Beranda / Romansa / Mencintai Seorang Climber / bab 07. Menemukan Pistol

Share

bab 07. Menemukan Pistol

Penulis: Yanti Soeparmo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-10 05:57:21

“Eh, siapa kamu?”

“Ini aku, Maryam. Kamu mau ngapain ke kampus malam-malam begini, Silvi?”

“Aku mau ke homebase, ada barangku yang ketinggalan.”

"Kenapa harus loncat pagar?”

“Aku nggak masuk lewat gerbang, karena malas ngomong minta dibukain gerbang sama satpam..”

“Bisa besok lagi kamu ambil barang yang ketinggalan itu.”

“Ya sudahlah, besok aja!” Silvi terlihat marah, lalu kembali memanjat pagar besi. Maryam juga terpaksa manjat lagi sambil menahan rasa sakit pada kakinya. Tak lama mereka sudah ada di trotoar jalan.

“Ngapain sih, Mbak ngikutin aku?!” gerutu Silvi sambil duluan jalan, kembali ke gang tempat rumah kos mereka berada. Maryam membuntuti dengan langkah terpincang-pincang.

“Heran aja ngelihat kamu ke kampus malam-malam begini. Aku juga terkadang ada barang tertinggal di markas dakwah kampus, aku cari besoknya lagi, nggak malam-malam datang ke kampus.”

Silvi merengut sembari terus melangkah masuk gang. Tiba di rumah kos, Silvi mengeluarkan kunci dari saku celana panjangnya, lantas membuka pintu kamarnya, mencabut kunci, kemudian dia masuk kamar. Dari luar kamar itu, Maryam mendengar suara selot pintu yang dipasang. Karena tingkah Silvi mencurigakan, Maryam penasaran, dan mengintip kamar Silvi melalui lubang kunci. Kebetulan kunci tidak terpasang. Bola mata Maryam melebar saat melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Silvi.

Maryam mengetuk pintu kamar Silvi. Beberapa saat kemudian pintu itu terbuka, dan Silvi melotot melihat Maryam berdiri di depan pintunya.

“Silvi, kakiku terkilir … sakit banget. Biasanya kamu punya balsam, boleh minta?”

Silvi masuk lagi ke kamarnya, Maryam membuntuti. Silvi menyodorkan balsam. Maryam menerimanya, lalu membuka tutup wadahnya. Karena tergesa, wadah balsam itu terjatuh, dan kaki Maryam bergerak sedikit, balsam itu tertendang masuk ke kolong tempat tidur Silvi.

“Aduh Sil, kakiku sakit, susah ditekuk. Tolong ambilin balsamnya!”

“Makanya Mbak, jangan suka kepo urusan orang!” gerutu Silvi sambil merunduk lalu melihat-lihat ke kolong ranjang.

Silvi meraih ponselnya, menyalakan senter untuk menerangi kolong ranjang. Dia sudah bisa melihat posisi balsam itu. Dia merangkak ke kolong ranjang untuk menggapai balsam itu. Dengan susah payah, dia merangkak mundur, mengeluarkan lagi tubuhnya dari kolong ranjang, dengan balsam di tangan. Dilemparkannya balsam itu ke atas kasur. Maryam mengambil balsam, lalu segera mengolesi kakinya. Setelah mengucapkan terima kasih, dia keluar dari kamar Silvi.

***

Keesokan harinya, usai salat subuh dan suasana masih gelap, Maryam bergegas menuju rumah Nining, rekannya jualan peyek. Dalam tas yang dijinjingnya, Maryam membawa sesuatu yang berasal dari kamar Silvi. Maryam teringat jika Nining punya adik yang baru lulus dari Pendidikan Bintara Polisi.

“Adikku itu tinggal di asrama, di markas polisi yang Jalan Merdeka.” ujar Nining. “Biarlah aku telepon dia. Adikku mungkin bisa menghubungkan kita dengan pihak yang lebih berwenang.”

Setelah mengobrol dengan adiknya, Nining bicara pada Maryam. “Kita disuruh nunggu di sini. Barang yang kamu bawa itu jangan disentuh.”

“Lha, aku sudah megang barang ini ….”

“Tas kamu taruh di halaman rumahku, daripada bahaya.”

