Share

Bab 3

Author: Diaz Arwi
last update Last Updated: 2021-04-13 06:09:03

“Damar? ini pasti Damar.” Maya berdiri menghampiri pemuda yang ia yakin sekali namanya Damar.

“Iya, Neng Maya.” jawab pemuda yang bernama Damar itu.

“Alah! Pake Neng sagala euy, panggil saja Maya. Dulu kamu masih kecil, sekarang sudah segini, loh.” Dengan logat sunda kentalnya Maya, seperti nampak sudah akrab dengan pemuda itu.

Pemuda bernama Damar itu tersenyum.

“Tadi Nenek yang suruh kemari,” kata Nenek menyela obrolan mereka.

“Saluran air di belakang kadang macet, Nenek menyuruh Damar membetulkan, tadi kebetulan ketemu waktu Damar mau ke mesjid,” terang Nenek. Maya mengangguk mengerti.

Sisi yang menyaksikan obrolan mereka terbengong-bengong sampai lupa untuk minum. Sejak tadi tangannya hanya memainkan pinggiran piring makanannya. Itu pemuda yang tadi pagi Sisi lihat mengobrol dengan Nenek. Jadi Damar ternyata namanya. Batin Sisi.

”Waduh, aku sampe kelupaan, kenalin ini Sisi temen kantorku di Jakarta.” Ternyata Maya baru sadar kalau ia harus kenalkan Damar ke Sisi. Sisi menganggguk sedikit. Namun pandangan mata Sisi sempat beradu pandang cukup lama dengan Damar. Pada saat mereka bersalaman, begitupun Damar. Sisi seperti terhipnotis mata tajam Damar, yang seolah hendak menyentuh kelopak mata Sisi.

“Sisi,” ucap Sisi lirih memperkenalkan diri.

Setelah melihat dari dekat, memang penglihatan Sisi tadi pagi tidak berbohong. Damar memang pemuda tampan, sopan, dan ramah. Walau agak sedikit tidak terawat, namun Sisi yakin jika Damar dirapikan sedikit saja bisa mirip artis-artis ibukota. Fedy Nuril. Tutur katanya juga lemah lembut, tidak urakan, seperti kebanyakan pemuda-pemuda di kota.

“Damar...” suara Damar memperkenalkan diri juga, membuat hati Sisi lupa segalanya, bahkan lupa ada Maya dan Nenek di situ.

Hari pertama di rumah Nenek, membuat Sisi betah dan makin kerasan. Ia menurut saja setiap Maya ajak jalan keliling-keliling kampung. Sambil melihat orang-orang kampung situ yang selalu ramah menyapa Sisi juga Maya setiap berpapasan dengan mereka berdua.

Seakan Sisi lupa semua masalahnya, lupa kegundahan dan kesedihannya, dan tentunya lupa akan, Rio!

Rio meninggalkannya demi pesan almarhum papanya sebelum meninggal, bahwa ia harus pindah menetap ke Australia untuk bekerja dan menikahi Cecilia. Merupakan putri dari seorang konglomerat, teman sejawat papanya Rio sejak kecil.

Dan itulah yang membuat Sisi dan Rio harus memaksakan untuk berpisah. Karena Rio sangat tidak ingin mengecewakan almarhum papanya. Begitu juga Sisi, ia merasa harus ikhlas dengan semuanya itu. Meski berat saat itu, melepas Rio.

Hari kedua, Sisi masih berada di situ menikmati suasana desa yang sejuk bersama sahabatnya, Maya. Sejenak ia tidak terpaku dengan sosok Damar yang sehari penuh kemarin mengelilingi pikirannya. Bagi Sisi, Damar itu sempurna. Sempurna dalam arti bahwa, berbeda dengan pemuda kota yang berani dan kadang brutal, bahkan yang sering orang bilang “MODUS” entahlah, seperti itulah istilahnya. Selintaspun ia tidak tebersit nama atau bayangan RIO, ya “RIO”

Sisi lupa sama sekali.

