ログインKeesokan paginya, surat kembali datang. Diana tidak bisa menunda kunjungan ke keluarga Sinclair lebih lama.
Namun, saat ia bertanya mengenai pangeran– “Saat ini Yang Mulia tidak ada di ruang kerjanya. Saya kurang tahu, Putri.” Diana mengangguk perlahan. Ah. Jadi begitu. Tidak ingin menemani perjalanan tradisi penting ini, rupanya. Diana menghela napas tipis. Sungguh, ia sudah menduga. Arthur bukan tipe pria yang suka memperlihatkan kepedulian secara terbuka. Bahkan sangat mungkin… ia hanya menganggap Diana sebagai kewajiban negara yang kebetulan masih hidup. Mata Diana berkilat dingin saat kembali menatap bayangan wajahnya di cermin. Baik. Kalau begitu… dia akan menghadapi keluarganya sendiri. Dengan atau tanpa suaminya. “Ayo segera pergi,” ucap Diana sambil bangkit dari kursi. Embun dan Bibi Erna segera mengikuti dari belakang. Kereta kuda keluarga kerajaan yang dilapisi hiasan emas berhenti tepat di depan gerbang utama kediaman Sinclair. Para prajurit kerajaan membuka jalur, dan Diana turun dengan dibantu Embun serta Bibi Erna. Udara pagi terasa menusuk, namun Diana tidak menggigil, hanya menatap kediaman itu dengan mata yang perlahan mendingin. Gerbang besar keluarga Sinclair tertutup rapat. Tidak ada pelayan yang menunggu di depan. Tidak ada keluarga yang menyambut. Tidak ada tanda penghormatan apa pun kepada putri mereka yang kini telah menjadi Putri Mahkota Norvenia. Bibi Erna tampak langsung kesal. “Yang Mulia… bagaimana bisa mereka menutup pintu rapat-rapat seperti ini?” gumamnya dengan nada marah. Diana tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke arah pintu itu. Kemudian, saat ia hendak mendorongnya, gerbang terbuka tiba-tiba. Di sana berdiri seorang wanita paruh baya dengan pakaian mahal dan kipas sutra di tangannya. Renata Sinclair. Ibu tiri Diana. Istri pertama dari Tuan Sinclair. Renata tampak—entah benar-benar terkejut atau hanya bersandiwara—menutup mulutnya sedikit dengan kipas. “Astaga… kau di sini?” Kalimatnya sama sekali tidak sopan. Namun Diana tetap membungkuk rendah. “Salam, Ibu.” Renata mengibaskan kipasnya, menyembunyikan sebagian wajahnya. “Ah… sekarang kau Putri Mahkota, ya?” Nada itu terdengar seperti penghinaan terselubung. Bibi Erna hampir bersuara, namun Diana menghentikannya hanya dengan lirikan sekilas. Lalu ia tersenyum. “Meskipun begitu, Diana tetaplah putri keluarga Sinclair. Diana kemari untuk memberikan penghormatan sesuai tradisi.” Renata tertawa kecil, tawa anggun yang palsu. “Penghormatan, ya?” gumamnya, sebelum akhirnya berbalik dengan gaya acuh. “Kalau begitu, aku tidak bisa membuat seorang Putri berdiri terlalu lama. Ayo masuk.” Diana melangkah masuk. Hatinya perlahan membeku, seperti salju tipis yang menutupi permukaan kaca. Bagaimana mungkin ‘Diana’ yang sebelumnya bertahan begitu lama di rumah ini? Tapi… Diana tidak bisa menyalahkan wanita itu. Karena dirinya—di kehidupan lain—pernah melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, ia tidak akan mengulang kesalahan itu lagi. Di koridor panjang menuju aula utama, suara manis terdengar. “Diana? Itu kau?” Diana berhenti. Suaranya saja sudah cukup untuk membuat ia tahu siapa orangnya. Isabella