Muslikah menceritakan kepada pengacara itu, bahwa suaminya menikah lagi tanpa izinnya sebagai istri pertama. Suaminya beli rumah, tapi merahasiakannya dari istri. Namun, Muslikah sudah menemukan bukti pembelian rumah itu. Kemudian Muslikah dan kedua anaknya ingin melihat rumah itu, namun ternyata rumah itu ada penghuninya. Kemungkinan besar rumah itu diisi oleh istri muda suaminya.Muslikah masih ingin menjaga nama baik suaminya, jadi dia enggan membuka pernikahan siri suaminya kepada polisi. Maka dari itu, pengacara memberi saran agar Muslikah cukup bicara soal pembelian rumah baru yang dilakukan oleh suaminya, dan tidak usah bicara soal istri muda suaminya.Setelah mengantar klien melapor pada polisi dan melakukan visum, pengacara itu mengajak Muslikah dan kedua anaknya untuk bicara lebih tenang, di sebuah rumah makan. Mereka memilih duduk di pojok. Muslikah dan kedua anaknya masih terus kepikiran urusan melabrak istri muda Ruhiyat, yang ternyata salah sasaran, padahal sudah terlanj
Bapaknya tampak tidak suka saat Maryam mengatakan bahwa dirinya mau bicara dulu dengan Marco, untuk urusan mencabut laporan di kantor polisi.“Maryam, kamu itu belum menikah! Marco itu bukan siapa-siapa kamu! Tanggung jawab terhadap dirimu itu masih ada di tangan bapak! Jadi yang mestinya kamu patuhi itu adalah bapakmu ini, bukan Marco! Ngerti kamu?”“Bapak pilih kasih, Bapak lebih mikirin kepentingan Irma daripada harga diriku yang sudah direndahkan oleh istri dan anak-anaknya Ruhiyat, menantu Bapak!” Setelah bicara begitu, Maryam berjalan ke luar dari rumah.Mulanya kedua orang tua Maryam mengira jika anak gadisnya itu hanya pergi ke rumah tetangga, curhat ke teman-temannya. Namun, ketika ponsel Maryam dihubungi, tidak aktif. Kemudian beberapa tetangga ditelepon, bahkan rumahnya didatangi untuk mencari Maryam, ternyata Maryam tidak datang ke situ.“Jangan-jangan anak itu malah nyamperin Marco! Gawat!” Bapaknya Maryam menelepon Marco, namun ponselnya tidak aktif juga.Karena khawatir
Bapaknya Maryam yang bernama Wardoyo akhirnya berangkat menuju Markas Polres Cirebon. Dia bertemu lagi dengan Sunedi yang baru tiba di situ. Karena Sunedi harus meminta bantuan dulu ke pengacara kenalannya, makanya dia baru tiba di kantor polisi itu. Namun, mereka tidak serta merta boleh masuk ke dalam kantor polisi itu. Mereka menunggu dulu di luar, hingga akhirnya seorang polisi mendatangi Sunedi. Polisi itu adalah teman Sunedi, keduanya berbincang serius. Lantas pengacara yang datang bersama Sunedi dipersilakan masuk ke dalam kantor. Sunedi juga boleh masuk. Sebelum beranjak, Sunedi bicara pada Pak Wardoyo.“Waktu Marco dijemput oleh polisi dari penginapannya, ternyata Marco sempat saling kontak telepon dengan Maryam. Makanya Maryam tahu kalau Marco dibawa ke polres atas laporan seseorang. Sepertinya Maryam menyusul ke polres, untuk jadi saksi, karena memang anak sampeyan itu yang tahu persis masalah sebenarnya.”Sore itu, akhirnya Daffa mencabut laporannya terhadap Marco, dengan p