Padahal baru saja dua hari di sini, pikiran Sisi segar, sesegar ia kali pertama melihat Damar. Dan kini hingga detik ini telah membawanya ke awang-awang, sehingga membuatnya betah berlama-lama di tempat ini.

Tapi tidak mungkin Sisi berlama-lama juga di sini. Dia kan harus bekerja, di Jakarta. Dan kembali ke Jakarta, kembali ke rumah. Di rumahnya yang ada hanya mama dan kakaknya yang amat bawel, Sena. Namun Sisi amat menyayanginya. Kak Sena amat perhatian meski tegas dan sedikit cerewet.

“Sisi!” suara Maya mengejutkannya yang sedang memperhatikan anak-anak kecil yang berlari-lari berkejaran bersama teman-teman sebayanya. Mereka anak-anak kecil desa ini begitu polos dan alami. Sambil bermain permainan yang masih tradisional di daerah sini. Senyum Sisi amat lepas memperhatikan mereka dari jauh.

“Sisi!” panggilan Maya semakin dekat.

“Si, kau tau gak?” tanya Maya. Sisi menggeleng cepat, karena memang tidak tahu apa yang dimaksud pertanyaan Maya.

“Kenapa memangnya, May?” tanya Sisi kembali.

“Masih ingat Damar?” Sisi mengangguk dua kali dengan cepat. Dengan mata sedikit mendelik, memandang langsung ke arah mata Maya. Seperti menunggu kata-kata Maya selanjutnya tanpa sabar.

“Damar itu tinggal di sana Si," kata Maya sambil menuding kecil jemari telunjuknya. Sisi langsung spontan menengok ke arah yang ditunjuk Maya. Sisi mengangguk berkali-kali sambil membatin, “Jauh juga ya."

“Karena mesjid kan dekat sini saja yang ada Si,” ucap Maya seolah mengerti apa yang dipikirkan Sisi.

“Nah, Damar memang sering sholat di Mesjid sini Si, makanya kenal Nenek, dan nenek amat dekat dengan Damar. Karena Damar suka menolong ibu-ibu di sini, atau orang tua di sini, dan dia selalu membantu mereka. Damar tinggal dengan ibunya di sana, dia anak baik." Maya menjelaskan sambil menyengir, disambut cengiran Sisi juga.

Ada-ada saja Maya, ceritanya. Berarti memang Damar benar-benar pemuda sopan, ramah dan suka menolong. Wah, hebatnya masih ada ternyata pemuda seperti itu di zaman modern ini. Maklumlah di desa. Beribadah juga meski harus menempuh jarak yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. Sisi kagum.

“Oh ya, Si,” lanjut Maya lagi. “Dia itu pernah bilang ke Nenek kepingin kerja di Jakarta loh. Hnya saja nenek bilang, Jakarta tidak seperti yang kita bayangkan, enak, gaji gede. Jakarta itu keras begitu kata nenek ke Damar,”

“Hahahaha!” Maya tertawa terpingkal, diikuti Sisi tertawa juga. Menurut mereka berdua itu menggelikan, karena ditambah sekarang hati Sisi seperti baru, lebih fresh.  Pikiranpun seperti lepas bebas. Ingin rasanya lebih lama lagi di sini.

“Padahal Jakarta gak seperti itu juga ya May, tergantung bagaimana manusianya,” lanjut Sisi sembari senyum simpul.

“Sejak itu Damar sepertinya gak lagi minat ke Jakarta, Si." Maya mengerlingkan matanya.

“Masa?” tanya Sisi heran.

Sisi menyatukan jari jemarinya sembari sedikit terlihat berpikir keras. Ah sudahlah, pemikiran yang tidak ada gunanya. Buat apa ia sampai punya pikiran untuk mengajak Damar melamar kerjaan, bahkan membantunya mencari pekerjaan di Jakarta. Kantor ia bekerjapun belum mencari calon karyawan baru, apalagi ia menjanjikan pekerjaan di Jakarta. Buat Damar?