Sinclair. Diana menoleh. Isabella melangkah cepat mendekat, lalu langsung memeluknya erat. “Aku sangat merindukanmu!” ucapnya sambil mengeluarkan air mata. Diana merasa dada serasa kosong. Bukan karena rindu—bukan. Melainkan karena dingin dalam dirinya semakin tebal. Namun ia membalas pelukan itu perlahan, tersenyum lembut seolah tersentuh. “Aku juga sangat merindukanmu, Kak,” jawab Diana. Ia akan mengikuti permainan wanita itu. Diana belum melepaskan pelukannya saat sebuah suara lembut muncul dari belakang Isabella. “Diana?” Diana melepaskan pelukan Isabella. Seorang pria berdiri tidak jauh. Rambut hitam panjang yang diikat sederhana dengan giok putih, wajah lembut, mata cokelat hangat, hidung mancung halus, dan sedikit kemerahan alami di pipinya. Alon. Musim semi dalam bentuk manusia. Diana tersenyum kecil dan mengangguk sopan. Namun ia kemudian mengalihkan pandangan ke Isabella, seolah Alon tidak lebih dari hiasan dinding. Dan Alon… menyadarinya. Kening pria itu mengerut sedikit. Ada sesuatu yang berbeda dengan Diana. Terlalu berbeda. Dulu, setiap kali melihatnya, Diana selalu menatapnya hangat dan ragu-ragu. Sekarang? Tatapan itu… dingin dan jauh. Isabella kembali memeluknya erat dan berbisik lirih, “Kenapa semalam kamu tiba-tiba memutuskan sesuatu? Pelayan itu pasti salah menyampaikan pesan, kan?” Diana membalas pelukannya dengan suara lembut namun penuh arti. “Pelayan itu tidak salah, Kak. Aku… memang ingin berkorban untuk keluarga dan Kakak. Bukankah itu memang tujuan awalku menggantikanmu?” Pelukan itu pun dilepaskan. Diana tersenyum hangat pada Isabella. Namun senyum yang diterima Isabella membuat wanita itu mengepalkan tangan kecil di balik jubahnya. Sorot matanya mendingin, meski bibirnya masih tersenyum anggun. Diana tersenyum sekali lagi lalu mengikuti Renata. Ketika tiba di aula utama, Diana langsung melihat Tuan Sinclair duduk di kursi kehormatan, menatapnya dengan ekspresi yang sama seperti dulu—dingin dan meremehkan. Diana bergerak maju. Sebuah bantal diletakkan di lantai. Ia akan memberikan salam penghormatan terakhirnya. Setelah hari ini, ia tidak akan pernah lagi membungkuk kepada siapa pun kecuali kepada Kaisar, Permaisuri, dan suaminya. Diana berlutut. Namun saat lututnya mengenai bantal itu— Diana menahan napas. Ada sesuatu yang menusuknya dari balik permukaan kain. Jarum. Jarum-jarum kecil, banyak, ditusukkan di bawah kain bantal. Lutut Diana langsung terasa panas dan perih, namun wajahnya tetap tenang. “Diana memberi salam pada Ayah,” ucapnya datar. Tuan Sinclair hanya mengangguk acuh. Tidak membalas. Tidak mengucapkan doa. Tidak memberi pengakuan. Ketika Diana hendak berdiri— rasanya nyaris mustahil. Jarum-jarum itu menusuk kulitnya lebih dalam. Namun ia tetap mencoba bangkit. Ia tidak akan memperlihatkan kelemahan. Isabella tiba-tiba mendekat. “Adik, mari kubantu.” Diana terkejut, tapi tidak sempat menolak. Isabella langsung menggenggam lengannya dengan paksa. Dan saat Diana sedikit menggeser tubuhnya— Isabella menjatuhkan diri sendiri ke lantai sambil berteriak keras. “AH!” Semua orang kaget. Isabella memandang Diana dengan mata penuh keterkejutan dan rasa sakit palsu. “Adik… apa yang kau lakukan? Aku hanya membantumu berdiri. Apa ini karena aku sudah tidak pantas lagi menjadi kakakmu karena kau sekarang adalah Putri Mahkota?” Air mata Isabella jatuh. Tuan Sinclair langsung menggebrak meja. BRAK!! “DIANA!!” Diana menatap Isabella dingin. Lalu ia mengalihkan pandangan ke Tuan Sinclair. Ah… Wanita itu benar-benar langsung memulai 'permainan' untuknya. Terburu-buru sekali.