Maryam dan Marco mengobrol di kafe, sembari menikmati makanan dan minuman.“Aku sudah melamar kerja jadi guru di madrasah tempat aku pernah sekolah.” ujar Maryam.“Sudah diterima?”“Belum tahu, tapi aku melamar ke situ juga karena ada seorang guru IPA yang bakal cuti melahirkan, dan kemungkinan guru itu belum akan mengajar lagi setelah bayinya lahir. Dia guru honorer. Jadi lamaran kerjaku mungkin baru dipertimbangkan kalau guru itu sudah mengajukan cuti, atau bahkan resign.”Marco teringat wawancara kerja di Jakarta yang pernah dilakoninya, tapi belum ada lagi kabar mengenai kelanjutan dari perekrutan pegawai oleh perusahaan itu. Marco mengira dirinya tidak lolos, tidak bisa diterima oleh perusahaan itu. Itu berarti dia mesti mencari lowongan pekerjaan lain, atau bekerja di perusahaan milik keluarganya.Ketika Marco melamar kerja dengan lokasi kerja di luar Jawa, alasannya karena pada saat itu dia mengira bahwa Maryam sudah memilih pria lain. Ketika itu, dirinya merasa tidak akan sang
“Bagaimana rasanya jika kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi seseorang itu sulit digapai? Orang itu bukan selebritis, bukan pejabat, bukan pula suami wanita lain. Seseorang itu mahasiswa juga di kampusku, sama seperti aku yang juga mahasiswa di Universitas Taruma Bandung. Cuma bedanya, aku anak sopir angkot, dia anak pengusaha kaya raya. Ya sudah jelas, rasa cintaku ini nggak tau diri.” Begitulah yang ditulis seorang mahasiswi bernama Maryam, di notesnya, saat hatinya resah, sulit tidur padahal sudah hampir tengah malam. Maryam sedang berada di sebuah kawasan yang cukup jauh dari kampusnya dan juga rumah kosnya. Kampusnya di Kota Bandung, sedangkan saat ini Maryam ada di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Maryam berada di kawasan itu dalam rangka memulai praktik mengajar di sebuah SMP, untuk merampungkan salah satu tugas akhir kuliahnya. Sudah beberapa hari Maryam dan dua rekannya berada di Cicalengka, untuk praktik mengajar selama sebulan pada sebuah SMP. Kepala sekolah sudah mengizin
Maryam merasa Marco sedang menatapnya dengan perasaan kesal karena lantai homebase yang masih kotor.“Nanti homebase itu saya sapu, setelah beres cuci piring.” ujar Maryam.“Itu di meja ada nasi kuning dan lauk pauk, kenapa belum dibawa ke lokasi acara?” tanya Marco sembari menuding meja di dalam homebase.“Itu nasi kuning buat di sini ….”Para akhwat juga memasak nasi kuning buat anak-anak pencinta alam, walaupun tentu tidak akan cukup jika untuk semua anggota. Namun cukup banyak beras yang dimasak, dua kilo. Lauknya orek tempe dan urap sayuran. Itulah masakan tanda terima kasih karena sudah diizinkan pinjam homebase.Beberapa anggota pencinta alam masuk ke dalam homebase. Ada yang melongokkan kepala memandangi Maryam. “Teteh, itu nasi dan ce-esnya, buat kita?”“Iya, silakan dimakan ya.” jawab Maryam.“Asyik, makasih banyak Teteh cantik. Hei Guys, makan kuy!”Marco berdiri di pintu, memandangi para anggota pencinta alam yang mau makan. “Hei, kelar makan nanti, lo semua bersihin nih h