Ahhh sudahlah, kembali Sisi menepisnya, berpuluh pemikiran itu tidak akan ada jalannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menepis Tirai Masa Lalu   Bab 25

    Hari menegangkan bukan hanya hari ini saja. Bagi Sisi, kemarin dan sebelum-sebelumnya tetaplah sama. Sisi perlahan seolah menghindari Damar.Cowok itu sepertinya datang sangat awal sekali. Laksana pegawai teladan. Maya belum kelihatan. Dia biasanya beberapa menit sebelum jam kerja dimulai baru sampai. Terkadang itulah kebiasaannya."Pasti nungguin Maya."Suara yang Sisi sudah tidak asing lagi, mengejutkannya."Oh, Hai Delon. Ngagetin," ujar Sisi santai. Agar sekalian tidak membuat Delon merasa aneh dengan sikapnya pagi ini."Iya, aku nunggu Maya." Sisi menjawab dengan tenang.Delon mendekati Sisi. Melihat gerak-geriknya, sepertinya dia mencari celah waktu untuk bisa ngobrol dengan Sisi. Sisi mengibaskan rambut lurus nan lembutnya."Kamu udah sarapan?" tanya Delon. Dari pertanyaannya, sepertinya dia mengajaknya ke kafetaria.Sembari memberi senyuman Sisi menjawab pertanyaan Delon yang dirasanya hanya selingan untuknya."Sudah. Aku sarapan roti," ucapnya.Delon hanya tertunduk saja. Terli

  • Menepis Tirai Masa Lalu   Bab 24

    "Apakah menurutmu Rio sudah menjadi masa lalumu, Si?" tanya Maya, suatu hari. Hari ini kebetulan libur kerja. Dan mereka berdua menyempatkan waktu untuk sekedar berjalan-jalan saja. "Aku tidak bisa menjawab sekarang, May. Aku pun masih bingung." Sisi memainkan sedotan minuman soda susu. "Aku hanya merasa ingin menjauhi dia, semua sebenarnya demi kebaikan aku dan dia," ucap Sisi lirih. "Kami berpisah baik-baik, dan terencana. Juga demi almarhum Papanya Rio." "Meskipun itu buatku amat menyakitkan." Sisi menunduk lesu. Sisi diam sesaat. Tidak meneruskan ucapannya kembali. Malahan melanjutkan menyeruput soda susunya. Sisi sudah lelah jika harus merefresh ulang hal yang itu-itu terus. Apakah hidupnya akan terus dihantui oleh sosok Rio? Sedangkan dirinya bersikeras untuk melupakan lelaki itu. Hingga akhirnya bertemu Damar, yang membuatnya nyaman. Serta dapat melupakan Rio. Namun masalah baru yang lebih parah kembali muncul. Sisi semakin terpojok tak dapat berkutik. Semua flashback. Yan

  • Menepis Tirai Masa Lalu   Bab 23

    Segerap rasa, Sisi tuangkan dalam sepi. Sisi tau, dia sedang dalam posisi tak beraturan. Nyatanya, ia yang harus mengalami ini semua. Keinginannya ingin menjauhi Rio. Tetapi, malahan bayangannya terus menguntit. Bahkan manusianya ada di depannya. Seperti waktu itu, yang seharusnya dia hanya bertemu dengan Damar, tetapi dia dikagetkan oleh sosok Rio kembali. Yang ada tepat di samping Damar. Sisi yang memendam rasanya untuk Damar. Begitupun dia tau persis, Damar memang menaruh hati untuknya juga. Sisi pun begitu sadar, jika dia cukup lama menahannya. Itu dikarenakan, dia mengetahui tak sengaja, kalau Rio bersaudara dengan Damar. Kaget? Sangat. Itulah kenapa Sisi sampai sekarang masih tidak bisa menunjukkannya pada Damar. "Aku bingung May, kenapa Rio seolah tidak suka aku mengenal Damar?" Sisi meringkukkan badannya di atas ranjang di kamar Maya. Maya menarik napasnya panjang. Dan menghembuskanya. "Kenapa bisa ya, Damar bersaudara dengan Rio?" Maya mikir keras. Menggaruk-garuk kepalany

