya itu, adalah anak angkat dari orang tuanya. Karena ia sendiri pun, nasibnya sama seperti Dini. Anak angkat orang tuanya.

"Bagas masuk kamar duluan ya. Besok harus bangun pagi, ada meeting jam setengah sembilan."

"Oke, Sayang," sahut Mira.

Di dalam kamarnya, Bagas merebahkan diri di kasur dengan kain berwarna biru awan yang menutupi kasurnya. Tangannya yang lumayan kekar meraih ponsel yang diletakkannya di samping badannya. Jari tangannya mengusap layar ponsel ke atas kemudian masuk ke salah satu media sosial dengan lambang salah satu huruf dengan warna biru. Beberapa menit kemudian ia beralih ke aplikasi chat dan menggeser layar ponselnya, hingga menampilkan deretan updatean status teman-temannya.

"Ya ampun," ucap Bagas saat melihat status yang diunggah oleh Dini. Menampilkan calon istrinya tengah berfoto di sebuah rumah makan bersama beberapa orang teman, dengan seorang pria duduk di sampingnya. Bagas kemudian bermain dengan dua jarinya, memperbesar kemudian memperkecil foto. Ia kembali senyum-senyum sendiri.

'Sudah lama gak ciuman sih' batin Bagas.

***

Pagi datang menjelang, Bagas yang mengenakan setelan jas berwarna biru dongker, telah stand by di ruang rapat, menunggu kliennya datang. Selang lima menit, dua orang pria dan dua orang wanita dengan usia yang lebih muda darinya, seumuran dengan Dini masuk ke dalam ruang rapat, setelah dipersilahkan oleh sekretarisnya. Masing-masing dari klien Bagas yang baru datang itu memperkenalkan diri kemudian mempresentasikan tawaran kerjasamanya.

Belakangan ini, Bagas memang tengah tertarik untuk memperluas usahanya, merambah dunia digital.

"Bagus, saya sangat tertarik dengan presentasi kalian," ucap Bagas begitu selesai mendengar presentasi.

Sejenak ia menatap layar laptopnya. "Baik, kami akan pelajari ini semua terlebih dahulu. Akan kami hubungi secepatnya." Lanjut Bagas lagi seraya berdiri dan bersalaman dengan kliennya itu.

Mereka semua meninggalkan ruang rapat. Bagas dan sekretarisnya mengantar klien mereka itu sampai ke depan pintu masuk kantor, sementara salah satu karyawan Bagas lainnya merapikan ruang rapat.

"Setelah ini, sampai sore saya gak ada jadwal lagi kan?" tanya Bagas pada Vina, sekretarisnya.

"Gak ada, Pak," jawab Vina singkat kemudian pamit menuju ruangannya.

Bagas menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat agar dapat pulang sebelum malam. Hari ini ia ingin pergi ke rumah Dini, menemui calon mertuanya untuk memberitahukan tanggal pernikahan.

Jarum jam yang berada di dinding ruang kerjanya, menunjukkan pukul setengah enam sore. Bagas membereskan meja kerjanya, kemudian masuk ke dalam kamar mandinya untuk membersihkan diri. Ia memang sengaja tak pulang dulu ke rumah untuk mempersingkat waktu. Setelah selesai mengenakan pakaian ganti yang selalu tersedia di kantornya, ia pamit pada sekretarisnya dan pergi.

Dalam hatinya, ia telah berencana ingin mengajak Dini keluar makan malam setelah berbicara dengan orang tua Dini. Namun, takdir berkata lain, jalan biasa yang dilaluinya sore ini macet parah, tak seperti biasanya. Alhasil ia sampai di rumah Dini tepat pukul setengah delapan malam.

"Semoga Dini belum tidur." Harap Bagas saat melihat keadaan rumah Dini tampak sepi dari luar. Hanya lampu teras yang menyala dengan cahaya yang sedikit remang. Langkah kakinya berjalan menuju pintu depan, kemudian satu jarinya menekan bel yang ada di samping pintu.

"Bagas," ucap Papa saat membuka pintu.

"Maaf malam-malam bertamu, Om," ucap Bagas sambil duduk di sofa ruang tamu.

"Gak apa-apa." Sahut Papa lagi yang beberapa detik kemudian Mama datang bergabung.

Bagas langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Mengatakan rencana tanggal pernikahannya. Mama mengambil kalender meja yang berada tak jauh dari tempat ia duduk.

Memandang sejenak kalender itu, kemudian mengangguk. "Tante setuju aja. Iyakan, Pa?"

"Iya. Gak terlalu terburu-buru, jadi kita masih punya wkatu untuk persiapan dan yang lainnya," timpal Papa.

"Kalian berdua kalau perlu sesuatu, jangan sungkan untuk bilang. Pasti kita sebagai orang tua akan bantu segala persiapannya," lanjut Papa bersamaan dengan bunyi perut Bagas. Terdengar jelas karena mereka hanya bertiga di ruang tamu.

'Perut, bikin malu aja' umpat Bagas kesal. Ia hanya bisa nyengir kuda menahan malu.

"Din, Dini." Panggil Mama.

"Kamu belum makan? Makan dulu ya," ucap Papa saat Dini tiba di ruang tamu.

"Din, ajak Bagas dulu," ucap Papa.

"Maaf ya, Om, Tante, Bagas jadi ngerepotin," sahut Bagas dengan nada suara tak enak. Papa dan Mama hanya tersenyum melihat tingkah calon menantunya.

Di ruang makan, Dini duduk di samping Bagas yang di depannya telah tersaji beberapa menu makan malam.

"Kamu memang mendadak ke sini apa gimana?" tanya Dini. Ia sedikit bingung melihat Bagas berada di rumahnya malam ini.

"Tadi rencananya mau ngajak kamu makan malam keluar, eh taunya jalanan yang biasa mau ke sini macet." Bagas kembali mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.

"Kenapa gak bilang kalau mau datang?" tanya Dini sambil mengambil setoples kacang di meja kemudian menikmatinya.

"Kirain keburu, makanya gak bilang." Sekilas Bagas memperhatikan Dini yang tengah mengunyah kacangnya. Gerakan bibir Dini yang membuat Bagas menjadi sedikit malu. Malu mengingat kejadian tempo lalu di kantornya.

Selesai makan, sebelum mereka berdua kembali ke ruang tamu, Bagas memastikan kembali bahwa Dini setuju untuk melangsungkan pernikahan di tanggal yang telah dipilih oleh calon mertuanya, Mira. Tanggal delapan belas di dua bulan ke depan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Awal Yang Baru

    Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Foto Di Koran

    Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Berdebat Dengan Bagas

    Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Di Rumah Mertua

    Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Rumah Sakit

    Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Kehilangan Calon Buah Hati 2

    Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status