Halaman depan rumah Nining adalah taman kecil yang dipenuhi tanaman bumbu dapur. Maryam meletakkan tasnya di taman itu. Menunggu.

Setengah jam kemudian datanglah beberapa orang ke rumah itu, untuk mengambil benda yang dibawa Maryam. Sedangkan tas dikembalikan pada Maryam.

“Milik siapa ini?” Inspektur Polisi Satu (Iptu.) Ekky Wahyudi mengamati benda yang dibawa Maryam. Iptu. Ekky adalah polisi senior berusia 40 tahun, berdinas sebagai reserse di Markas Polrestabes Bandung. Benda yang sedang dipegangnya adalah sepucuk pistol.

“Memang pistol rakitan. Tapi ada pelurunya, dan kemungkinan besar bisa berfungsi, bisa meledak. Pistol siapa ini?” tanya Iptu. Ekky lagi.

“Dapat nemu dalam tempat sampah di belakang kampus saya.” Maryam tak yakin jika polisi itu bakal percaya dengan ucapannya. Akan tetapi daripada bilang bahwa semalam dia mengintip Silvi yang sedang merogoh pistol itu dari saku jaket, lalu dimasukkan ke laci meja belajar.

Semalam, Maryam masuk ke kamar Silvi untuk minta balsam. Maryam sengaja menjatuhkan balsam itu, lalu menendangnya ke kolong ranjang. Saat Silvi merangkak ke kolong ranjang untuk meraih balsam, secepat kilat Maryam membuka laci meja belajar Silvi, dan mengambil pistol itu, lalu disembunyikan di balik bajunya. Akibatnya semalaman Maryam tidak nyenyak tidur memikirkan ada pistol di dalam kamarnya.

Pagi-pagi sekali Maryam berangkat ke rumah Nining, yang punya adik anggota polisi. Adiknya Nining itulah yang melapor pada instrukturnya, minta bantuan. Sang instruktur segera melapor ke Satuan Reserse dan Kriminal (Reskrim). Maka dikirimlah beberapa orang reserse ke rumah Nining.

Sudah lima kali ditanya, Maryam tetap bilang bahwa pistol itu ditemukannya di tempat sampah, akhirnya Iptu. Ekky tidak bertanya lagi. Para polisi itu pamit. Maryam merasa lega, sudah menyerahkan pistol itu ke tangan pihak yang lebih berwenang.

Maryam menuju kampus. Saat itu sudah pukul 08:20, kampus sudah ramai. Maryam berbelok ke pos security kampus.

“Pak, tadi malam ada yang mondok di homebase?” tanya Maryam.

“Kayaknya nggak ada.” jawab seorang satpam.

“Sekitar jam 9 malam, apakah ada orang di homebase?”

“Oooh, kalau masih jam segitu ada, tapi dia pergi sekitar jam 10 malam.” Satpam itu menatap Maryam dengan senyum aneh dan sorot mata curiga. “Ada apa nih, kok nanyain orang yang mondok di homebase?”

“Cuma khawatir, jangan-jangan teman saya ikutan mondok. Teman saya itu cewek, sedangkan yang mondok di homebase kan, cowok melulu.”

“Nggak ada cewek yang mondok di kampus ini.”

“Jadi siapa yang tadi malam ada di homebase, sekitar jam sembilan malam?”

Suara motor trail yang bising memasuki gerbang kampus.

“Nah, motor berisik itu yang semalam ada di tempat parkir.” ujar satpam.

Maryam menatap pengendara motor, yaitu Marco. Pagi itu Marco mengenakan kemeja warna biru tua lengan panjang, celana panjang hitam dan sepatu trail boots yang biasa dipakai para pendaki gunung. Setelah parkir motor, dia menuju homebase sambil menenteng helm. Rambutnya yang gondrong melampaui bahu dibiarkan tergerai dikibarkan angin, tampak rada kusut, tapi tidak pernah mengurangi kadar gantengnya.

Maryam pergi menuju taman belakang kampus, karena sebelumnya ada beberapa chat dari Silvi. Di taman itu Silvi sudah menunggu Maryam, untuk membicarakan masalah … pistol!

“Mana barang itu?!” Silvi langsung menarik tangan Maryam.

“Sudah aku berikan sama polisi.”

“Kenapa sih, kamu ikut campur urusanku!” teriak Silvi.