“Berlutut, Diana! Kamu tidak sopan telah mendorong kakakmu!”Diana menegang. Keningnya terlipat dalam.Ia? Mendorong Isabella?Isabella berdiri di samping Alon dengan tatapan terluka pura-pura, tangannya memegang lengan pria itu seolah butuh penyangga. Diana tidak memedulikan itu—ia hanya menatap ayahnya dengan ekspresi datar.“Berlutut?” gumamnya di dalam hati, geli sekaligus marah.Dia Putri Mahkota sekarang.Namun keluarga Sinclair masih memperlakukannya seperti budak murahan.“Aku tidak menyentuh Kak Isabella sama sekali,” ucap Diana tegas. “Justru Kak Isabella yang menggenggam tanganku. Bagaimana bisa aku mendorongnya, Ayah?”Tuan Sinclair memukul sandaran kursinya dengan keras. Mata tuanya menyipit penuh amarah.“Dasar putri tidak tahu terima kasih! Tanpa keluarga Sinclair, memangnya kau bisa menjadi Putri Mahkota?!”Diana terasa ingin tertawa.Keluarga ini… benar-benar delusional.Renata maju setengah langkah sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi.“Benar yang Ayahmu katakan! Ji
Keesokan paginya, surat kembali datang. Diana tidak bisa menunda kunjungan ke keluarga Sinclair lebih lama.Namun, saat ia bertanya mengenai pangeran–“Saat ini Yang Mulia tidak ada di ruang kerjanya. Saya kurang tahu, Putri.”Diana mengangguk perlahan.Ah. Jadi begitu.Tidak ingin menemani perjalanan tradisi penting ini, rupanya.Diana menghela napas tipis. Sungguh, ia sudah menduga. Arthur bukan tipe pria yang suka memperlihatkan kepedulian secara terbuka.Bahkan sangat mungkin… ia hanya menganggap Diana sebagai kewajiban negara yang kebetulan masih hidup.Mata Diana berkilat dingin saat kembali menatap bayangan wajahnya di cermin.Baik.Kalau begitu… dia akan menghadapi keluarganya sendiri.Dengan atau tanpa suaminya.“Ayo segera pergi,” ucap Diana sambil bangkit dari kursi.Embun dan Bibi Erna segera mengikuti dari belakang.Kereta kuda keluarga kerajaan yang dilapisi hiasan emas berhenti tepat di depan gerbang utama kediaman Sinclair. Para prajurit kerajaan membuka jalur, dan Di
Diana melipat surat itu kasar dan menyimpannya di balik pakaian. Sejujurnya, Diana pribadi tidak ingin peduli pada tradisi seperti kunjungan keluarga dan lain sebagainya.Namun, tubuh ini adalah milik putri bungsu keluarga Sinclair yang kini telah menjadi putri mahkota.Apa pun yang ia lakukan sekarang, akan ditanggung juga oleh suaminya. Yang meski namanya sudah buruk dan orangnya menyebalkan–pria itulah yang akan mendampingi hidup Diana kelak.Ia menarik napas panjang untuk menguasai emosinya sebelum akhirnya kembali berjalan mengejar Arthur.Pria itu rupanya menuju ruang kerjanya. Di sana, Arthur tengah duduk tenang di balik meja kerjanya. Punggungnya tegak, kedua tangannya menyatu di atas meja, dan tatapannya langsung terarah padanya ketika Diana muncul di ambang pintu.Diana membungkuk singkat. “Maaf, Yang Mulia. Saya tadi terkesan memaksa. Jika Anda–”“Duduk.”Satu kata. Singkat. Tegas. Pemotongan yang entah keberapa kalinya.Diana ingin sekali mendesah keras, tapi ia menahanny