  • Menepis Tirai Masa Lalu   Bab 22

    "Maaf, sudah nunggu lama."Sisi buru-buru menoleh ke belakang. Meski terkejut, dia tau itu suara Damar.Namun seketika, justru kaget itu dobel. Dia hampir terperanjat. Malahan, sudah terjadi. Sisi hampir ingin menghentikan sendiri detak jantungnya. Karena apa yang dia lihat sangat membuatnya shock."Kau, kau. Ah! Aku belum lama di sini. Aku...," Sisi menghentikan suaranya. Lalu menarik napas cepat, dan menghembuskannya segera. Sebenarnya gugup itu sudah nampak di diri Sisi."Biasa, Si. Macet di jalan. Oh ya, mana Maya?"Damar tak sadar sudah menyelamatkan Sisi, dengan ungkapannya. Hingga gugupnya tak nampak. Sisi menggangguk."Aku tidak mengajaknya. Dia pulang sendiri sepertinya." Sisi menjawab, berjuang untuk bersikap lebih tenang.Mereka berdua, duduk tepat di depan Sisi. Dengan begitu santai. Lalu, Damar memanggil pelayan. Pelayan langsung menghampirinya."Capucinno Panas sama, ehm, kau pesan apa, Rio?""Sepe

  • Menepis Tirai Masa Lalu   Bab 21

    Suasana kantor seperti biasa saja. Tidak ada sedikitpun yang berbeda. Itu bagi Sisi. Ia mengetuk-ngetuk bolpointnya. Pikirannya melayang ke mana-mana. Hingga sampai pada kata-kata Maya yang mengatakan, agar ia menawarkan lowongan pekerjaan di kantor kepada Damar."Si, bagaimana kalau kamu tawarkan saja kepada Damar?" Kata- kata yang selalu diingat Sisi dan menempel terus. Karena ia tidak tahu harus bagaimana. Setahunya, latar pendidikan Damar tidak sesuai dengan pesyaratan yang diminta.Apakah aku terlalu jahat dan mempunyai pandangan seperti itu? Sisi bertanya pada dirinya sendiri.Maya saja bisa seyakin itu? Sisi masih penuh dengan renungan. Perang berkecamuk di kepalanya."Heh!"Tetiba suara yang sangat dikenalnya, sudah membuatnya terkejut. Dari lamunan sesaat itu."Ngapain sih? Mata ke sana terus? Bengong ya, kamu?" Maya memiring-miringkan kepalanya memandangi dekat wajah Sisi."Bikin kaget aja sih, May?""Duh, maaf lo

  • Menepis Tirai Masa Lalu   Bab 20

    Sisi masih memandangi rangkaian bunga, pemberian seseorang misterius. Sambil mengamatinya. Lalu tersenyum. Bunga itu tidak ada nama pengirimnya. Mawar berwarna putih bercampur merah jambu, lalu dihiasi daun-daun hijau yang masih segar. Belum layu. Bunganya diletakkan di vas bening, berisikan air. Sisi lalu terlihat tersenyum sangat lebar."Aku tahu, dari siapa bunga ini," gumamnya menerka sendiri."Damar," ucapnya lirih. Menebak dengan yakin. Tidak ketinggalan senyumnya terbit.Ternyata seorang Damar yang pemalu itu, bisa juga romantis. Batin Sisi. Lalu, ia berusaha meraih ponselnya, untuk menelepon Damar. Namun, tetiba ia mengurungkan niatnya."Kalau aku telepon dia, nanti gak seru lagi. Bukan surprise namanya." Sisi.mengurungkan niatnya."Lagipula, ia tidak memberikan nama pengirim. Ia tidak mau aku tahu. Walau, aku sudah tahu." Sisi senyum-senyum sambil memeluk ponsel ke dadanya.Sisi menaruh kembali ponselnya di atas meja. Dan berbaring. Karena sebe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status