“Barang itu bisa membahayakan orang lain, dan juga diri kamu! Aku nggak bilang kalau barang itu milik kamu, aku bilang nemu di tempat sampah. Jadi polisi nggak bakal mencari kamu”

“Aku sudah jual gelang dan cincin emasku buat beli barang itu dari preman. Seenaknya aja kamu colong!” Silvi penuh amarah.

Maryam berbisik, “Kemarin malam kamu datang ke kampus dengan membawa pistol itu. Kamu mau menembak Marco?”

“Huh!”

“Benar begitu? Kenapa Silvi? Sepertinya Marco baik sama kamu.”

“Baik apanya? Dia bajingan yang sudah membunuh kakakku, Bang Tonny!”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mencintai Seorang Climber   bab 237. Ada Pelakor

    “Kamu ingin Marco kembali pada kakakmu?” tanya Hanif. “Begini Mas, karena pada saat menikah, ada situasi yang darurat, mungkin saja waktu itu Bang Marco hanya ingin membuat ayah saya merasa tenang, maka dia bersedia menikah dengan kakak saya. Jika setelah itu dia merasa bahwa pernikahan seperti itu adalah keputusan yang salah, saya tidak akan menyalahkan dia. Sekarang saya adalah wali bagi saudara perempuan saya. Kalau Bang Marco merasa tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan, maka saya persilakan dia datang ke hadapan saya untuk bicara bahwa dia tidak ingin melanjutkan pernikahan dengan Maryam. Itu saja. Saya tidak akan marah-marah. Jadi tidak perlu dia sembunyi dan menggantung status Maryam.” Nanang dan Pak Engkus akhirnya pamit. Nanang menemani Pak Engkus kembali ke rumah sakit untuk mempersiapkan keberangkatan ke Cirebon, membawa pulang jenazah kedua anaknya. Sementara itu, Hanif berkonsultasi dengan atasannya di Biro Hukum, tentang masalah yang menimpa Maryam. Status Hanif di b

  • Mencintai Seorang Climber   bab 236. Sang Pengacara

    Nanang kembali ke RS untuk menanyakan apakah sudah ada respons dari Bu Farida. Ternyata permintaan RS belum ditanggapi oleh Bu Farida. Chat dari RS sudah terbaca, namun tiada balasan dari Bu Farida. Pihak RS sudah mengirim staf humas untuk kembali mendatangi alamat Farida, tapi rumah itu masih kosong.Petugas RS bicara pada Nanang, “Kami sudah berusaha. Saran kami, Anda sebagai keluarga pasien Maryam untuk melapor ke polisi. Nanti kami bantu prosesnya.”Nanang merasa pusing sendiri, lelah, tapi tidak bisa mengabaikan karena yang dipertaruhkan adalah keselamatan kakaknya. Apa maksud Bu Farida menahan Maryam tetap bersamanya, padahal dia sudah diberi tahu bahwa dia salah bawa pasien. Yang dia bawa bukan menantunya. Mengenai bayi itu, memang anak Utami. Namun, orang tua kandung Utami menginginkan bayi itu kembali kepada mereka. Kalaupun mau dirawat oleh Bu Farida sebagai nenek si bayi, semestinya ada omongan dulu kepada keluarga Utami.Ayahnya Utami bicara pada Nanang. “Truk yang oleng i

  • Mencintai Seorang Climber   bab 235. Pasien yang Tertukar

    Pria muda itu adalah Nanang, semestinya sejak tadi dia bisa masuk ke bangsal IGD. Namun, karena akan ada kunjungan Kapolda, maka para penjenguk pasien diminta duduk dulu di ruang tunggu. Cukup lama Nanang duduk di salah satu teras, menunggu diperbolehkan masuk ke bangsal IGD. Ternyata dia terlambat.“Pasien atas nama Siti Rahmi Utami dan bayinya sudah dibawa oleh keluarganya.” Itu ucapan petugas di loket rumah sakit, ketika Nanang konfirmasi pasien yang dicarinya.“Kakak saya namanya Maryam Nur Asyifa, dan dia tidak punya bayi! Bagaimana ini? Pasien yang belum jelas identitasnya, malah dibiarkan dibawa pergi oleh orang yang ngaku-ngaku keluarganya?”Seorang petugas rumah sakit bertanya pada Nanang, “Anda sudah melihat ke kamar jenazah?”“Tadi saya dibawa ke kamar jenazah, di sana ada wanita muda korban dari mobil travel itu. Tapi wanita Itu bukan kakak saya! Karena kakak saya itu tingginya 165 cm. Wanita yang di kamar jenazah itu tingginya 157 cm. Kalau misalnya kakak saya yang ada di