Setelah itu, Marco kerap beli peyek buatan Maryam, sebelum dikirim ke kantin. Katanya peyek itu buat teman makan nasi kalau di rumah, kadang jadi cemilan saat dia sedang mengerjakan tugas kuliah. Maryam tentu senang punya pelanggan tetap yang selalu membeli peyeknya dalam jumlah cukup banyak. Kadang-kadang Marco mengajak Maryam ngobrol cukup banyak, tentang kampung halaman Maryam di Cirebon. Marco minta dicarikan baju batik khas Cirebon, yang dibuat oleh wong Cirebon, katanya dia pengin pakai baju batik buat acara keluarga besarnya. Maryam mencari di pengrajin batik, di wilayah Trusmi. Dikirimkannya beberapa foto baju batik beraneka motif, ke nomor WA Marco. Sekalian dengan informasi harga. Maryam mengirim gambar baju batik dari yang cukup murah, menengah, dan mahal. Motif batik yang dipilih Maryam adalah yang khas Cirebon, seperti motif mega mendung, singa barong, dan paksi naga liman. Ternyata Marco menyukai motif batik tersebut, lantas mentransfer sejumlah uang ke rekening Ma
Setelah rombongan itu pergi, Marco bicara. “Gue mimpi lagi .... ketemu Tonny ... dia terus saja bilang ... aku mau mati sebagai climber.”Cepi menjawab lirih, “Jangan dipikirin terus. Semua sudah berakhir, Bro. Nggak ada lagi yang bisa lo perbuat untuk Tonny.”Marco bertanya dalam hati, Kapan ya, pertama kali datangnya mimpi itu? Mimpi buruk tentang sebuah pemanjatan di tebing, bersama seorang rekan bernama Tonny. Dalam mimpinya, Tonny sesumbar, “Aku mau mati sebagai climber!”Dulu ... sekitar tiga tahun lalu mimpi buruk itu berawal, tapi kemudian Marco merasa semua bakal pulih seperti sedia kala, termasuk hatinya. Namun sekarang, setelah bertahun lewat, mimpi buruk itu datang lagi. Marco merasa, mimpi itu datang karena ada kaitannya dengan seseorang yang masuk dalam organisasi pencinta alam kampus. Tepatnya, seorang mahasiswi, adik kelasnya, yang masuk menjadi anggota Adventure setahun lalu. Gadis itu bernama Silvi. Sejak Silvi masuk ke organisasi Adventure, Marco kembali mengalami
Maryam dan Marco mengobrol di kafe, sembari menikmati makanan dan minuman.“Aku sudah melamar kerja jadi guru di madrasah tempat aku pernah sekolah.” ujar Maryam.“Sudah diterima?”“Belum tahu, tapi aku melamar ke situ juga karena ada seorang guru IPA yang bakal cuti melahirkan, dan kemungkinan guru itu belum akan mengajar lagi setelah bayinya lahir. Dia guru honorer. Jadi lamaran kerjaku mungkin baru dipertimbangkan kalau guru itu sudah mengajukan cuti, atau bahkan resign.”Marco teringat wawancara kerja di Jakarta yang pernah dilakoninya, tapi belum ada lagi kabar mengenai kelanjutan dari perekrutan pegawai oleh perusahaan itu. Marco mengira dirinya tidak lolos, tidak bisa diterima oleh perusahaan itu. Itu berarti dia mesti mencari lowongan pekerjaan lain, atau bekerja di perusahaan milik keluarganya.Ketika Marco melamar kerja dengan lokasi kerja di luar Jawa, alasannya karena pada saat itu dia mengira bahwa Maryam sudah memilih pria lain. Ketika itu, dirinya merasa tidak akan sang
Bapaknya Maryam yang bernama Wardoyo akhirnya berangkat menuju Markas Polres Cirebon. Dia bertemu lagi dengan Sunedi yang baru tiba di situ. Karena Sunedi harus meminta bantuan dulu ke pengacara kenalannya, makanya dia baru tiba di kantor polisi itu. Namun, mereka tidak serta merta boleh masuk ke dalam kantor polisi itu. Mereka menunggu dulu di luar, hingga akhirnya seorang polisi mendatangi Sunedi. Polisi itu adalah teman Sunedi, keduanya berbincang serius. Lantas pengacara yang datang bersama Sunedi dipersilakan masuk ke dalam kantor. Sunedi juga boleh masuk. Sebelum beranjak, Sunedi bicara pada Pak Wardoyo.“Waktu Marco dijemput oleh polisi dari penginapannya, ternyata Marco sempat saling kontak telepon dengan Maryam. Makanya Maryam tahu kalau Marco dibawa ke polres atas laporan seseorang. Sepertinya Maryam menyusul ke polres, untuk jadi saksi, karena memang anak sampeyan itu yang tahu persis masalah sebenarnya.”Sore itu, akhirnya Daffa mencabut laporannya terhadap Marco, dengan p