Mendengar itu, Arthur tersenyum miring. Tampak mencemooh.“Memangnya dirimu pikir kau siapa?” ucap Arthur, dingin dan menusuk. “Jangan terlalu tinggi menilai dirimu.”Senyum Diana membeku sejenak. Ia memaksakan kembali senyum normalnya.Seharusnya ia tidak terkejut. Sepengetahuannya dan semua orang di buku, “Diana” yang asli tidak paham soal medis sama sekali. Selain itu, dengan jaminan apa Arthur bisa memercayainya begitu saja?Namun, sekarang, ia punya langkah yang jelas dalam misinya untuk mengambil hati sang pangeran.Ia akan menyembuhkan Arthur.Dengan begitu, Arthur akan memberinya pengakuan dan perlindungan. Baik itu dari keluarga Sinclair ataupun dari kematian.“Yang Mulia,” Diana mencoba lagi. “Jika Yang Mulia mengizinkan, saya bisa membuktikannya.”Arthur akhirnya bertanya datar, “Apa yang bisa kau berikan jika gagal membuktikan kalimatmu?”Diana tak ragu. Ia menatap Arthur lurus, mata birunya mantap, suaranya stabil.“Nyawa saya.”Arthur tidak bereaksi banyak. Namun, sepas
Pagi ini, Diana berdiri di depan pintu kediaman Arthur, menunggu. Istana mereka tidak jauh, hanya dipisahkan dua halaman kecil dan sebuah lorong panjang.Kemarin, ia bertanya pada Bibi Erna, pelayan senior istana yang mengenal rutinitas Putra Mahkota lebih baik dari siapa pun, tentang jadwal Arthur. Pria itu selalu bangun sebelum matahari terbit, lalu bersiap menuju majelis pagi bersama Kaisar dan para bangsawan tinggi.Ia terlambat kemarin. Namun, hari ini Diana bertekad mengambil hati sang pangeran.Toh, pria itu suaminya sekarang. Mau tidak mau, pria itu harus menerimanya seperti Diana menerima takdirnya saat ini.Belum saja Diana mengetuk, pintu kediaman Arthur tiba-tiba terbuka keras dari dalam. Kasim yang berjaga sampai terlonjak dan langsung bersujud.“Y-Yang Mulia….”“Selamat pagi.” Diana tersenyum ramah. “Apa Yang Mulia sudah bangun?”Kasim itu mengangguk buru-buru. “S-sudah, Putri. Putra Mahkota baru saja terbangun.”Ia berhenti, menatap Diana dari ujung rambut yang disanggu
Arthur berdiri tiba-tiba. “Ikut aku.”Diana berusaha bangun tapi lututnya goyah.Tubuhnya terlalu panas. Sensasinya terlalu intens. Kakinya gemetar hebat setiap kali ia mencoba berdiri.“Aku… tidak bisa…” Ia menggigit bibir sekuat tenaga. “Gendong aku.”Arthur menatapnya seperti hendak melemparnya keluar jendela. Tatapan dingin, meski pria itu melangkah mendekat.Dengan kuat, ia menarik tubuh Diana ke dada bidangnya dan menggendongnya. Diana mendesah perlahan—bukan sengaja, melainkan refleks dari sensasi yang menusuk tubuhnya.Arthur mengencangkan rahangnya keras sembari melangkah keluar kamar, tampak tidak suka mendengar suara itu.“Yang Mulia…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar. “Anda membawaku … ke mana?”Arthur tidak menjawab.Ketika ia membuka mata perlahan, mata mereka kembali beradu. Biru pucat dan biru gelap. Diana hampir tenggelam dalam tatapannya.Hingga tiba-tiba Arthur berhenti.Lalu–melepaskan gendongannya.BYUUURR!!!“AAKH!!”Diana jatuh ke dalam air dingin.Tubuhny