  • Mencintai Seorang Climber   bab 234. Dijemput Ibu Mertua

    Maryam terbangun di rumah sakit tempatnya dirawat. Dia berada di bangsal IGD. Jilbabnya terlepas. Kakinya terasa sakit.“Anda mengalami luka di kaki.” ujar seorang suster yang sedang memeriksa suhu tubuh Maryam. “sedikit demam.”Tangan Maryam menyentuh kepalanya. “Jilbab ....” Suaranya serak dan lirih.Suster itu paham maksud pasiennya. “Jilbab Anda banyak sekali bercak d@rah, maka saya lepas karena saya kira Anda mengalami luka di kepala. Dokter sudah memeriksa, ternyata tidak ada luka di kepala Anda. Mungkin bercak d@rah pada jilbab Anda akibat terkena d@rah orang lain, sesama penumpang. Maaf kalau jilbab Anda kami buka.”“Di tas saya ada jilbab ....” Maryam ingin bicara lebih banyak. Namun, bicara sedikit saja sudah sulit, tak ada suara yang ke luar, kecuali hanya seperti desisan. Suster harus mendekatkan kepalany ke wajah pasien untuk mendengar suara pasiennya yang sangat lirih. “Tidak ada tas yang dibawa ke rumah sakit.” jawab suster itu. “yang dibawa bersama Anda ke rumah sakit

  • Mencintai Seorang Climber   bab 233. Korban

    Beberapa kendaraan, mobil pribadi dan juga motor, menepi. Orang-orang dari kendaraan itu berlari ke arah mobil travel yang terjungkal di tepi jalan dengan body mobil terkoyak. Beberapa orang turun ke selokan kering untuk mengevakuasi para penumpang yang berjatuhan dan bertumpuk di selokan itu. Suara erangan, rintihan menahan sakit, tangisan, teriakan minta tolong, berbaur dengan aba-aba dari seseorang yang mengajak beberapa orang lainnya untuk menegakkan mobil travel itu. Mungkin di dalam mobil masih ada penumpang yang tersangkut dan mesti segera dikeluarkan.“Lekas! Lekas! Bahan bakarnya sudah merembes ke luar.”“Awas! Jangan ada yang merokok! Bahaya!”“Sudah telepon polisi?”“Kantor polisi mana yang paling dekat? Biar saya datangi saja, daripada menelepon nggak tahu nomornya.”“Lebih penting menelepon rumah sakit, untuk minta bantuan mobil ambulans! Banyak yang luka parah!”“Mana tadi sopir truk yang nabrak?”“Ah, sudahlah! Lebih urgen menolong penumpang mobil yang ditabrak!”Maryam

  • Mencintai Seorang Climber   bab 232. Menuju Bandung

    Menaiki mobil travel menuju Bandung, Maryam memilih keberangkatan pukul enam pagi. Paling telat mobil itu akan tiba di pool jalan Pasteur Bandung pada pukul sepuluh pagi. Berarti masih ada waktu beberapa jam sebelum wawancara kerja pada pukul dua siang. Maryam sudah menelepon adiknya, dia berencana titip dulu barang di tempat kos adiknya.Vera memang sudah bilang akan menerima Maryam menginap, tapi Maryam memperkirakan mungkin saat dirinya tiba di Bandung, Vera masih ada di tempat kerja. Tidak mungkin tiba-tiba saja Maryam datang ke rumah Vera, nanti orang tua Vera yang bingung. Masih mending kalau ada orang di rumahnya, kalau rumahnya kosong, misalnya karena orang tua Vera sedang pergi, nanti Maryam bisa kecele banget. Makanya Maryam memilih ke tempat kos Nanang.Nanang menjawab telepon kakaknya, “Begitu mobil masuk kota Bandung, Teteh langsung chat aku, nanti aku tunggu di pool travel untuk jemput Teteh.” “Kamu nggak lagi sibuk kuliah, Nang?”“Kuliah nanti siang, setelah zuhur.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status