Bapaknya tampak tidak suka saat Maryam mengatakan bahwa dirinya mau bicara dulu dengan Marco, untuk urusan mencabut laporan di kantor polisi.“Maryam, kamu itu belum menikah! Marco itu bukan siapa-siapa kamu! Tanggung jawab terhadap dirimu itu masih ada di tangan bapak! Jadi yang mestinya kamu patuhi itu adalah bapakmu ini, bukan Marco! Ngerti kamu?”“Bapak pilih kasih, Bapak lebih mikirin kepentingan Irma daripada harga diriku yang sudah direndahkan oleh istri dan anak-anaknya Ruhiyat, menantu Bapak!” Setelah bicara begitu, Maryam berjalan ke luar dari rumah.Mulanya kedua orang tua Maryam mengira jika anak gadisnya itu hanya pergi ke rumah tetangga, curhat ke teman-temannya. Namun, ketika ponsel Maryam dihubungi, tidak aktif. Kemudian beberapa tetangga ditelepon, bahkan rumahnya didatangi untuk mencari Maryam, ternyata Maryam tidak datang ke situ.“Jangan-jangan anak itu malah nyamperin Marco! Gawat!” Bapaknya Maryam menelepon Marco, namun ponselnya tidak aktif juga.Karena khawatir
Muslikah menceritakan kepada pengacara itu, bahwa suaminya menikah lagi tanpa izinnya sebagai istri pertama. Suaminya beli rumah, tapi merahasiakannya dari istri. Namun, Muslikah sudah menemukan bukti pembelian rumah itu. Kemudian Muslikah dan kedua anaknya ingin melihat rumah itu, namun ternyata rumah itu ada penghuninya. Kemungkinan besar rumah itu diisi oleh istri muda suaminya.Muslikah masih ingin menjaga nama baik suaminya, jadi dia enggan membuka pernikahan siri suaminya kepada polisi. Maka dari itu, pengacara memberi saran agar Muslikah cukup bicara soal pembelian rumah baru yang dilakukan oleh suaminya, dan tidak usah bicara soal istri muda suaminya.Setelah mengantar klien melapor pada polisi dan melakukan visum, pengacara itu mengajak Muslikah dan kedua anaknya untuk bicara lebih tenang, di sebuah rumah makan. Mereka memilih duduk di pojok. Muslikah dan kedua anaknya masih terus kepikiran urusan melabrak istri muda Ruhiyat, yang ternyata salah sasaran, padahal sudah terlanj
Saat pagi itu Marco mendatangi Maryam, rencananya mau ngajak sarapan bareng. Pada akhirnya mereka berdua bisa makan bareng, tapi bukan lagi sarapan, melainkan makan siang, itupun sudah telat. Lewat tengah hari, urusan lapor polisi, lalu ke rumah sakit untuk visum, akhirnya selesai. Hasil visum baru bisa dikeluarkan beberapa hari lagi, akan dikirim kepada polisi penyidik yang meminta dilakukan visum terhadap korban. Berarti prosedur hukum tahap awal sudah selesai untuk hari itu. Marco mengajak Maryam makan di sebuah warung yang paling dekat dengan rumah sakit.Warung itu menjual sega lengko, makanan khas Cirebon. Nasi putih diberi potongan tempe goreng, tahu goreng, irisan ketimun, tauge rebus, lalu disiram bumbu kacang, ditaburi remukan kerupuk. Bentuk sega lengko seperti nasi pecel, hanya saja sayurnya tidak banyak macamnya. Teman makan sega lengko ada telur, peyek kacang, peyek udang, tinggal pilih saja. Marco ambil semuanya, karena dia lapar, dan peyek adalah makanan kesukaannya.
Jeritan keluar dari mulut wanita muda yang menghunus gunting dan hendak menyerang Maryam. Ada seseorang yang baru datang dan mendorong tubuh wanita muda itu hingga jatuh tertelungkup di rumput, lantas merebut gunting dari tangan wanita itu.“Maryam?"Maryam menoleh karena mendengar suara yang dikenalnya. Marco datang tepat waktu, dan melumpuhkan wanita yang penuh amarah itu. Marco membantu Maryam berdiri. Dia heran karena Maryam tidak pakai jilbab, membiarkan rambutnya yang panjang tergerai berantakan. Bahkan awalnya Marco sempat mengira wanita itu bukan Maryam. Marco yang baru tiba di depan rumah itu, spontan bergerak menjatuhkan wanita yang menghunus gunting, karena melihat wanita itu mau menikam wanita lain.“Hei, lo memukul adik gue, hah?” Pria muda yang tadi mengeroyok Maryam. datang ke situ bersama ibunya. “lo laki-laki apa banci, hah? Beraninya cuma menyerang cewek!” teriak pria muda itu pada Marco.Maryam menemukan keberaniannya. “Harusnya tanyakan sama dirimu sendiri! Barusan
Maryam masih berusaha meronta sekuat tenaga, melepaskan diri dari tiga orang yang tiba-tiba saja datang dan mengeroyoknya. Namun tenaganya masih kalah dari pria muda yang menelikung lengannya ke punggung. Wanita yang tua sudah menampar wajah Maryam dua kali. Pria muda itu bilang, jangan melukai secara fisik, nanti kena tuntutan pidana. Mending gundulin saja kepalanya.Maryam tersentak saat tiba-tiba saja wanita muda di sampingnya menarik jilbabnya, lantas menjambak rambutnya sampai kepala Maryam mendongak.“Penginnya sih, nyiram wajah pelakor ini pake air keras!” ucap Wanita yang muda, lantas menyemburkan saliva ke wajah Maryam.“Sayang sekali kita nggak bawa air keras. Tapi Mamah biasanya bawa gunting. Kita gundulin rambutnya! Mana guntingnya, Mah?” ujar si pria sembari tetap memegangi lengan Maryam, sampai Maryam merasa sikunya seperti dipuntir saking sakitnya.“Entar, mamah cari dulu guntingnya, biasanya ada di tas mamah.” Wanita yang tua merogoh tasnya.“Tolong! Tolong!” Maryam be
Suara ketukan pada pintu Kembali berulang. Maryam berjalan ke pintu depan, mengintip dulu dari jendela. Ternyata Ruhiyat yang baru kembali ke rumah itu, pada tengah malam. Maryam celingukan, berharap Irma atau emaknya Irma keluar kamar untuk membukakan pintu, karena rasanya risih, saat malam hari dirinya membukakan pintu untuk suami orang. Namun tak ada yang bangun. Akhirnya Maryam memutar kunci, lantas membuka pintu.“Eh, Maryam, kamu belum tidur?” tanya Ruhiyat.“Belum Pak.”Ruhiyat masih di teras, dia menoleh ke arah asistennya yang berdiri di halaman. “Roni, kamu bawa mobil itu ya. Terlalu kentara itu mobil saya, jadi mending mobil itu jangan ada di sini. Tapi besok kamu jemput saya, parkir mobil di pinggir jalan yang rada jauh dari rumah ini.”“Siap Pak.” Lantas pria itu pergi, menaiki mobil yang parkir di tepi jalan depan rumah itu.Ruhiyat masuk ke dalam rumah.Sementara itu, di seberang jalan, seseorang mengarahkan kamera ponselnya ke rumah itu. Orang tersebut berhasil mengamb
Marco memberi Maryam sebuah ponsel baru, yang sudah dipasangi sim card, diisi pulsa dan kuota internet. “Ya ampun, itu mah, hape buat anak SD atuh!” Ucapan itu terlontar dari mulut Wartini, saat dia ke luar rumah, menemukan Marco dan Maryam duduk di teras, dan ada sebuah ponsel yang disodorkan Marco ke tangan Maryam. Ketika itu Wartini berjalan ke luar rumah untuk mengantar anak dan menantunya yang akan meninggalkan rumah itu, tidak jadi menginap. Wartini kembali mengoceh, “Kasihan banget kamu Maryam, dikasi hape murahan. Pacarmu belum kerja, ya? Atau sudah kerja, tapi gajinya sedikit? Kalau Irma, sejak dua tahun lalu sudah beli hape yang harganya belasan juta, dari uang hasil kerjanya sendiri. Saya juga dikasi hape sama Irma, yang harganya lima juta, belinya juga tahun lalu.” Marco sebenarnya sanggup membeli ponsel baru cap apel yang harganya belasan juta, tapi apakah Maryam mau menerimanya? Selama ini Maryam senantiasa bersikap anti diberi, apalagi barang yang berharga mahal. M